GREGAIN - Dua Belas (END)

546 58 4
                                    

Bagian Dua Belas: Akhir Cerita

HUJAN turun perlahan, membasahi tanah merah yang masih segar di pemakaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HUJAN turun perlahan, membasahi tanah merah yang masih segar di pemakaman. Awan kelabu menggantung rendah di langit, seolah ikut meratapi kepergian Mario. Shani berdiri jauh dari kerumunan, payung hitam di tangannya tak cukup untuk menghalangi angin dingin yang menusuk kulit. Pandangannya tertuju pada satu sosok yang tetap tinggal meski pelayat lain sudah mulai meninggalkan tempat itu—Gracia.

Shani menggenggam erat sesuatu di tangannya, buku berukuran sedang dengan huruf Braille yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun. Ini yang bisa ia lakukan, ini yang bisa ia berikan. Sebuah janji yang ia tepati meskipun dalam diam.

Gracia berdiri di tepi makam, tangannya terulur menyentuh nisan dingin yang kini menjadi satu-satunya tempat bernaung bagi lelaki yang dulu seperti kakak baginya. Feni sudah pergi sejak lama, memilih jalannya sendiri setelah Gracia memintanya untuk mencari kebahagiaan tanpa harus menunggu sesuatu yang tak pasti. Mario adalah orang terakhir yang selalu ada dan kini dia juga pergi karena sakit kanker yang telah diderita dari dua tahun lalu. Dulu, mungkin Gracia akan berpikir tidak ada lagi alasan untuk tetap hidup, tetapi kini ia tahu satu hal—ia harus hidup untuk dirinya sendiri.

Shani tidak tahan melihatnya berdiri sendirian seperti itu. Ia menarik napas panjang, kemudian melangkah mendekat. Sepasang sepatunya menapaki tanah yang basah, menyisakan jejak samar di antara rerumputan yang terinjak. Ia berhenti tepat di belakang Gracia, mengangkat tangannya ragu-ragu, sebelum akhirnya menepuk bahu Gracia pelan. Sebuah isyarat, sebuah dorongan kecil agar gadis itu tetap kuat.

Gracia menegang sejenak, lalu menoleh sedikit ke arah sosok yang berdiri di sampingnya. Ia tidak berbicara, hanya diam, membiarkan kehadiran orang itu mengisi kekosongan di sekitarnya.

Shani, seperti biasa, tidak berkata apa-apa. Ia mengulurkan buku yang digenggamnya, membiarkan Gracia merasakan tekstur halus di atas permukaan sampulnya. Dengan jemarinya, Gracia meraba tulisan kecil yang tertoreh di situ—huruf-huruf yang hanya bisa ia baca dengan sentuhan.

Shani belajar.

Semangat terus untuk Gracia. Itu bunyi tulisan yang sempat Gracia baca di bagian awal.

Sesuatu menghangat di dada Gracia. Shani ada di sini akhirnya, di sampingnya, setelah kabur dari orbitnya beberapa tahun lalu tanpa penjelasan apa pun. Tetapi kenapa? Kenapa dia kini masih tidak berbicara juga? Kenapa dia tidak mau tinggal lebih lama?

Shani melangkah mundur. Tidak mudah baginya untuk meninggalkan Gracia begitu saja, tetapi ia tahu, jika ia tetap tinggal, perasaan yang ia pendam selama ini akan merusak semua yang telah ia bangun. Ia takut Gracia masih membencinya, takut luka lama terbuka kembali. Jadi seperti yang selalu ia lakukan, ia memilih pergi. Memantau dari jauh memang sudah seperti takdirnya.

Gracia tidak menghentikannya. Ia hanya berdiri di sana, mendengarkan suara langkah kaki yang menjauh. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Gracia melihat.

Gregain [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang