1 0 | Adanya
SEPULANG sekolah, Uriel hendak pergi belanja bulanan di hipermarket dekat sana. Ipoy ikut untuk jalan-jalan. Di dalam bus menuju hipermarket, mereka bertemu Demitri yang sedang duduk sendirian. Bus sedang lengang dan hanya ada mereka bertiga di kursi belakang, dan hanya ada dua orang lain di kursi paling depan.
"Eh, Demitri," sapa Ipoy, duduk di kursi di lini seberang pemuda itu. "Mau ke mana?"
"Ke Bloom Market, mau beli beberapa keperluan," jawab Demitri. Bloom Market adalah hipermarket yang besar dan sering jadi tempat belanja bulanan para warga sekitar. "Kak Riel sama Kak Ipoy mau ke mana?"
"Sama nih, mau ke situ juga. Gue sebenernya cuma temenin Riel, sih. Mau ikut jalan-jalan sekalian jajan," balas Ipoy. "Sertijab tinggal beberapa bulan lagi. Lo siap mengemban tanggung jawab jadi kapten voli putra? Gue ngomong gini karena lo bukan dari konsentrasi olahraga kayak gue sama Riel. Lo juga kayaknya nggak niat lanjutin bidang voli sampe jadi pro player kan?"
"Iya, gue memang nggak melanjutkan voli, karena gue udah ada rencana lain, Kak. Tapi, itu bukan berarti gue akan melempar tanggung jawab begitu aja," jawab Demitri.
"Hoo, baguslah. Semangat, Demitri!" Ipoy mengangkat tangan terkepal sebagai gestur memberi semangat.
Demitri hanya mengangguk. Namun, kemudian Uriel justru berkata, "Kamu bukan pemain terkuat di angkatanmu, Demitri."
Ucapan Uriel itu tak terdengar seperti ingin menghina, meski jelas langsung membuat Demitri Ipoy menegang. Uriel melanjutkan, "Tapi, jabatan kapten bukan diberikan kepada seorang pemain karena dia adalah pemain terkuat andalan tim. Jabatan kapten diberikan kepada orang yang memang terbiasa mengambil keputusan cepat dan bisa mempertanggungjawabkannya, serta cepat pulih ketika gagal, langsung fokus untuk menyelesaikan masalah."
Demitri terlihat menyimak. "Jadi, poinnya karena bisa memimpin, kan?"
"Iya. Dan justru kalau pemain andalan itu juga dijadikan kapten, bebannya lebih besar, dan jadi harus membagi fokus."
Demitri mengernyit. "Kalau kayak gitu, bukankah sebaiknya Kak Riel nggak jadi kapten? Biar Kak Riel fokus jadi pemain andalan aja di lapangan gitu, nggak perlu banyak mikirin pemain lain."
"Iya." Uriel mengangguk. "Itu satu hal yang kupelajari setelah jadi kapten."
Ipoy dan Demitri menatap Uriel. Sebagai teman lama, Ipoy sudah tahu hal ini. Tapi informasi ini jelas baru bagi sepupu dari Uriel itu.
"Kak Riel menyesal nggak, jadi kapten voli?" tanya Demitri.
Uriel bergumam. "Nggak bisa dibilang menyesal juga, karena ada keuntungan tersendiri yang datang dari jabatan itu, dan aku kurang lebih belajar leadership juga dari masa menjabat jadi kapten ini. Kuanggap itu sebagai pelajaran hidup."
Ipoy tersenyum mendengarnya. "Memang bijak betul kapten kita ini."
"Gue bersyukur lo jadi kapten," ujar Demitri. "Kemampuan Kak Riel lebih dari cukup untuk bikin banyak anak tertarik sama voli sekolah kita. Dan mereka pastinya bangga masuk ekskul yang ketuanya Kak Riel."
"Nah, bener kata Demit." Ipoy mengangguk. "Tapi, gue nggak menyangka ternyata lo bisa berkata manis juga, Dem."
Demitri tak membalas, hanya memutar bola mata. Bus berhenti di tujuan mereka. Ipoy pergi dulu ke ATM untuk mengambil uan tunai, membuat Uriel dan Demitri masuk duluan ke dalam Bloom Market.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sehijau Limau
Teen FictionUriel Adi Nismara sudah tahu dia akan dijodohkan. Ibunya telah mengingatkannya sejak dia masuk SD. Pertunangan dari kecil adalah tradisi keluarga Cakrawangsa. Dan Uriel menyetujui karena ibunya tak memaksa, berkata bahwa Uriel boleh menolak dan meng...