Chapter 4

568 74 30
                                    

Mengendap-endap layaknya pencuri, Renjun dan Jeno merayap di balik semak. Mata mereka menatap awas, memandang sebuah rumah yang cerobong asapnya mengepul samar, menerbangkan harum kayu ek yang dibakar. “Apakah mereka sedang memanggang daging?” bisik Jeno, dekat telinga Renjun.

Renjun yang berada di depannya langsung menjengit kaget dan secara refleks menampar mulut Jeno. “Berhenti berbisik! Kau mengagetkanku!” ucapnya marah. Jeno yang mulutnya ditampar langsung cemberut tak suka. “Kau tak perlu menamparku!” protesnya yang dibalas delikan tajam dari Renjun.

“Kau berisik!”

“Kau juga!”

Renjun melotot kesal lalu berbalik meninggalkan Jeno. Dia dengan lincah melewati sela-sela ranting, meliuk-liuk dengan mulus berkat tubuh kecilnya itu, meninggalkan Jeno di belakang.

“Renjun! Tunggu aku!”

“...”

“Pelan-pelan!”

Renjun mendesah sabar. “Apa lagi?” ucapnya malas sembari melirik Jeno yang kesusahan di belakangnya. Ia menggeleng miris. “Kau lelet sekali!” katanya.

Wajah Jeno menggelap malu. “Kau tahu? Ugh... astaga duri ini! Ini pertama kalinya aku melakukannya. Tidak pernah ada pangeran yang merayap di semak-semak,” omelnya.

Dia bertubuh lebih besar dari Renjun sehingga anak itu cukup kesusahan saat melewati batang-batang semak yang berduri tajam. Kulitnya yang telanjang tergores di sana-sini dan tak jarang kakinya tersangkut semak kala mencoba melewati celah yang terlalu sempit.

“Kita jalan biasa sajalah,” rengeknya lagi, tetapi Renjun tak menyambut baik ide tersebut. Anak lainnya itu kembali mendelik dan berkata galak, “Kau saja sana biar tertangkap!”

Jeno langsung terdiam mendengarnya.

Renjun menggeleng pasrah lalu kembali melanjutkan rayapannya hingga keluar di dekat bangunan kecil mirip gudang. Bangunan itu ada di samping rumah, bertembok kayu, dan tampak usang nyaris roboh. Melihat itu, Renjun meringis. Dia jadi teringat suatu bangunan yang mirip dengan ini. Bedanya itu bukan gudang.

HUP

Dia berguling ke sisi dinding dan menoleh ke sekelilingnya. Setelah merasa aman, Renjun beralih menatap Jeno yang masih kesusahan. Kaki kiri Pangeran Bodoh itu kini terlilit batang tumbuhan rambat dan berakhir dengan tersangkut di semak-semak. Bagus sekali!

“Tidakkah kau bisa lebih cepat?” Renjun berkata tidak sabar. Dia kembali menoleh ke sekelilingnya, takut jika ada yang memergoki mereka. “Kita bisa ketahuan kalau kau lamban!”

“Renjun...”

“Apa?”

“Matamu di mana? Tidakkah kau lihat aku tersangkut?” Jeno bersungut tak senang. Dia menunjuk kakinya lalu menunjuk kesal pada Renjun yang menatapnya sinis. “Lebih baik kau bantu aku dan berhenti menatapku seolah-olah aku adalah beban!” Renjun menghela nafas dramatis. “Kau memang beban,” ejeknya.

Dia dengan ogah-ogahan kembali berjalan ke semak dan berjongkok di depan Jeno. “Apa masalahnya?” tanya Renjun. Jeno bergeser dan menunjuk kakinya yang tersangkut. “Aku tidak bisa bergerak,” balas Jeno. Renjun yang melihatnya hanya bisa tersenyum sabar. Ternyata masalah anak itu masih sama. Kaki kirinya masih tersangkut, walaupun tak lagi terlilit tumbuhan rambat. “Coba tarik kakimu,” kata Renjun. Namun, langsung ditanggapi Jeno dengan berapi-api. “Kau mau kakiku putus, hah? Lihatlah ini banyak durinya!”

Ya, Renjun juga tahu itu banyak durinya. “Aku juga tahu! Kau tidak usah marah-marah begitu!”

“Kau yang marah-marah lebih dulu!”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VARGSÅNGEN | NOREN FANFICTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang