CHAPTER SEPULUH

1.2K 140 11
                                    

Camping di taman belakang ternyata tidak buruk. Totalitas Made tidak perlu diragukan lagi. Menjelang malam, pria itu membuat api unggun. Pria itu juga menyiapkan kompor portabel dan membuka plastik berisi makanan. Wildan melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dia membelikan semua permintaannya dan tidak ada yang kurang sama sekali.

"Kamu mau makan mie kuah apa mie goreng?" Made bertanya.

"Mie kuah aja." Tepat saat mengatakan itu, resleting tenda terbuka. Wina sudah mengganti rok pendeknya menjadi celana panjang. Sambil mengikat rambut panjangnya, Wina menghampiri Made yang sedang duduk di depan kompor portabel. Di atas kompor itu, sudah ada panci kecil berisi minyak. Made akan menggoreng kentang dan sosis dulu, baru membuat mie.

Ia mengambil plastik besar dan mengeluarkan serenteng kopi sachet. Di plastik itu juga ada piring dan gelas plastik. Ia tersenyum menyadari bahwa pria itu benar-benar serius dengan campingnya.

Wina duduk di samping Made dan melihat pria itu sedang fokus dengan kentang goreng di panci kecil itu.

"Kok lo bisa sih kepikiran kayak gini?" Wina bertanya karena penasaran. Made tidak menjawab. Ia mengangkat bahu dan fokus mengangkat kentang goreng yang sudah matang.

"Lo sayang banget sama gue, ya?" Wina bertanya. Made masih diam.

Wina tersenyum. Ia tahu gengsi pria itu tinggi. Ia mengambil piring berisi kentang goreng yang diulurkan suaminya.

Setelah semua masakan matang, mereka berdua menyantap mie instan itu. Wina bingung kenapa mereka bersusah payah padahal mereka tinggal pergi ke dapur dan meminta asisten rumah tangganya untuk masak. Tapi ia ingin menghargai usaha pria itu.

Ingatan Wina membawa kenangan mereka sewaktu kuliah. Saat budhe Elisa sedang tidak ada di rumah, mereka berempat biasanya pergi berkemah di taman belakang rumah gadis itu yang memang sangat luas.

"Mad... lo ingat nggak, dulu kita sering camping di belakang rumah Elisa kayak gini?"

Made mengangguk pelan sambil mengunyah.

"Kapan ya bisa kayak gitu lagi? Kangen banget gue." kata Wina. Ia tersenyum saat kenangan-kenangan itu berputar di otaknya. Seperti terproyeksi di depan matanya.

"Ingat nggak, yang pas Fabian gabung?" Wina melihat Made tampak mengingat-ingat. "saat itu lo lagi galau-galaunya."

Wina mengulum senyum saat melihat pria itu melotot ke arahnya.

"Lo nyanyi lagu peri cintaku di depan tenda dengan raut wajah memprihatinkan." Wina terkikik geli saat mengingat itu.

"Nggak. Gue nggak ingat." Saat Made mengatakan itu, tawa Wina justru semakin pecah.

Selama beberapa saat, keduanya fokus menghabiskan isi mangkok masing-masing.

"Mad, rambut gue udah panjang banget, nih. Gue ke salon boleh, ya?" Wina bertanya. Semenjak pandemi, ia memang belum pernah ke salon lagi dan membiarkan rambutnya memanjang.

"Nggak... nggak." tolak Made langsung.

Wina mendesis, "gue udah gerah banget." keluh Wina. Sejak dulu, Wina memang tidak betah dengan rambut panjang. Ia selalu setia dengan rambut sebahunya.

Made tetap menggeleng. Ribet memang kalau berurusan dengan pria itu.

"Terus gue bolehnya ke mana? Ke mana-mana nggak boleh. Heran banget..."

"Sabar, ya... Tunggu pandemi selesai dulu." kata Made dengan sabar.

Wina berdecak. Setelah menghabiskan mie instannya, mereka berdua menyesap kopi dalam gelas plastik di tangan masing-masing. Angin yang berembus sangat dingin membuat Made berpikir bahwa akan turun hujan.

Kedai Kopi Pahit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang