Prolog

18 2 0
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih dua puluh lima menit, dan alarm di ponsel berdering sudah sejak jam enam pagi tadi. Namun, gadis diatas kasur empuk ini masih belum juga terbangun dari alam mimpi, entah apa yang terjadi di alam sana hingga ia sangat nyaman dan enggan untuk bangun. Apakah sangat indah dan menyenangkan?

Tepat pukul enam lebih tiga puluh tujuh baru ia terbangun dengan muka bantal serta bekas air liur yang masih menempel. Mengusap wajahnya serta menggaruk-garuk kepalanya gatal. Ingatkah dia bahwa satu jam lagi waktunya untuk kuliah?.

"gua kepagian kah ini?," sambil melihat jam dinding yang menggantung di tembok atas depan kasur tempat ia terduduk.

"OH SHIT?? YANG BENAR SAJA," teriaknya lalu berlari meraih handuk untuk segera mandi.

Kebiasaan buruk adalah Aynara menghamburkan waktu, terlalu santai hingga membuat diri sendiri panik ketika mendapatkan masalah. Tetapi, apakah ia akan jera setelahnya? jawaban tidak. Dia terlalu keras kepala untuk hanya sekedar di nasehati. Jadi, Mama Aynara selalu menghukumnya dengan memotong uang saku hingga ia memperbaiki perilaku buruk itu menjadi lebih baik. Yah, walau hanya berjalan satu sampai dua bulan saja.

Setelah siap walau hanya memakai pakaian kasual dan sedikit make up, hal itu lebih baik dari pada tidak mandi. Di raihnya kunci motor lalu turun ke bawah untuk segera berangkat ke kampus. Hanya butuh lima menit perjalanan dari kos-kosannya untuk sampai ke kampus.

"tumben enggak telat lu met," Berlin, teman seumuran yang akhir-akhir ini dekat dengannya menyeletuk di pagi buta.

"bawel, kalau telat nitip presensi," jawab Aynara seadanya.

"ogah anjing, gua takut di tandain dosen,"

Berlin tipikal orang yang blak-blakan, ia seperti tidak bisa menyaring kata-kata dengan baik kecuali kepada yang lebih tua. Walaupun begitu, gadis itu sangat baik dan selalu mengingatkan hal-hal penting pada Aynara, yah dia ini agak pelupa anaknya.

Satu lagi baru saja datang dengan nafas terengah karena ruang kelas berada di lantai empat. "sialan, nih kampus UKT-nya gede lift kagak punya," Berlin hanya tertawa, sedangkan Aynara sibuk dengan ponselnya.

"Lusy, ngerjain tugas belum?," Tanya Berlin sembari memajukan badannya dan tidak sengaja menyenggol Aynara yang tengah asik scroll tiktok hingga membuat gadis itu sedikit menelirik.

"udah sih, cuman gua bingung bener apa enggak,"

"udahlah yah yakin aja, kalau salah tinggal ya Allah ya Allah aja," sambung Lusy.

Ruang kelas menjadi rame akibat anak-anak laki-laki bergerombolan masuk dengan tawa yang menggema seisi ruangan. Tidak heran jika itu Keynan dan kawan-kawan, mahasiswa paling populer dan juga suka jahil. Kalau kata anak muda jaman sekarang seleb kampus. Banyak yang menyukainya karena paras yang tampan serta tinggi badan yang bisa dibilang cukup menawan. Dan satu lagi, ia juga merupakan ketua club basket di kampus ini.

"Lusa lalu habis menangkan tuh anak? makin songong gua lihat-lihat,"

"hahaha, abaikan aja Ber, bukan tipe lu juga kan? enggak usah di liatin mulu," Lusy mencoba menggoda Berlin karena ia curiga sebenernya gadis itu sedikit tertarik dengan lelaki yang kini duduk paling belakang bersama gerombolannya tadi.

"lu kalau ngomong disaring dulu napa dah, najis banget gua naksir dia,"

Sejak tadi yang bicara hanya Berlin dan Lusy. Lalu dimana Aynara? masih sibuk scroll tiktok karena ia paling tidak suka ikut campur dengan bergosip apalagi masalah lelaki, tidak menarik baginya.

"Ay," itu Suara Keynan. Yang mempunyai nama menoleh.

Gadis yang tadinya asik dengan kegiatannya sendiri itu menutup ponselnya dan tersenyum kepada lawan bicara. Aynara Valentine, biasa dipanggil "Ay" oleh teman-temannya, terkadang juga ada yang memanggilnya "Nara" karena kata "Ay" identik dengan sebutan untuk kekasih.

"Gua kemarin menang,"

"Iyakah? Serius lu?," Aynara sungguh tidak tahu, ia jarang yang namanya membuka sosial media apalagi Instagram, followersnya saja hanya lima puluh, itu mungkin cuman teman-teman dekatnya saja.

Keynan berdiri lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi depannya. Menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan bahwa yang ia ucapkan adalah benar, dan terlihat disana piala serta piagam juara satu terpampang jelas.

"Wihh.... congrats yahh, am proud of youu, ciee makin populer aja nihh," Keynan yang mendengar tersebut langsung membenarkan kerah kemeja yang tidak ia kancing itu. Ia paling suka mendengar pujian dari mulut Aynara, karena baginya itu adalah pujian paling ingin ia dengar apalagi dengan senyum serta mata berbinar yang terlihat sangat semangat. Tidak lupa dengan tangan mungil Aynara yang menepuk-nepuk pelan ujung kepalanya, menandakan bahwa gadis itu benar-benar bangga atas pencapaian yang ia raih.

"jangan gitu Ay, nanti makin besar kepala nih anak," celetuk Berlin karena tidak menyukai ekspresi wajah Keynan yang terlihat ingin ia tonjok.

"sirik aja lu mak lampir,"

Berlin hanya memutar bola matanya tidak peduli.

"ikut makan di kantin nanti mau nggak Ay? gua traktir," Tawaran Keynan sangat menggiurkan, namun ia ada urusan setelah ini jadi dengan sopan Aynara menolaknya dengan memberikan alasan yang jelas.

"Si Kambink bisa mandiri kagak dah? dikit-dikit lu dikit-dikit lu," protes Keynan tidak terima setelah mendengar alasan Aynara menolak ajakannya ke kantin.

" next time yah Key,"

"Janji?, Keynan menyodorkan jari kelingking yang dibalas oleh jari kelingking Aynara, pertanda bahwa terikat sebuah janji yang harus ditepati.

Setelah Keynan kembali ke tempat duduknya, Berlin dengan tingkat kekepoan yang sangat tinggi langsung saja melemparkan pertanyaan terkait hubungan Keynan dan Aynara yang sebenarnya. Tidak ada yang namanyaa teman antara laki-laki dan perempuan, pasti salah satunya ada yang mempunyai rasa. Dan hal tersebut menjadi sebuah kecurigaan tersendiri bagi teman-teman Aynara. Belum lagi anak kelas yang lain yang sering mengira bahwa keduanya mempunyai hubungan.

"lu beneran enggak suka Keynan?,"Lusy meyakinkan. Dan Aynara mengangguk sebagai jawaban.

"tapi lu sukanya Albiru?," kini Beralih Berlin yang bertanya. Aynara terdiam ketika mendapati pertanyaan tersebut. Ia masih labil dalam hal suka maupun tidak. Hendak menjawab pertanyaan tersebut dosen tiba-tiba masuk dan menyapa serta meminta maaf atas keterlambatannya.




















"Aku suka Albiru? masa sih?,"

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang