Destiny

116 12 5
                                    

Perempuan itu -sekali lagi- mengacak rambut pendek miliknya dengan gusar. Membuat lelaki yang sedang fokus pada lego berbentuk karakter jagoan Marvel bersungut sebal.

"Kamu kenapa, sih? Ganggu."

Perempuan itu melirik sinis lelaki yang sudah kembali fokus pada kegiatan awalnya. "Siapa juga yang nyuruh kamu di sini." Balasnya ketus.

Lelaki itu hanya menaikan bahunya acuh. Melihat respon menyebalkan itu, membuat perempuan bernama Salvinia itu gemas. Dengan sengaja, ia menyenggol bahu lelaki itu mengakibatkan rusaknya susunan legonya.

"Kok, kamu nyebelin sih Vin!" Lelaki bernama Zolla itu mengeram sebal. Tak mau menambah keributan, dibawanya potongan lego itu menjauh dari Vinia.

"Olla, kenapa kamu pergi sih?!"

"Lah, yang barusan ngusir aku siapa? Dan satu lagi Vin, jangan panggil aku Olla." Ujar lelaki itu setengah sebal, ia tidak suka panggilan khusus dari Vinia, menurutnya panggilan itu sangat cewek sekali.

"Olla, olla, olla, olla." Ejek Vinia berulang-ulang. Zolla yang sudah mulai emosi hanya bisa menatap teman kecilnya itu dengan geram. Dengan langkah seribu, Zolla menghampiri Vinia dan menyerangnya dengan serangan geli andalannya.

"Aw, Zolla, udah.. aw! Geliii.." Gelak tawa Zolla dan Vinia berderai. Hingga panggilan seorang wanita paruh baya menghentika  kegiatan mereka. Bunda, begitulah mereka memanggil perempuan paruh baya itu.

"Vinia, ada yang ingin bertemu kamu, sayang." Ujar Bunda dengan halus.

Lalu, Bunda membawa Vinia menuju ruang tengah. Zolla yang penasaran pun mengikuti langkah Bunda dan Vinia, namun berhenti di belakang lemari.

Zolla melihat sepasang suami istri tersenyum saat melihat Vinia. Sang istri mengelus pipi Vinia, lalu memeluk Vinia dengan sayang. Zolla yang melihat adegan itu merasa cemas, cemas jika ternyata pada akhirnya Vinia akan berakhir sama dengan beberapa temannya terdahulu. Pergi bersama orang tua baru.

***

Vinia memasuki kamar itu dengan perasaan bahagia. Bagaimana tidak? Setelah hampir delapan tahun hidup di panti, akhirnya ada juga orang tua angkat yang memilihnya sebagai anak asuh. Vinia membenahi baju, buku, serta beberapa barang penting miliknya. Hingga tangannya berhenti pada sebuah bingkai berisikan foto dua anak berusia lima dan tujuh tahun sedang berangkulan, foto dirinya dan Zolla.

Seakan sadar akan sesuatu, Vinia melupakan segala barangnya dan berlari untuk mencari Zolla. Saat didapatinya kamar Zolla yang kosong, Vinia kembali pergi mencari Zolla ke kebun belakang panti. Tempat dia dan Zolla bermain.

Vinia melihat Zolla yang sedang duduk di bawah pohon apel, tempat biasa mereka beristirahat melepas lelah sehabis bermain. Vinia menatap punggung mungil lelaki yang berumur dua tahun lebih tua darinya itu dengan pandangan sedih.

Zolla hanya diam saat Vinia duduk di sebelahnya. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa mau sedikit pun melirik Vinia.

"Olla.." Panggil Vinia. Zolla hanya diam, bahkan tidak bersungut kesal mendengar Vinia kembali memanggilnya dengan panggilan yang ia benci.

"Olla.. Ada yang menjemput Vini.." Zolla bergeming.

Vinia yang melihat kebisuan dari Zolla hanya bisa menghembuskan nafas berat. Vinia tahu apa yang Zolla rasakan, sungguh sulit merelakan seseorang yang sedari kecil tumbuh bersama pergi. Walau ia hanya anak berusia delapan, tapi dia sudah mengetahui apa itu perpisahan dan sakit yang diakibatkan dari perpisahan itu. Karena saat ini, ia sedang merasakannya.

"Olla tau kan, kalau ini salah satu keinginan Vini. Punya dua orang tua, kayak temen-temen di sekolah." Ujar Vinia.

"Tapi, ngeliat Olla sedih bikin Vini ikutan sedih. Apa lagi, Olla gak mau liat muka Vini.." Vinia mulai terisak. Ia tidak pernah sekali pun diacuhkan oleh Zolla. Dan sekarang, melihat Zolla yang enggan meliriknya membuat Vinia sedih.

PercikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang