Bab 1

85 8 3
                                    

~Bismillah~

*****

Hujan dipagi hari memang enaknya buat rebahan sambil nonton tv ditemani mi kuah panas dan susu hangat. Tapi, sepertinya suasana itu tidak berlaku di PonPes Darul Karim ini. Nyatanya dihari Minggu yang hujan ini seluruh santri masih melakasanakan kegiatan mengaji dengan sang kyai tercinta.

Rasa kantuk yang sedari tadi menyerbu pun mulai mengalahkan kesadaran sebagian dari mereka. Menjadikan meja sebagai bantal adalah hal ternikmat selain tiduran ketika hujan pagi.

Coretan-coretan abstrak nan indah menghiasi kitab kuning tanpa harkat itu, tentu saja sebab pegangan pulpen mereka berangsur longgar karena kesadaran mulai menipis. Tapi tak membuat mereka menyerah untuk berusaha mengembalikan kesadarannya. Alhasil, layaknya rekaman boomerang, badan mereka mengarah tak tentu dengan mata tertutup.

"Wallahu A'lam Bishshowaab"

Saat itulah-saat kata itu diucapkan-entah bagaimana rasa kantuk yang hebat itu lenyap. Kesadaran yang mereka cari-cari pun tiba-tiba saja menyergap kembali.

"Yang tadi tidur, wudhu dulu langsung kembali lagi ke masjid untuk sholat dhuha" ucap kyai

-------

"Alish" panggil seorang guru yang diketahui bernama Roni

"Saya, ustadz" jawabnya sopan

"Bulan depan ada perlombaan MQK di Pesantren Al-Amanah, kami sudah rundingkan yang akan mewakiki Pesantren ini adalah kamu. Apakah kamu sanggup?"

"I-in syaa allah saya sanggup ustadz. Kalau saya boleh tahu, kitab apa yang akan dilombakan dan bagaimana teknisnya?"

"Alhamdulillah kalau kamu sanggup, untuk teknis dan kitabnya nanti sore saya beritahu lagi ketika ngaji perkelas"

"Siap ustadz, terimakasih atas kepercayaannya semoga saya bisa menjalankannya dan tidak mengecewakan"

"Aamiin, saya tahu kemampuan kamu. Kalau begitu, saya duluan. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam ustadz" lalu Alish pun pergi darisana dan melanjutkan perjalanan menuju asrama yang sempat tertunda.

Chafiyyah Alishba Raihana. Santriyah yang kata orang terkenal dengan kepintarannya dalam ilmu alat. Banyak orang yang menyanjungnya karena 2,5 tahun ini juara bertahan peringkat 1 dikelasnya-kelas yang diyakini kelas tertinggi diPesantren tersebut-kelas Alfiyah.

Tak sedikit juga orang yang ingin muroja'ah atau muthola'ah dengannya. Karena mereka percaya kalau kemahirannya tak diragukan lagi.

Sesampainya diasrama, Alish mengucap salam dan merebahkan tubuhnya diatas tumpukan baju miliknya yang baru ia angkat dari jemuran.

"Allahu akbar, cape banget hari iniiii" Keluhnya pelan

Kebetulan sekali dikamar siang ini tidak ada siapa-siapa kecuali Alish dan salah seorang sahabatnya

"Dari mana aja lish, daritadi ga ada dikamar?" Tanya Trisna yang sedang menghafal didepan lemarinya

Alish yang sedang rebahan pun lantas mendudukan tubuhnya menghadap lawan bicaranya.

"Abis piket mesjid, aku kebagian bagian kulah. Gilaaa cape banget mana tadi yang lain malah maen air, jadinya lama beresnya. Tapi seru si haha"

"Baju kamu pada basah atuh?"

"Bagian lengan doang untungnya. Eh betewe, pernah denger pesantren al amanah ga? Kaya ga asing si menurut aku"

Sebenarnya Alish tidak begitu tahu dengan pesantren yang ustadz Roni sebutkan tadi, tapi bukan itu yang terpenting pikirnya. Tetap saja ia penasaran

"Emm, pernah denger si.. yang planknya warna ijo bukan?"

"Ya kalo patokannya plank warna ijo ma banyak, lagian rata-rata pesantren itu pake plank warna ijo"

Trisna nyengir kuda mendengar hal itu

"Plank pesantren kita juga warna ijo kalo kamu lupa" tambah Alish

"Iya juga ya... Eh aku inget! Kalo ga salah ni ya, anak pendirinya tuh namanya Ceng Harun Ali yang punya toko baju muslim di deket daerah ini"

"Kalo toko bajunya aku tahu si, tapi minimal nama kyai nya lah. Kamu bisa-bisanya sampe tahu anak nya. Ampun dah, Ceng lovers ma beda" sindir Alish

"Hehe ga juga yaaa.. kebetulan aja tahu, soalnya bapak aku suka beli baju disana. Suka ngobrol-ngobrol juga sama penjaga tokonya jadi ya sedikit tahu." Jelas Trisna

Tapi perkataan Alish yang terakhir tidak salah, Trisna adalah salah seorang santriyah Ceng atau biisa juga Akang alias sebutan putra kyai. Bahkan dengan bangganya dia menempelkan beberapa stiker dipintu lemarinya dengan tulisan 'MA' singkatan dari Menantu Ajengan. Yakin deh, dipesantren kalian juga pasti ada yang begini haha.

"Emang kenapa nanyain pesantren itu? Lagi ngincer santri disana yaaa hayoo ngakuu !" Tuduhnya asal

"Ih ngga! Ya kali, tahu pesantren itu aja samar-samar" sanggah Alish tak terima

"Oh atau itu kali yang diumumin sama ustadz Roni minggu lalu. Eh kamu udah tahu belum?" Ujar Trisna yang teringat perkataan ustadz Roni minggu lalu pada kelasnya

Ustadz Roni memang sengaja mengummkan setiap ada perlombaan agar semua santri dapat terinspirasi dan lebih semangat belajar. Bukankah kebanyakan orang ingin terlihat nomor satu dimata orang-orang? Tapi bukan nomor satu yang ustadz Roni dan guru lainnya inginkan dipesantren Darul Karim ini, tapi semangat belajar yang santri itu perjuangkan.
Juara satu hanyalah rayuan agar mereka mau belajar, jikalau tidak mereka dapatkan setidaknya mereka tahu dalam berjuang untuk belajar itu dapat menambah pengetahuan mereka.

"Udah tahu tadi pas pulang piket ketemu ustadz Roni. Kelas kamu ada yang kepilih ga?"

"Kayaknya kamu juga udah tahu siapa yang kepilih jadi peserta"

"Sudah kuduga hahaha..tapi kayaknya dugaan ku jadi dua deh sekarang" ucap Alish penuh arti

"Dugaan yang terakhir juga bener hahaha. Tahu aja kamu, pinter baca situasi ya"

"Semua orang juga nyaksiin kali bulan lalu kamu dipanggil kepanggung karena juara kelas"

Benar sekali. Kemajuan Trisna setahun ini lumayan berkembang. Sebut saja Trisna adalah orang yang dari nol belajar alat. Ketika awal masuk pesantren ia termasuk orang yang tidak tahu menahu ilmu alat.

"Tadi lagi ngomongin apaan si aku ngerasa orang terbodoh disini" ujar Trisna tahun lalu

"Belajar sama-sama kayaknya seru nih, kamu mau 'kan jadi partner belajar sama aku? Sekaligus bimbing aku" ajak Trisna dengan mata berbinar

"Hahaha kalimat yang kamu ucapin awal kita ketemu disini" balas Alish tertawa mengingat hal itu

"Ahahha masih inget aja. Dan kali ini aku ngucapin kalimat itu lagi untuk perjuangan kedua aku"

"Dengan senang hati, Trisna.."

Balasan yang juga dilontarkan Alish tahun lalu.

"1002" For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang