8. Lukanya Masih Terasa.

7.4K 686 24
                                    

"Ndu, kita bisa bicarain dulu, kan? Jangan ambil keputusan sepihak gini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ndu, kita bisa bicarain dulu, kan? Jangan ambil keputusan sepihak gini."

Rindu tak mengindahkan permohonan Naka yang sesekali menarik tangannya. Ia masih terus mengeluarkan beberapa potong baju di lemari, lalu memasukannya ke tas yang sudah terisi beberapa baju bayi milik Lea. Saat itu anak mereka baru berusia tiga bulan.

"Ndu—"

"Apalagi!" bentak Rindu sambil berteriak dengan derai air mata yang sejak tadi terus berjatuhan. "Kamu tahu, kan, ASI aku nggak lancar! Lea butuh sufor, tapi sampai sekarang kamu masih belum kerja apa-apa. Aku malu terus minta uang sama beras ke Mas Reno!"

"Ndu ...," lirih Naka sambil memegangi tangan istrinya lagi.

Bukan hanya Rindu yang sudah membasahi wajah bahkan lengan baju dengan air mata, Naka pun sama. Malam itu menjadi pertengkaran hebat bagi keduanya setelah setahun lebih menikah dan memiliki anak. Penyebabnya bukan orang ketiga melainkan kesulitan ekonomi yang sepertinya sedang diuji.

"Aku mau pulang!"

"Jangan!" Naka melarang meski ia tak bisa menjanjikan pilihan. "Aku lagi usaha cari kerja, Ndu. Please, sabar sebentar lagi."

Setelah ucapan itu, Naka tak mampu lagi menopang tubuhnya yang tinggi. Ia luruh ke lantai, memohon pada wanita yang membuatnya rela meninggalkan keluarga tetap mau bertahan menghadapi masalah yang ada.

"Aku bisa sabar, gimana sama Lea, Ka? Kamu tahu rasanya ketakutan saat anak demam tapi nggak punya uang buat berobat, nggak ada yang bisa aku datangin karena jauh dari orang tua juga saudara. Kamu tahu, gimana stresnya aku mikirin ASI yang nggak lancar sambil bayangin gimana mau bagus kalau setiap hari buat makan aja susah!"

Naka mengangguk paham. Perasaan bersalah juga bingung menjadi momok yang begitu menakutkan malam itu. Ia tak ingin Rindu pergi, tapi menahannya tetap di sini pun bukan pilihan yang tepat mengingat sudah dua bulan ia selalu gagal mendapat pekerjaan.

"Aku bakal usaha lagi, Ndu."

"Aku percaya kamu pasti bakal usaha. Tapi selama kamu usaha, aku mau pulang ke rumah Bapak. Aku mau pulang, Ka ...."

"Rindu ... Ndu .... jangan pergi dulu. Kita bicarain lagi, Ndu."

Namun, wanita itu tetap pergi bersama bayi yang begitu Naka sayangi. Meninggalkannya di dalam kontrakan sepetak, bahkan menghilang saat ia mencari keberadaannya. Saat itu Naka  berhasil mendapat pekerjaan yang layak dan merasa cukup untuk membeli susu formula serta memberi uang belanja.

Sayangnya Rindu menghilang. Pindah tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Menciptakan perasaan bingung sekaligus kecewa hingga kejadian itu membuat Naka nyaris gila. Jika saja orang tuanya tak sudi lagi merawat, mungkin Naka sudah ada di jalanan menjadi tontonan orang-orang atau gelandangan.

Setelah mengusap wajahnya kasar, Naka mendesah sambil melempar punggung pada hamparan kasur dalam apartemennya. Kemudian, menatap langit-langit kamar saat kejadian delapan tahun silam masih terasa sakit saat dibayangkan. Hingga perasaan sakit, rindu, dan kecewa perlahan menjadi satu, menciptakan kebencian pada wanita yang sudah membawa anaknya pergi tanpa jejak.

Kisah Yang Belum Usai✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang