03

437 65 5
                                    

Senin, hari yang buat gue males buat ngapa-ngapain karena gue libur cuma sehari! Gue kerja enam hari dalam seminggu, tapi liburnya cuma sehari, adil begitu?

"Jangan tidur lagi!" seru Ian, kayaknya dia ngeh kalau gue mulai ngantuk sejak masuk mobil.

Gue mendesis pelan, "Bisa libur lagi nggak sih, Yan? Gue masih pengen males-malesan."

Ian merotasikan bola matanya, "Males-malesan aja terus kalau pengen miskin."

"Congor lu!"

Sekitar setengah jam perjalanan, Roki berhenti di depan coffee shop yang masih tutup. Nyusul Ian, gue pun ikut turun dan masuk ke kedai. Iya, ini coffee shop punya Ian, namanya Cup O' Coffee. Dia owner sekaligus barista di sini, sedangkan gue jadi kasir dan waiters, tapi gue juga punya tanggungjawab urusan dapur karena di sini nyediain beberapa jenis roti fresh from the oven.

Cup O' Coffee dirintis Ian sejak kita berdua lulus dari perguruan tinggi, waktu itu gue sama Ian umur 22 tahun. Ian yang demen kopi kepikiran buat buka bisnis kopi dan ngajak gue buat join karena dia nggak bisa lakuin semuanya sendiri. Namanya usaha pasti nggak langsung sukses, jatuh bangunnya kita berdua nyatanya berhasil kita lewati dengan baik dan sekarang kedai ini udah jalan hampir 4 tahun.

Back to reality, saat ini di dapur ada dua pegawai Ian yang udah sibuk bikin roti, yaitu Jenari dan Wanda. Mereka emang dateng lebih awal karena emang mereka yang paling sibuk nantinya. Btw Ian punya 4 pegawai, di mana 1 orang barista, 1 orang waitress, dan 2 lainnya bagian dapur. Jadi, bagian barista diisi sama Ian dan Alam, bagian waiterss ada gue sama Karina, dan untuk bagian dapur diisi sama Jenari dan Wanda. Alam sama Karina mereka masih anak kuliahan dan bakal izin buat kuliah tiap ada kelas, setelahnya mereka balik ke kedai. Sementara Jenari dan Wanda, mereka seumuran sama gue.

Sekarang gue lagi di dapur, lihat gimana sibuknya Jena sama Wanda, "Ada yang bisa dibantu?"

Jena ngangguk, "Tolong cuciin strawberrynya, habis itu dibelah jadi 2." titah Jena yang sibuk bagi adonan jadi beberapa bagian.

Gue acungin jempol dan langsung ambil strawberry dari dalam kulkas. Sesuai perintah Jena, gue cuci semua strawberry dan gue belah jadi dua. Ini nggak terlalu lama, karena nggak begitu banyak strawberry yang gue potong.

"Anna, bantu cetak ini, ya! Gue mau hias cupcake."

"Siap!"

Gue lihat adonan donat yang ada di baskom, tanpa berlama-lama gue ambil adonannya buat gue pipihin pakai rolling pin. Satu, dua, dua puluh lima. Setelah gue hitung ada 25 cetakan donat yang siap digoreng. Kita emang nggak stok banyak, karena emang jarang laku aja donatnya.

"Jena, lo udah baikan?" Sabtu kemarin Jena izin buat nggak masuk kerja, masuk angin gara-gara kehujanan.

"Udah, maaf ya, lo sama Wanda pasti kerepotan."

Gue tepuk bahu Jena pelan, "Nggak masalah, yang penting lo-nya sekarang udah baik-baik aja."

"Anna!"

"Kalian bisa lanjut, kan? Ian manggil gue."

Setelah pamit ke Jena sama Wanda, gue buru-buru hampirin Ian yang lagi bersihin mesin kopi, "Kenapa, Yan?"

TETANGGA SEBELAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang