Part 8

1.3K 81 9
                                    

Pdf redy bisa wa ‪+62 895‑2600‑4971‬

Ebook bisa ke playstore buku https://play.google.com/store/books/details?id=q5Q6DwAAQBAJ

Bisa di baca di Kbm app dan Karyakarsa Aqiladyna.

Happy reading!

Sinar matahari pagi menerebos masuk ke celah jendela menerpa wajah tampan yang masih terlelap tidur, ia mengerang merasa tidurnya terganggu, matanya terbuka, memerhatikan sekelilingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar matahari pagi menerebos masuk ke celah jendela menerpa wajah tampan yang masih terlelap tidur, ia mengerang merasa tidurnya terganggu, matanya terbuka, memerhatikan sekelilingnya.

Kamar Adara? batinnya. Kenapa bisa aku berakhir di sini? Rava menatap ke sampingnya, seorang wanita masih tertidur meringkuk di balik selimutnya.

Rava turun dari tempat tidur melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelah merasa segar ia keluar dari kamar mandi dan menatap Adara yang sudah bangun namun masih duduk di atas tempat tidur menatap Rava penuh tanda tanya.

"Aku harus pulang, siang ini ada rapat penting, mana kunci mobilku?" tanya Rava.

Adara menghela napas, ia menyingkap selimut lalu turun dari tempat tidur melangkah ke meja nakas membuka laci mengambil kunci mobil dan memberikannya pada Rava.

"Malam tadi kau mabuk berat di club, Frans yang membawamu ke sini," jelas Adara menatap Rava yang duduk di sofa memakai sepatunya.

"Aku tidak ingat apa pun," sahut pria itu.

"Kumohon hentikan kebiasaanmu pergi ke club, hampir saja kau membunuh Frans malam tadi, hidungnya berdarah karena pukulanmu," papar Adara duduk di samping Rava.

"Sampaikan maafku pada Frans," ujar Rava menatap Adara.

"Kenapa kau seperti ini, apa kau cemburu pada kedekatanku dengan Frans? Mengertilah Rava, Frans hanya teman baik kita sejak lama dan kau pun selama ini tidak mempermasalahkannya," pinta Adara.

"Aku tahu itu, mungkin karena pengaruh alkohol membuat otakku tidak bekerja dengan baik. Aku pulang." Sebelum pergi, pria itu mengecup bibir Adara sekilas.

"Malam ini apa kau menginap di sini?" tanya Adara saat Rava membuka pintu kamar.

"Iya, aku akan datang," jawab Rava melanjutkan langkahnya.

Biasanya saat Adara galau dengan tingkah Rava yang kelewat batas ia akan menelepon Orin untuk berkeluh kesah, dan dengan manisnya Orin pasti memberikan nasihat dan semangat untuk Adara, tetapi sekarang Adara merasa kehilangan sosok itu, sahabat yang sangat baik untuknya. Adara sangat kecewa, kenapa harus Orin yang mengkhianatinya? Tapi untunglah Orin tahu diri karena Rava tidak akan pernah mencintai Orin, dan wanita itu memilih pergi dari kehidupan Adara dan Rava. Sebenarnya ini jalan salah yang Orin ambil, seharusnya Orin datang meminta maaf pada dirinya, mungkin saja ia akan sedikit berbaik hati untuk memaafkan apa yang sudah dilakukan Orin di belakangnya.

"Seharusnya kau berpikir seribu kali sebelum berbuat, Orin," gumam Adara.

***

Rava langsung kembali ke kediamannya untuk membersihkan diri dan menganakan jas rapinya. Sebelum menuju ke kantor, ia menyempatkan diri ke apartemen yang ditempati Orin, ada perasaan gundah di hati Rava saat teringat terakhir kali ia meninggalkan Orin di dalam kamar mandi. Rava melupakan sesuatu, Orin sedang hamil, seharusnya ia bisa mengontrol emosinya. Dengan kecepatan penuh Rava melajukan mobilnya.

Beberapa waktu berselang, Rava memberhentikan mobilnya di parkiran apartemen, tergesa-gesa ia keluar dari mobil memasuki area gedung melangkah cepat menaiki lift menuju lantai atas.

Napas Rava terengah-engah sampai di depan pintu apartemen, ia menekan password lalu membuka pintu.

"Orin!" panggilnya sambil memerhatikan sekelilingnya yang sepi. Rava mengernyitkan keningnya, ia takut Orin pergi dari sini, ia berlari kecil menuju kamar membuka pintunya, di sana juga sepi. Bergegas ia ke kamar mandi, matanya terbelalak menatap Orin yang tergeletak tidak sadarkan diri di lantai kamar mandi masih dengan pakaian yang terkoyak.

Rava panik, ia membungkuk merengkuh tubuh Orin, menggendong, lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Perlahan pria itu menepuk pipi Orin, mengusap dengan lembut wajah istrinya yang sangat pucat dengan bibir yang mulai kebiruan.

"Orin, sadarlah," bisik Rava bergetar.

Pria itu merogoh saku jasnya mengambil ponsel dan segera menghubungi dokter untuk datang memeriksa keadaan Orin.

"Halo, Dok, cepat sekarang juga datang ke apartemenku, aku sangat membutuhkanmu, istriku pingsan!"

"Baik, Tuan Rava, saya akan berangkat sekarang juga."

"Terima kasih." Rava memutuskan panggilan.

Rava mengembuskan napas kasar, ia meletakkan ponsel dan kunci mobil di atas meja nakas lalu melepas jas dan dasinya yang dilemparnya ke arah sofa. Ia melangkah ke lemari mengambilkan pakaian untuk Orin. Dengan telaten Rava mengganti pakaian Orin, menyelimuti tubuh wanita itu yang sedingin es.

"Bertahanlah," gumam Rava cemas.

***

Rava memerhatikan dokter yang memeriksa keadaan Orin. Tidak lama sang dokter menghampiri Rava untuk memberikan resep padanya.

"Tuan Rava, keadaan istri Anda dan kandungannya sangat lemah, setelah istri Anda sadar sebaiknya langsung diberikan vitamin dan asupan bergizi, sebab kalau istri Anda seperti ini terus saya tidak jamin kandungannya akan bertahan," jelas sang dokter.

Rava berdiri bergeming, kedua tangannya terlipat di depan dadanya, hanya mengawasi Orin tanpa berkedip. "Terima kasih, Dok," sahut Rava.

"Kalau begitu saya permisi, Tuan," pamit si dokter melangkah melewati Rava.

Rava melangkah perlahan mendekati Orin lalu duduk di tepi tempat tidur meraih telapak tangannya mengecupnya lama. "Maafkan aku," gumam Rava dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Jarum jam berputar, Rava masih saja duduk mengawasi Orin, ia juga tidak masuk kantor dan membatalkan meeting hari ini.

Tidak lama Rava tertidur di samping Orin seraya menggenggam tangan istrinya dengan erat.

Orin tersadar, ia membuka matanya yang terasa berat dan memandang sekeliling, tampak mengabur. Ada sesuatu yang hangat menggenggam tangannya. Orin menoleh ke samping, ia terkejut mendapati Rava tertidur sambil menggenggam tangannya.

Kapan Rava pulang?

Setelah kejadian di kamar mandi Rava marah besar padanya, Orin sama sekali tidak ingat apa pun. Orin memerhatikan wajah tampan Rava, mata setajam elang yang sering menatap Orin kini terpejam dengan damai terbuai ke alam mimpi. Jika tertidur seperti ini Rava jauh lebih kalem, tidak terlihat sisi arogan dan menakutkan.

Setetes air mata Orin mengalir, Rava hanya bersikap arogan padanya, tapi dengan Adara sikapnya jauh berbeda.

Siapalah Orin, hanya seseorang yang tidak ada harganya di mata Rava, istri yang selamanya akan disembunyikan pria itu dari publik. Sebentar lagi pun Rava akan menikah dengan Adara, memang seharusnya seperti itu, mereka pasangan serasi, tetapi Orin tidak mau kelak keberadaannya akan dianggap sebagai benalu di antara hubungan Rava dengan Adara.

tbc

Istri simpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang