BAGIAN 13

200 14 29
                                    

Setiap Topan merebahkan dirinya di atas tempat tidur yang biasa menjadi tempatnya beristirahat dengan istrinya, Topan tak urung memikirkan Alina. Dia memejamkan matanya. Membayangkan paras ayu Alina yang tak pernah gagal membuatnya tenang. Tak lama dari itu wajah Alina yang dilumuri kesedihan dan kekecewaan menghampiri benaknya, dan saat itulah Topan merasa bersalah.

Dia ingin sekali datang ke tempat Alina. Memeluknya. Berjanji padanya untuk setia. Hatinya yang dipenuhi kerinduan ingin melakukan itu semua, namun dia teringat pada kata-kata Mas Doni. Tentu kamu lebih baik daripada Anand, kan? Kamu bisa merelakan istrimu daripada kamu bersamanya namun terus menyakitinya?

Tidak, aku tidak bisa kembali padanya, pikir Topan. Aku tidak bisa egois. Aku tidak mau lebih buruk daripada Anand. Kehadiran pria itu di hidup Alina hanya untuk sengaja menyakiti hati Alina. Aku tidak begitu. Justru dengan kepergianku, aku akan membuktikan pada Alina, bahwa aku ingin membuatnya bahagia. Aku tidak bisa membuatnya demikian jika aku berada di sekitarnya.

Aku harus sembuh dulu. Aku harus bisa mengubah diriku. Baru setelah itu aku kembali.

Topan bertekad untuk meninggalkan kehidupannya di Indonesia. Dia meminta sutradara lain untuk mengurus proyeknya yang sedang berjalan. Tentu sutradara itu mengingatkan bahwa hal itu harus mendapat persetujuan dari Pak Doni dulu, tapi Topan bersikeras bahwa Pak Doni tidak mungkin marah. Topan pun tidak serta-merta pergi. Dia pamit dulu kepada abangnya.

"Berapa lama?" tanya Pak Doni setelah mendapat surat pernyataan berhenti dari Topan.

"Entahlah," sahut Topan mengangkat bahu.

"Tidak takut, istrimu diambil orang?" Pak Doni menegurnya. Dia kemudian menatap Topan dengan heran. "Kamu tidak sedang di ambang kematian, kan?" Ya, terang dia bertanya begitu. Tidak biasanya Topan bersikap pasrah seperti itu.

"Saya merasa lebih baik saya mati daripada hidup untuk melukai hati Alina," jawab Topan lirih.

"Kamu mencintainya?"

Topan mengangguk.

"Dan kamu setuju untuk bercerai?"

Sekali lagi Topan mengangguk. "Perceraian ini adalah bukti bahwa saya mencintainya. Mas bisa kan jaga dia?"

Topan mendengar kakaknya menghela napas berat. "Dulu Ivan memintaku berjanji dan Alina justru menikah dengan orang macam kamu. Kalau definisi menjagamu adalah melarangnya bertemu dengan pria lain, aku pass."

"Aku juga sebenarnya takut dia menemukan pria lain, tapi mau bagaimana? Aku memasrahkan takdir pada Tuhan kali ini."

"Kamu percaya pada Tuhan akhirnya?" Dia melihat Topan mengangguk dengan enggan. Sekali lagi Pak Doni mengingatkan, "Kamu sadar, kan, Alina itu masih muda dan dia sangat cantik? Kamu harus yakin dengan keputusanmu. Sekali kamu meninggalkan dia, bisa jadi itu selamanya kamu tidak bisa memiliki dia."

"Saya percaya Tuhan baik, kalau itu memang jalan Tuhan kenapa tidak?" Topan mengedipkan matanya, tersenyum tenang lalu tanpa mau diajak bicara lagi dia meninggalkan ruang kerja kakaknya.

**

Sudah tiga bulan Alina tinggal di rumah barunya dan tampaknya anak-anaknya tidak kesulitan beradaptasi di lingkungan baru mereka. Hanya Alina yang belum terbiasa tidur sendiri lagi. Hanya dia yang merasa hampa sebab Topan yang selama ini menjadi teman bicaranya sebelum tidur tak kunjung menghubunginya. Ya, sejak dia pergi dari rumah, Topan tidak meneleponnya. Mengirimkannya pesan pun apalagi!

Senangkah dia diceraikan? Bahagiakah dia akhirnya terlepas dari pernikahan yang membelenggunya dari aktivitas menjijikkan itu? Ya, apa lagi sebutan seks bebas bagi pria yang sudah beristri? Menjijikkan, kan?

Bye, Love #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang