Penundaan, bagian 4

144 10 3
                                    

...
Ditampar realita untuk yang kesekian kalinya
Masih
Dan terus akan
...

Lunar Pack's Mansion
Earl's Court, London
Pertengahan Januari, 2020

Apabila dapat memutar balik waktu, Eric ingin kembali 6 jam sebelum kejadian sekarang ini. Eric merasa akan lebih baik untuk berjalan pulang daripada memilih untuk duduk santai di kafetaria kampus dan berakhir menemukan matenya yang ternyata pemimpin pack mereka selanjutnya. Ditambah dengan kejadian saat ini. Eric baru akan membayangkan memiliki mertua dan adik-adik, atau sepupu yang melihatnya dengan semena-mena. Eric baru akan membayangkannya. Namun, realita sangatlah terburu-buru dengan langsung menemuinya dengan keadaan asli, tanpa perlu dibayangkan olehnya.

Ruangan itu sebenarnya hanyalah ruang tamu biasa, dengan dekorasi yang megah. Namun, ruangan itu terlalu besar jika hanya dianggap sebagai ruang tamu biasa. Sofa yang ada pun mungkin muat untuk 25 orang atau lebih banyak dari perkiraannya. Tentunya, dengan keberadaan pemimpin packnya saat ini, ditambah keluarga besarnya, tentu ruangan yang baru saja Eric masuki ini tak bisa disebut ruang tamu biasa.

Ruangan itu tampak lengang, karena hanya diisi oleh kedua orang tua Juyeon dan ketiga adiknya. Namun, atmosfer yang ada di dalamnya masih terasa mencekik untuk Eric. Bagaimana tidak? Tatapan yang sama tajamnya seperti tatapan Juyeon, yang ia tidak sanggup untuk lihat, kini ia ditatap sedemikian rupa oleh lima pasang mata yang sama.

Begitu telah berada di depan kedua orang tua Juyeon yang tengah duduk, Eric membungkukkan badannya untuk memberi salam kepada pemimpin packnya saat ini. Hal yang sama dilakukan Juyeon dengan setengah hati. "Sudah dilaksanakan sesuai perintah," katanya setelah menegakkan badannya.

"Wow, such a bad taste, Ju."

Suara salah satu orang yang berada di sana membuat Eric membeku sesaat. Namun, tak membuatnya untuk menoleh ke asal suara. Karena, satu-satunya persepsi yang mau ia dengar hanyalah dari pemimpin packnya. Bukan salah satu dari saudara Juyeon.

"Pfft. Don't say it too loud, Henry. Dad is here."

Henry, atau anak kedua dari keluarga utama terkekeh kecil. Sautan dari saudaranya yang lain membuatnya tertawa.

"Shut the fuck up, you peace of shit. Do I have to teach you a manner?" Juyeon menolehkan kepalanya ke samping untuk menghardik ketiga adiknya yang tengah tertawa dengan lelucon kekanakan mereka.

"Well, I'm spitting a fact. Am I right, Dad?"

"Even if it's right. You don't have to say it, you fucking shit," Juyeon semakin emosi mendengar jawaban angkuh adiknya.

Bukannya bermaksud membela matenya, namun, rasanya diremehkan karena ditakdirkan untuk memiliki mate yang bukan keinginannya sendiri membuat harga dirinya tersentil. Apalagi diremehkan oleh adiknya sendiri.

"So, I'm right. You have a bad taste. Pfft."

"Keluar."

Suara tegas Sangyeon tiba tiba terdengar. "Keluar jika masih ingin beradu argumen."

"What? I'm just spitting a fact, Dad." Henry berdiri dari duduknya, merasa tidak terima. Ia menghampiri tempat duduk ayahnya karena tempat duduk keduanya berseberangan. "Am I in the wrong?"

Sangyeon menatap anak keduanya dengan tajam. Kemarahannya terhadap hal-hal lain bercampur dan berkecamuk di otaknya. Sangyeon berada di puncak emosinya, yang mana apabila dipancing sedikit saja, maka habis sudah anak keduanya ini ditangannya sendiri. "Keluar. Henry."

Dua kata yang mampu ia keluarkan sanggup membuat atmosfer di ruangan itu kian mencekam. Hening beberapa saat sebelum decakan kemarahan Henry membuyarkan keheningan yang ada. Disusul dengan umpatan kasar dan langkahnya yang menuju pintu keluar. Benar-benar mengikuti perintah ayahnya sebelum dirinya sendiri habis oleh amukan ayahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALPHA'S MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang