Halilintar, dalam banyak diamnya, banyak memperhatikan.
Dia perhatikan tali sepatu Taufan yang terlepas waktu dia berlarian mengejar Blaze demi dapatkan novel yang baru saja direbut si nomor empat itu—hadiah dari Halilintar sendiri yang baru diberikan pada Taufan lima menit lalu untuk penuhi acara tukar hadiah di hari ulang tahun mereka (ide si kecil Duri yang penuh kejutan, tentu saja)—dan dia melompat. Halangi Taufan yang langsung mengerem larinya, pasang raut masa bodoh waktu Taufan mengomel soal betapa tidak etisnya Halilintar menghalangi permainan mereka, kemudian menegur balik si nomor dua untuk mengikat tali sepatunya betul-betul.
"Eh iya, untung enggak kesandung. Makasih Kak Hali!" Tipikal Taufan, kalau habis terima kasih pasti loncat-loncat, dan talinya lepas lagi. Halilintar geleng-geleng, mencatat dalam hati untuk mengajari Taufan cara mengikat tali sepatu yang kencang.
Dia perhatikan Blaze yang sudah lima belas menit bolak-balik di antara ruang televisi dan ruang tamu, naik lagi ke kamar mereka di lantai dua, lalu turun lagi dan mengeluh pada Gempa soal buku pelajarannya yang belum ketemu. Padahal besok ada ulangan.
"Coba diingat lagi." Gempa mengulang untuk kesekian kali—saran yang sayangnya persentase berhasilnya kurang dari lima persen karena usaha Blaze untuk mengingat satu dua parahnya dengan Taufan (dua anak itu memang betulan kembar sampai ke ujung kaki), apalagi kalau sudah berurusan dengan buku pelajaran.
Halilintar menghela napas, diam-diam membungkuk untuk sembunyikan diri, tidak ingin adik-adiknya melihat tangannya yang menggerayangi kolong sofa. Lantas lebarkan mata saat tangannya berhasil menarik sesuatu.
Buru-buru Halilintar berdiri, satu tangannya sembunyikan barang di belakang punggung dan satu tangannya lagi menyentil dahi Blaze pelan. "Makanya naruh barang tuh yang bener …"
"Kak Hali nggak usah komen, nggak bantuin juga—" Blaze baru saja mau berseru dongkol saat Halilintar menempelkan kover buku yang dicari-cari ke wajahnya, "—eh, ketemu di mana, Kak?"
"Selokan," asalnya, lalu dengan cepat naik ke lantai dua untuk hindari Blaze yang sudah hampir memeluknya.
(Samar dia mendengar Blaze berseru 'eww' di belakang, dan dia bersyukur, tandanya si nomor empat tidak akan nekat memeluknya untuk saat ini.)
"Ih, orang gila."
Kadang Halilintar temukan Ice yang kata orang begini, kata orang begitu, menjadi kebalikan dari semua rumor tentang adiknya yang satu itu dalam acara menonton film bulanan yang selalu hanya mereka rencanakan berdua secara diam-diam—karena yang lain terlalu rusuh saat menonton film dan Halilintar tidak mau keluar duluan sebelum film selesai sambil minta maaf pada penonton lain karena berisik (alibi Halilintar, dan Ice iya-iya saja).
Katanya Ice malas gerak, tapi bahu Halilintar terus-terusan jadi sasaran sodok Ice saat si sulung hanya ingin bersandar dengan tenang ke kursi bioskop, saksikan layar besar di depan mata mereka tayangkan penjahat yang mulai melancarkan aksi buat habisi tokoh utama dalam film.
Katanya Ice sehari hanya bicara maksimal lima kalimat, tapi sejak tadi telinga Halilintar jadi korban yang harus mendengarkan celotehan Ice sepanjang film soal betapa tidak realistisnya background CGI yang dipakai di dalam film—sejak kapan Ice ketularan Solar urusan detail begini?
Halilintar geleng-geleng. Begini jadinya kalau mereka memilih film superhero, genre kesukaan Ice.
Tapi toh, sebenarnya Halilintar sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
warm little times
Fanfiction[ boboiboy fanfic ] Being the eldest is surely a pain in the ass. Gimanapun juga, Halilintar sayang sama semua adiknya, equally. Nggak bohong, walaupun dia ngelak mulu kalau ditanya Taufan (jangan bilang-bilang, ya.) or basically a little compilat...