harapan dan rumah

9 3 1
                                    

"Berjuang sekali lagi, akan ada kebahagiaan di ujung sana saat kamu bisa mengikhlaskan yang telah terjadi."

............

Bell pertanda istirahat telah berbunyi, seluruh murid berbondong-bondong menuju kantin sekolah untuk mengisi perut mereka. Terkecuali, seorang pemuda yang masih setia menundukkan kepalanya.

Brakkkk....

Suara gebrakan meja membuatnya mengangkat kepalanya menatap sang pelaku yang telah menggebrak mejanya. Matanya hanya menatap diam beberapa orang didepan nya, bukankah sudah dikatakan? Bahwa ini adalah makanan setiap harinya di sekolah. Saat murid lain nya mengisi perut di waktu istirahat, ia justru malah harus mendapatkan perundungan.

"Kenapa? Lo mau marah? Ngamuk? Sini dong," Laki-laki dengan baju urakan itu menatap remeh pemuda didepan nya, Bumi. Ya, pemuda yang sedari pagi sudah mendapatkan bullyan.

Andra Gundono, Laki-laki yang tadi menggebrak meja itu tersenyum sinis, kemudian meletakkan kakinya di atas meja dengan kasar. Bumi menatap takut ke arah Andra, ia yakin setelah ini ia akan berakhir dengan keadaan yang tidak baik-baik saja, bahkan sangat buruk.

Tepukan tangan yang Andra bunyikan membuyarkan ketakutan Bumi, suara sorakan dan lemparan batu kembali Bumi dapatkan. Bumi menutup wajahnya dengan kedua tangannya, Andra yang melihat itu merasa kurang puas, ia mendorong Bumi hingga tersungkur dan tampak seperti bersujud di kakinya. Tidak berhenti di situ Andra juga menginjak punggung laki-laki itu hingga susah bernafas.

Semua orang yang melihat nya hanya diam, bahkan ada yang tersenyum puas melihat kejadian itu. Bumi, satu nama yang benar-benar ingin mereka musnahkan.

Dadanya sesak, kepala nya sakit, matanya terasa berat. Ia mendongak melihat ke sekelilingnya yang hanya menatap nya sinis. Tidak ada yang berniat menolongnya.

"Bumi Pratama Sadewa, nama lo bagus tapi akan lebih bagus saat nama lo tertulis rapi di batu nisan," Andra berucap sambil menekan pijakan nya. Semua orang tertawa mendengar penuturan Andra. Kematian Bumi adalah suatu yang sangat dinantikan. Padahal, Bumi tidak memiliki masalah pada mereka lantas kenapa mereka berperilaku seperti itu?

"L-lepash.. Turunin kaki lo D-ra"

"Wah wah, dia sudah berani ngomong nih," Bukannya menuruti permintaan Bumi, Andra justru semakin menjadi-jadi. Ia menurunkan kaki nya kemudian menendang perut Bumi hingga pemuda itu berguling.

"DENGERIN GW SEMUANYA!! SIAPAPUN YANG BULLY NIH CUPU BAKAL GW KASIH HADIAH MENARIK, SEE? LAKUIN HAL YANG SEHARUSNYA KALIAN LAKUIN" Andra berucap dengan lantang sembari menatap ke arah Bumi yang sudah tidak berdaya, pelipisnya mengeluarkan darah dan bibir yang membiru.

Setelah mengucapkan itu Andra berlalu begitu saja, sementara Bumi lagi-lagi harus mendapatkan kata-kata busuk dan rasa sakit. Tubuhnya bahkan sulit untuk digerakkan. Ia hanya berharap agar bisa melihat hari esok yang mungkin akan ada keajaiban.

..........

Rumah, harapan terakhir yang Bumi punya. Ia berjalan dengan tertatih memasuki rumahnya, rumah yang hanya sekedar tempat bangunan. Matanya menyusuri penjuru rumah, tampak sepi dan senyap.

Ia menaiki tangga dengan perlahan, hingga tiba didepan kamar orang tuanya. Niatnya yang ingin mengadu apa yang di alaminya harus ia kubur dihatinya saat mendengar pertengkaran orang tuanya. Ini bukan kali pertama ia mendengarkan pertengkaran itu, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

"Udah berapa lama mas selingkuh dengan wanita jalang itu hah?!"

Plakkk.... Bunyi tamparan begitu keras, membuat Bumi yang menguping itu menutup telinganya, ia membayangkan kejadian saat di sekolahnya tadi.

"Diamm!! Siapa yang kau sebut jalang? Dia bahkan lebih berkelas darimu."

"Hahaha lawakan seperti apa yang kamu bicarakan mas? Wanita berkelas tidak akan menaiki ranjang seorang pria yang telah berisrtri," Pria baruh baya itu menggeram marah, ia mencengkram kuat pipi istrinya.

"Akh... "

"Aku akan segera menceraikan mu dan urus anak tidak berguna itu," Ucap pria itu melepaskan cengkraman nya.

"Cihh! Aku tidak sudi mengurus nya, lebih baik aku pergi sendiri,"

"Terserah, intinya aku tidak mau mengurus nya," Setelah mengatakan itu pria tersebut keluar kamar, ia melihat ke arah sang anak yang nampaknya mendengar percakapannya dengan mantan istrinya itu, bukankah itu lebih baik? Daripada harus menjelaskan hal yang tidak berguna. Kemudian, ia melanjutkan langkah nya keluar dari rumah itu.

Bumi menatap nanar punggung sang ayah, kemudian matanya beralih menatap kamar orang tuanya.

"Arghhhhhh, sialann kau dimas!!!" Teriakan sang Ibu, teriakan wanita yang sangat di sayanginya. Ingin rasanya ia memeluk wanita itu tapi ia tidak berani, ketakutan nya melebihi apapun.

Terlalu banyak yang terjadi hari ini, terlalu banyak rasa sakit yang dirasakan membuat Bumi benar-benar lelah. Tidak hanya tubuh, bahkan hatinya merasakan sakit. Ia bersandar di dinding kamarnya yang terasa dingin itu. Banyaknya pikiran pikiran buruk serta mental nya yang terguncang membuat nya menjadi seorang yang lebih tertutup lagi bahkan untuk sekedar menatap rasanya sulit. Ia takut, takut dengan manusia, manusia sangat jahat. Manusia yang selalu menghakiminya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang