GREGAIN - Sepuluh

545 79 5
                                    

Sepuluh: Perasaan Gracia

*****

Aku tidak pernah benar-benar mengerti apa itu kebahagiaan. Bagiku, hidup adalah serangkaian kejadian yang saling menumpuk, berputar tanpa arah, seperti badai yang menghancurkan apa pun di jalannya. Mama selalu bilang bahwa badai pasti berlalu, tapi aku tidak pernah tahu apa yang akan tersisa setelahnya. Dan sekarang, badai itu sudah menghancurkan segalanya—Mama sudah tidak ada. Aku sendirian, terperangkap dalam rumah besar yang tidak lagi terasa seperti rumah.

Malam-malam setelah Mama pergi terasa seperti lubang gelap yang tidak berujung. Aku sering duduk di sudut kamar, membayangkan seperti apa rasanya kalau aku juga tidak ada. Tidak ada yang peduli, pikirku. Papa sibuk dengan dunia barunya, dengan calon istrinya yang seperti bayangan buruk yang tak mau pergi dari hidupku. Wanita itu mengisi rumah dengan suaranya yang tajam, dengan tuntutan-tuntutan kecil yang terus-menerus menggerogoti kesabaranku.

Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika dia menyentuh nama Mama. Aku rela saja dia menghinaku, tapi kali ini benar-benar keterlaluan! Dia menghina Mama, mengatakan bahwa, “Mamamu itu udah jadi mayat, orang penyakitan. Bagus deh mati, jadi enggak nyusahin papamu.”

Hari itu aku tidak bisa menahan diri. Aku menampar wajahnya, keras. Tanganku bergetar setelah itu, bukan karena takut, tapi karena aku merasa kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Sejak saat itu, aku merasa semua orang di rumah memandangku seperti duri dalam daging. Papa semakin menjauh. Hubungan kami yang dulu hangat perlahan berubah menjadi sesuatu yang dingin dan asing. Aku mulai berpikir untuk menyerah pada semuanya. Aku mencari-cari alasan untuk tetap bertahan, tapi tidak ada apa pun. Aku merasa dunia ini kosong, seperti lubang besar yang menarikku semakin dalam.

Sampai aku melihatnya.

Hari itu aku sedang berada di rooftop sekolah, memandangi matahari yang mulai menampakan sinarnya. Kepalaku terasa berat, penuh dengan pikiran-pikiran yang tidak seharusnya aku pikirkan. Lalu, di tengah lapangan, aku melihat seorang gadis sedang memberi makan seekor kucing liar. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum—sesuatu yang hangat, yang membuatku merasa dunia ini tidak seburuk yang aku kira.

Aku mencari tahu tentangnya. Aku tahu aku tidak seharusnya begitu penasaran, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku ingin tahu siapa dia, ingin tahu kenapa hanya dengan melihatnya aku merasa sedikit lebih ringan. Namanya Shani Indira.

Hari-hari berikutnya aku mulai memperhatikan dia lebih sering. Aku melihatnya lagi di sekolah, melakukan hal yang sama—memberi makan kucing liar. Tapi kali ini, aku memperhatikan lebih dalam. Dia cantik, tapi itu bukan alasan aku tertarik padanya. Ada sesuatu dalam caranya memandang dunia, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ada harapan di luar kegelapan yang selama ini menelanku.

Awalnya aku menangkis perasaanku tentu, perempuan dan perempuan bersama adalah hal yang tidak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Aku merasa bahwa aku hanya sebatas kagum padanya, tetapi saat aku melihat Anin dan Sisca—teman dekat Shani—bercumbu di mall kala itu, aku baru sadar, bahwa perasaanku pada Shani bukan sekadar kekaguman semata. Aku mencintainya.

Aku memanfaatkan momen. Sangat senang sekali akhirnya aku bisa dekat dengan dirinya. Kami bertemu di rooftop, tempat yang sama dimana hatiku pertama kali jatuh padanya. Akhirnya, aku bisa terlihat di garis edarnya, meskipun seringkali dia memperlakukanku dengan sedikit kasar. Aku selalu merasa memiliki harapan, setiap hari harapanku seperti semakin besar.

Namun, harapan itu tidak bertahan lama.

Hari-hari yang datang berikutnya adalah neraka. Papa menikah lagi, dan wanita itu semakin menjadi-jadi. Dia menguasai rumah kami, mengendalikan semuanya, bahkan hidupku. Puncaknya adalah kecelakaan itu. Aku tidak ingin mengingatnya, tapi ingatan itu terus menghantui, mengusik tidurku setiap malam.

Gregain [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang