Secret Admirer

148 11 6
                                    

First SA

Aku melihatmu dari kejauhan, memandangmu tanpa kau tahu.

Aku berdoa untukmu, berharap kau ‘kan baik-baik saja.

Dan aku, mencintaimu tanpa syarat.

Huft. Melow, mode on.

Kembali aku mencoret tulisan di buku harianku, lalu merobek dan meremas kertas itu. Selanjutnya meruntuki kelakuanku yang tidak mencerminkan diriku. Orang-orang yang mengenalku pasti tidak akan percaya bila mereka membaca tulisanku, walau pun aku sangsi mereka akan bisa membacanya.

Aku dikenal sebagai perempuan independen, kuat dan percaya diri hukumnya wajib untukku. Namun, kalau berurusan dengan ‘dia’ aku akan berubah menjadi perempuan puitis, drama queen, dan rapuh. Sentimentil sekali bukan? Maka, ‘dia’ memang patut diberikan penghargaan, karena mampu membuat sisi sentimentilku muncul.

Dia. Dia itu hanya seorang lelaki berseragam SMA biasa. Tingginya biasa, wajahnya biasa, pintarnya biasa, namun senyum dan pancaran matanya lah yang tidak biasa. Pada pertama kali, aku jatuh pada pesona senyumannya saat ia membantu seorang nenek menyebrang jalan. Kala itu, jalan raya sangat ramai, aku yang sedang duduk di halte menunggu bus melihat dia membantu seorang nenek menyebrang, saat sampai di sebrang, ia tersenyum sangat tulus kepada nenek itu. Dan tepat saat itu juga, aku jatuh pada pesona senyumnya.

Kedua kalinya, aku terjatuh pada pesona pancaran matanya. Matanya yang selalu memandang tajam sekitar namun berubah lembut saat ia menatap seorang anak kecil yang sedang menangis. Aku ingat kala itu, ia sedang menjadi panitia di sebuah acara himpunan remaja lalu ia melihat seorang anak kecil menangis karena Ibunya menghilang. Ia menenangkan anak kecil itu dengan sebuah permen dan menatap anak itu dengan pancaran yang membuatku berdebar. Padahal di saat itu, ia tidak sedang menatapku.

Dan hanya pada kedua alasan itulah, aku mencintainya selama hampir tiga tahun. Aku dan dia seangkatan, namun berbeda kelas. Sering terlibat acara bersama karena aku dan dia adalah anggota OSIS. Tidak jarang aku dan dia berinteraksi, namun selalu dalam keorganisasian, tidak pernah secara pribadi. Katakan aku bodoh karena membuang kesempatan untuk ‘pdkt’ padanya, aku juga tidak mengerti, mengapa bisa aku yang terkenal lues dalam bergaul akan bungkam seribu bahasa di hadapannya.

Dan lebih gilanya lagi, aku berlaku seperti ‘Secret Admirer’  -well, sebenarnya memang itulah aku- yang ada seperti kisah novel. Seperti memberinya hadiah, mengirimi surat, memfotonya secara diam-diam, yah, seperti itulah. Kadang aku suka malu dan kesal sendiri dengan kelakuanku, tapi apa daya, aku tidak bisa berlaku terang-terangan menyukainya bahkan mengaku padanya.

“Ehem..”

Sebuah suara menyentakku kembali dari pemikiranku tentangnya. Ternyata, sumber suara itu adalah Aorta, sahabatku. “Kenapa, Ta?”

“Gue ngajakin lo ke kantin. By the way, itu apaan yang di tangan lo?”

Sadar akan keberadaan kertas curhatanku itu, aku segera menyimpannya di saku rok seragamku. “Bukan apa-apa.”

“Oh, yaudah yuk.” Aorta menarik tanganku menuju kantin. Aku bernafas lega, untungnya sahabatku yang satu ini tidak menyakanan lagi perihal kertas itu.
Saat di jalan, aku mengedarkan pandanganku ke penjuru sekolah, berharap aku dapat melihat dirinya. Nah! Itu dia, dia sedang berdiri membelakangiku, aku cukup kecewa karena tidak dapat melihat wajahnya. Tapi ternyata tuhan membalas harapanku, tiba-tiba ia memutar badannya menjadi menghadapku. Ia berjalan namun tiba-tiba berhenti saat seorang perempuan berseragam sama sepertiku mengahan lengannya.

Tepat saat itu aku terpaku, melihatnya bersisian dengan seorang perempuan selalu mampu membuat hatiku tercubit. Seperti saat ini, bukan hanya bersisisan, tapi lengan miliknya sudah bertengger mesra di bahu perempuan itu sambil sesekali bercanda. Pemandangan seperti ini adalah yang pertama kali aku lihat dan cukup membuatku sakit. Awalnya aku merasa aman menjadi pengagumnya, tapi saat mengetahui ia mempunyai seseorang membuatku merasa cemas.

PercikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang