Cintaku Kandas Di Ibukota (original fic)

284 11 0
                                    


Kata kunci :
Lingerie bolong
Batang tegang
Titid portable
Buaya buntung
Anak punk

Tema : Selingkuh


Dasar kau buaya buntung tung
Pacaran kau itung itung tung
Dasar kau buaya buntung, mencari untung
Kamu datang cuma bawa cinta ta
Kamu datang cuma bawa sayang yang
Apa aku harus makan cinta dasar buaya
Buaya buntung buntung dong


“Bangun!” Ujang terbangun ketika seember air membasahi wajahnya. Baru saja pemuda itu bermimpi melihat gadis idamannya---Neng Iteung yang sedang bernyanyi lagu Buaya Buntung sambil memakai lingerie bolong kesukaannya, tapi suara sang ibu yang memekakkan telinga membuyarkan mimpi manis anak punk asal kota Tasik itu.

“Bangun atuh kamu teh! Apa engga lihat sudah jam berapa ini?” Nyai Odah, ibu dari Ujang kini berkacak pinggang melihat putra sulung yang kerjanya hanya tidur.

“Bagaimana kamu bisa merebut hati Riska kalau kerjanya tidur atuh, Jang? Riska teh gadis idaman para pemuda di sini yang bahenol, mana warisannya banyak,” tambah sang ibu dengan logat Sundanya yang khas.
“Mak, serahkan semuanya pada Ujang! Ujang mau merantau dulu ke kota supaya dapat uang yang banyak dan bisa melamar Si Riska, ya.”

“Ih, kumaha kamu bisa dapat uang yang banyak sakitu pagawean teh cuma tidur jeung gaul sama anak punk pengkolan yang di anting sama rambut udah kaya jarum pentul nojos balon?”

“Si emak mah teu apaleun gaya ini gaya modern anak ibu kota!” Ujang beranjak dari kursi kayu tempatnya bermimpi indah lalu berjalan menuju kamar mandi yang letaknya ada di seberang rumah mereka.

Maklum, Ujang hanyalah seorang anak buruh cuci dan pedagang rokok keliling yang penghasilannya tak seberapa. Namun, cita-citanya setinggi gunung Krakatau. Dia ingin menikahi Riska, gadis pujaan para pemuda di kampungnya dan tentu saja Neng Iteung, pacar Ujang di desa sebelum dia merantau ke Jakarta. Gadis itu kini bekerja di salah satu rumah orang kaya.

“Neng Iteung, i love you forever and ever.” Ujang mencium buih-buih sabun, membayangkan gadis impiannya itu sedang berada di sini bersamanya.

“Hudang sia teh Ujang! Mustahil kamu bisa menangkeun si Iteung! Tinggali, tah! Batang tegang segede cabe rawit! Kuduna make titid portable meh panjang, hahahaha,” ledek Jamal yang merupakan anak seorang pengusaha beras yang terkenal di desanya.


“Naon sia teh ngintip, Jamaludin Mahmud!” Ujang segera menyiram Jamal dengan air, tapi pemuda itu segera kabur dari sana. Tak tinggal diam, Ujang segera keluar dari kamar mandi umum setengah badan itu lalu mengejar Jamal.

Namun, beberapa ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian berteriak menyumpah serapahi Ujang yang berlari tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Hanya buih sabun yang menutupi sebagian tubuhnya.

“Allahu akbar! Aing poho!” Ujang lari terbirit-birit kembali ke kamar mandi dan membilas sabun di tubuhnya. Untung urat malunya bersembunyi entah di mana.



Selesai mandi dan merapikan diri, Ujang berkaca sambil menata rambut ala-ala anak punk yang di Mohawk.

“Duh, saya teh meuni ganteng gini, ya?” ujarnya percaya diri sambil tersenyum dengan alis yang dia mainkan ke atas.

Ujang mengambil kendi berbentuk ayam jago dari atas lemari. Itu adalah tabungan yang sudah ia kumpulkan dari SMP.

“Bismillahurrohmanirrohim!” Bunyi ‘trang' yang menggema menandakan kendi itu sudah Ujang pecahkan. Bibirnya merekah saat melihat uang logam seribuan berserakan.

Ujang memulung uang-uang receh itu lalu berniat menukarnya ke warung menjadi uang kertas. Uang itu akan  digunakan untuk pergi ke Jakarta menemui sang pujaan hati.

“Neng Iteung, i'm coming!” ujar Ujang penuh semangat. Dalam pikirannya, jika dia bisa bertemu dengan sang kekasih, pasti nanti dia akan diberi pekerjaan juga di rumah majikannya.
“Ah, bae lah si Riska mah. Mau dia cantik dikejar pemuda sana sini juga hatiku tetap teguh padamu, Neng Iteung-ku tercinta taloktak talektok gejos!”

Setelah siap dengan perbekalannya, Ujang menulis surat untuk sang ibu. Kan, supaya seperti dalam sinetron-sinetron di TV kalau mau ke kota tidak usah bilang, nanti orang tua marah atau tak mengizinkan jika bilang-bilang. Mending pergi dulu baru bilang. Lalu nanti pulang bawa uang banyak. Begitulah pemikiran polos Ujang saat itu.

Selesai membuat surat, Ujang segera pergi dari rumah. Kebetulan saat itu ibunya sedang pergi mencuci pakaian di rumah tetangga dan ayahnya sudah pergi dari pagi untuk berkeliling berjualan rokok di terminal.



Sesampainya di Jakarta setelah menempuh jarak hampir 9 jam karena macet, Ujang duduk di terminal sambil memainkan ponsel mencari alamat rumah. Ponsel yang Ujang miliki bukanlah ponsel mahal. Hanya ponsel android yang sudah bisa chatting, whatsap dan media sosial lainnya.

“Kang, mau ke mana?” Seseorang bertanya pada pada Ujang dan menempeli pemuda polos itu.

“Saya lagi cari alamat ini, Kang.” Ujang menunjukkan layar ponselnya pada lelaki itu.

“Oh, ini ada di sebelah sana.” Lelaki itu menunjuk arah utara. Ujang mengikuti arah tangan lelaki itu, tapi kemudian lelaki itu segera berlari mengambil ponselnya kabur.

“Maling!” teriak Ujang yang segera mengejar lelaki itu. Penumpang lain yang sedang menunggu pun ikut membantu dengan mencoba mengejar, tapi sayang sepertinya preman-preman di sana sudah bekerja sama. Mereka seolah menutupi jalan dan mengalihkannya pada hal lain.


“Si gelo teh! Untung eta mah HP bobodoan!” Ujang kemudian mengambil ponsel asli yang dia letakkan di balik kolor SpongeBob miliknya itu.
“Pake Grab jalan ninjaku!” Ujang segera memesan aplikasi transportasi online menuju ke rumah yang katanya adalah tempat Iteung bekerja.


Sepanjang jalan Ujang melihat hiruk pikuk kemacetan ibu kota sambil berceloteh, “Panas geuning, ya, Jakarta teh!”
“Akang dari Bandung?” tanya supir ojek online itu pada Ujang.

“Saya dari Tasik, Pak. Tasiknya juga masih ke sana lagi. Jadi masih tiiseun enak teu hararedang siga didieu.”
“Eh, itu, kok, kaya neng Iteung?” bisik Ujang pelan saat melihat sepasang muda mudi sedang makan di sebuah  warung tenda.
“Kenapa, Kang?” tanya supir itu sembari melirik ke arah spion.
“Gak apa-apa. Cuma perasaan aja kaya mirip pacar saja di desa. Namanya Iteung.”
“Oh, yang barusan lagi makan di tenda? Itu Neng Iteung dari Tasik juga. Dia biasa pacaran di situ sama pacarnya.”

“Hah? Serius? Stop atuh ari kitu mah!” Ujang segera turun dari motor saat kendaraan roda dua itu berhenti.

Langkahnya begitu panjang dengan kekesalan yang terlihat nyata, tapi bagi orang yang baru mengenalnya itu seperti sedang tertawa. Mungkin karena wajah Ujang yang kata orang Sunda itu ramah meski dia tengah marah, tak terlihat raut menakutkan dari wajahnya.

“Neng Iteung?” Ujang memergoki Iteung yang sedang saling suap dengan pemuda yang berada di sampingnya.
“Eh? Ujang? Kamu ngapain di sini?” jawab Iteung yang sedikit kaget melihat kedatangan kekasihnya dari desa.
“Neng, kamu ngapain suap-suapan sama lalaki siga kitu?” Ujang melihat pemuda di hadapannya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Aduh! Kumaha ieu?” Iteung terlihat kebingungan sambil melihat pemuda di sampingnya dan Ujang bergantian.

“Jadi gini, hidup itu harus realistis atuh, Jang. Saya gak bisa pacaran sama kamu yang pengangguran kaya gitu. Dia mah walau gak ganteng, tapi kerjanya jadi satpam perumahan elit.”

“Ari Neng atuh! Tega pisan selingkuh dari aku yang mencintaimu dengan tulus ini? Tuman jadi awewe teh! Geus urang peugat weh atuh!” Ujang langsung meninggalkan Iteung bersama pemuda itu.


“Naha si Iteung teh gak ngejar aku kaya di sinetron-sinetron atuh, ya? Aduh, jadi jomblo ayeuna mah euy? Bener ceuk si emak kuduna urang teh serius ka si Riska. Boro-boro meunang lingerie bolong? Nu aya nyeuri hate disalingkuhan euy.” Ujang meratapi nasib sambil menangis pilu.

Tak sudi lagi jatuh cinta!






SELINGKUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang