2

3 0 0
                                    

"Kalian semua goblok!"

Aku hampir melompat dari tempat duduk, ketika mendengar Tesla berteriak—padahal masih sangat pagi.

Seingatku, dia memang selalu berteriak di hampir setiap jam, sejak hari pertamaku bekerja.

Bagiku, itu bukan masalah, yah, selama bukan aku yang dimarahi.

"Kalian semua dipecat! Keluar kalian sekarang!”

Kurang dari sedetik, dua pria dan seorang wanita keluar dari kantor Tesla. Bahu mereka jatuh. Kedua laki-laki langsung masuk ke dalam lift, sedangkan si wanita menatapku dengan sedih.

"Pak Punda Setan! Dia kayak gak punya rasa kasian sama sekali!” ia menggerutu, lalu bertanya, “eh, kok lu bisa lama sih kerja di sini?"

Aku hanya tersenyum dan tidak menjawab, sedangkan ia langsung pergi menuju lift.

Satu tahun sebelumnya, aku baru saja menjadi sekretaris, sekretaris pribadi Tesla. Dia mengatakan bahwa akulah satu-satunya yang bisa mengisi jabatan itu, setelah lama tidak ada orang yang mampu. Konon semua mantan sekretarisnya tidak ada yang bertahan, meski hanya sebulan.

Tesla adalah CEO di perusahaan. Banyak juga pekerjaan yang disediakan khusus untukku, apalagi sebagai tangan kanannya. Ada banyak bisnis di bawah perusahaan, mulai dari pelayaran, apartemen, mal, supermarket, bahkan taman hiburan.

Aku akui, menjadi sekretaris seorang Tesla tidaklah mudah. Menurut pengamatan, semuanya harus sempurna. Dia tidak mengizinkan sama sekali adanya kekurangan. Jika pekerjaan selesai sempurna, dia tidak akan berteriak. Awalnya memang susah, tapi lama kelamaan jadi terbiasa.

Kuambil flashdisk serta beberapa kertas dari atas meja. Kemudian, kuketuk pintu kantornya. Sebelum sempat terjawab, aku membuka pintu.

"Gak sopan, Anjir!” dia berteriak saat melihatku.

Kupasang wajah datar. Meski setiap hari mendengar teriakannya, aku masih sedikit merasa takut.

Akan tetapi, aku langsung memberitahu, "Ini laporan yang Bapak minta buat presentasi nanti, Pak,” lalu meletakkan flashdisk di atas mejanya, “terus ini kopian buat laporannya.”

Kemudian, kujatuhkan kertas-kertas di depannya.

Dia mengambil kertas itu, lalu tampak sedang membaca beberapa halaman. Kuangkat kepala tinggi-tinggi; yakin dengan pekerjaanku sendiri yang sempurna tanpa cacat.

"Kalo presentasi buat investor luar, gimana?"

Aku mengangkat alis mendengarnya.

"Yang itu masih saya kerjain, Pak. Tapi bukannya itu buat minggu depan? Emang Bapak mau saya selesaiin hari ini?”

Dia menggeleng, “Gak sih,” lalu berkata.

Bagus, padahal tadi paginya dia menyuruh untuk membuatnya.

"Oke, Pak. Ada lagi yang Bapak tugasin?"

"Buatin saya kopi."

"Oke, Pak.”

Aku pun keluar, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan kopi. Kuseduh kopi dengan memasukkan satu sendok krim, susu, dan satu sendok gula, lalu mencampurnya.

Kuketuk pintu tiga kali sebelum membukanya. Namun, tanpa menunggu jawaban, kuletakkan kopi di depannya.

Aku pun berkata, "Ini kopinya, Pak,” lalu berbalik untuk pergi.

Akan tetapi, dia memanggilku, "Weit!”

Aku menoleh padanya lagi dan melihatnya mengambil sesuatu, dari laci meja. Kulihat amplop merah, dia serahkan padaku.

Aku, Dia, dan EskrimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang