0 6 | Tak Kunjung
"AHEM."
Wisteria tersenyum. Tahu betul siapa yang suka berdeham pura-pura seperti itu. Dia merapikan barang-barang dalam lokernya dengan tenang. "Iya, Jo? Ada apa?"
"Harusnya gue yang nanya gitu," ujar Jovanka, wakil kapten renang putri. Wisteria menutup loker dan menatap teman seangkatannya yang dikucir satu. "Jadi, tadi itu apaan?"
"Apa yang 'apaan'?" Alis Wisteria terpaut. Benar-benar tak paham maksud wakil kaptennya. Barulah ketika Jovanka memelototinya, dia merasa bisa menebak maksud temannya itu. "Oh ... Uriel ya?"
"Iyalah!" Jovanka membenarkan tali ranselnya. Mereka bersiap pulang ke asrama putri. "Itu ... itu kemarin apaan? Ngapain dia berdiri di situ ngelihatin lo? Nunduk ke elo pula? Terus anak voli yang lain juga tiba-tiba berhenti dan ngelihatin kita—ngelihatin elo! Pada kaget lho lihatnya."
Wisteria memiringkan kepala. Iya, itu memang aneh. Kenapa pula Uriel sampai berhenti hanya untuk melihatnya? "Aku nggak tahu kenapa dia kayak gitu. Mungkin emang gitu kali anaknya?"
"Kok lo jadi nanya balik? Yang di... uh, 'sapa' sama Riel kan elo, bukan gue. Gue kira lo kenal, makanya Riel kayak gitu."
Wisteria menggeleng. "Pernah nyapa aja enggak. Aku cuma kenal ibunya."
"Oh, ortu kalian saling kenal?"
"Iya. Sama kayak ortuku kenal sama ortu Gagas yang anak basket, atau kenal ortu kamu, atau akrab sama ortu si Po, anak renang kita yang kelas 11 itu." Dan Wisteria pikir, ini adalah sesuatu yang normal. "Uriel itu jatohnya sama kayak Gagas; aku kenal ortu mereka, tapi sama merekanya ya nggak kenal-kenal amat. Sama Gagas, kami cuma pernah saling nyapa sesekali, tapi nggak akrab. Sementara sama Uriel, jangankan tegur-sapa. Pernah kenalan aja nggak pernah."
"Terus kenapa kemarin dia nunduk ke elo?"
"Aku juga nggak tahu." Dan jujur, Wisteria tidak berniat mencari tahu. Hari ini latihannya cukup melelahkan dan dia butuh istirahat, baru dilanjut meringkas bab-bab untuk pelajaran besok. Ditambah lagi, dia kepikiran dengan salah seorang anak yang tidak ikut latihan hari ini. Sudah dihubungi pun tak ada respons. "Eh, kamu tahu nggak si Milen ke mana?" tanya Wisteria. "Aku udah kontak anak sekamarnya, tapi katanya Milen belum balik dari awal sekolah. Dia juga nggak ngabarin apa-apa."
"Hah? Nggak ada di kamar asramanya berarti?" Jovanka memegang dagu. "Mungkin dia pulang kampung?"
"Kampungnya kan ... di Jakarta. Perjalanan dari sana ke sekolah kita nggak mungkin sampai dua hari dua malam, Jo." Wisteria menggigit bibir. Dia berdoa semoga tidak terjadi apa-apa kepada Milena, adik kelasnya yang bermain khusus gaya bebas. Di antara semua anak renang putri, Milena-lah yang memiliki tendangan paling kuat dan napas paling lama. Dia pemain andalan tim renang putri. Setelah beberapa tahun tak berhasil meraih medali emas kejuaraan nasional, Milena berhasil mengembalikan kejayaan renang putri Kandjaya sejak gadis itu masuk.
"Lo udah kasih tahu itu ke pelatih?" tanya Jovanka, bersiap untuk keluar ruang ganti bersama Wisteria.
"Udah kok."
"Ya udah, serahin aja ke pelatih. Kalau dia sesulit itu untuk dihubungi, mungkin memang dia nggak mau dihubungi." Jovanka pun mengganti topik agar temannya tak kepikiran dengan masalah renang lagi. "Eh, tadi tentang Riel, lo udah lama kenal sama dia?"
"Hah?" Wisteria mengerjap-ngerjap. "Enggak."
"Masa sih? Kalau lo nggak kenal dia, nggak mungkin dia nunduk ke elo gitu."
![](https://img.wattpad.com/cover/231942448-288-k938981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehijau Limau
Подростковая литератураUriel Adi Nismara sudah tahu dia akan dijodohkan. Ibunya telah mengingatkannya sejak dia masuk SD. Pertunangan dari kecil adalah tradisi keluarga Cakrawangsa. Dan Uriel menyetujui karena ibunya tak memaksa, berkata bahwa Uriel boleh menolak dan meng...