Bab 6

155 53 15
                                    

***

Ternyata, rumah Pak Bima yang lain itu jauhnya bener-bener dua kali lipat dari rumahnya yang sering aku kunjungi. Kalau biasanya ke rumahnya yang utama aku bisa sampai habis bensin dua liter untuk pulang-pergi dan sama sekali nggak pernah ketemu sama orangnya, sekarang ini lebih jauh lagi. Bokongku bener-bener sampai panas. Mana terik matahari di atas sana masih menyengat-menyengatnya padahal ini belum tengah hari.

"Masih jauh apa?" Itu adalah kalimat yang mungki aja udah aku tanyakan yang ke seribu kalinya. Berteriak di samping kepala Candra yang tertutup helm sambil mendengus bosan. Buka bosan aja, sih, aku juga takut kalau tiba-tiba ini cowok bawa aku ke tempat lain yang ternyata justru bukan rumah Pak Bima sama sekali.

"Lima belas menitan lagi." Candra menarik gas dan motor kembali melaju kencang. Ini kalau aku nggak pake helm, bisa dipastikan kalau kulit mukaku bisa rontok ketampol angin. Tapi dari tadi, padahal udah ngebut begini juga kita lama banget nggak sampai-sampai. Rumah Pak Bima beneran ada di ujung kulon sana kali, ya?

Sampai lima belas menit yang dijanjikan sama Candra, akhirnya vespa yang kami tumpangi beneran sampai di depan sebuah gerbang tinggi yang mau lihat ujungnya aja harus dongak ke atas jauh banget. Ini adalah rumah Pak Bima yang lain. Letaknya beneran jauh di pinggiran kota dan bikin bokongku beneran panas karena menghabiskan waktu berjam-jam duduk di boncengan Candra.

Candra cuma pencet klakson beberapa kali sebelum pintu gerbang itu dibukakan oleh seorang satpam dengan kumis tebal. Aku kebingungan. Kayaknya, dilihat dari bagaimana cara satpam itu menyapa, ini jelas bukan pertama kalinya bagi Candra ke sini.

Halaman luas yang penuh sama bunga dengan beraneka warna dan juga gantungan kandang burung lengkap dengan burung-burung yang berkicau membuat aku terperangah. Pas masuk sini, terasa banget aura asri dan tenangnya.

"Burung-burung di atas itu diambil dari penangkaran, yang kaki atau sayapnya luka permanen dan nggak bisa terbang lagi." Waktu vespa Candra berhenti, cowok itu ngasih tahu. "Makanya direscue di sini dan dikasih perawatan."

Aku yang meskipun kebingungan tapi nggak menanggapi apapun. Cuma turun dari atas motornya sambil merenggangkan badanku yang pegal-pegal. Sebelum pandanganku berkeliling dan mengamati bagaimana halaman luas serta rumah bergaya Amerika klasik milik Pak Bima ini benar-benar memanjakan mata.

"Lewat sini." Suara Candra menginterupsi lagi. Aku yang udah buka helmku mengikuti langkahnya. Dia kayaknya udah hapal banget jalanan di rumah Pak Bima ini karena bisa memandu jalan dengan lancar jaya tanpa ada hambatan.

"Lo sering banget ke sini, ya?" Aku nggak tahan untuk nggak tanya. Yang dijawab sama Candra berupa gumaman nggak jelas yang nggak tahu jawabnya apaan.

Sampai pada akhirnya, langkah lurus kami tiba di ruang tengah yang udah mirip hotel. Luas. Ruangan penuh marmer yang nggak berhenti bikin aku berdecak kagum. Sumpah, kalau ada yang pernah nonton Hotel De Luna, ruangan ini bener-bener mirip desainnya sama ruang tunggu dari hotelnya para hantu itu.

Namun aku nggak bisa terperangah lama-lama karena harus ngikutin langkah kaki Candra yang lebar-lebar. Menuju sebuah pintu besar layaknya pintu ajaibnya Hongwart yang tinggi menjulang dan kelihatan misterius. Candra mengetuk sekali. Tanpa nunggu jawaban dari orang di dalamnya, dia buka pintu itu gitu aja yang ternyata ruangan itu berisi rak-rak raksasa yang berbaris rapi. Persis seperti perpustakaan kuno yang ada di dunia lain. Bikin betah dan kelihatan nyaman.

"Pa, aku bawa tamu." Candra bilang. Yang seketika pandanganku tertuju pada seseorang yang lagi duduk di balik meja besar beserta pulpen dan berkas-berkasnya. Itu Pak Bima! Tapi ... Kenapa Candra justru memanggilnya dengan sebutan 'Pa'?

***

Pertanyaan seputar hubungan Candra dan Pak Bima terpaksa aku lupakan karena aku memang buru-buru konsultasi mengenai skripsiku yang udah berminggu-minggu terbengkalai akibat si Pak Dosen yang susah banget buat ditemuin.

"Padahal saya udah menghindar sebisa mungkin, lho, Ra." Pria berusia akhir empat puluhan itu justru tertawa. Kacamata yang membingkai wajah Pak Bima yang masih ganteng tampak melorot. "Masih aja bisa nemuin."

"Seharusnya Bapak nggak boleh gitu, Pak." Aku menggerutu sambil meringis. "Kalau saya nggak lulus tahun ini, gimana?"

"Nilai kamu oke. Dijamin lulus. Besok-besok ke sini lagi sama Candra aja kalau ada perlu. Bapak di rumah terus, kok." Dengan baik hati dia menyarankan. Yang lantas membuat aku nggak bisa menyembunyikan senyum kecut ku. Coba aja dia ngasih tahu alamat rumahnya yang ini dari dulu, mungkin aku nggak akan repot-repot minta jemput sama Candra.

Dan beberapa jam konsultasi ku sama Pak Bima berakhir tanpa ada kendala dan aman jaya. Aku berjalan keluar dari perpustakaan besar itu cuma untuk memandangi ruang tengah yang penuh dengan hiasan marmer ala Hotel De Luna. Dan ternyata, di sana ada satu lukisan tersembunyi yang waktu datang tadi nggak sempat aku lihat.

Aku mendekat. Lukisan itu berisi satu keluarga dengan pakaian adat Jawa lengkap. Si Papanya yang berdiri sambil menggenggam keris aku tebak adalah Pak Bima. Garis wajahnya yang tegas dengan kacamata bening khas yang bertengger di hidung mancungnya bikin aku langsung mengenali beliau. Sedangkan satu perempuan yang duduk di kursi dengan setelan kebaya dan wajah cantik itu jelas istrinya. Selama aku sampai di sini, aku masih belum lihat istri Pak Bima sama sekali.

Dan ... Ada satu orang anak laki-laki di antara mereka. Berpakaian sama seperti Pak Bima dengan jarik dan juga blangkon sambil memegang satu keris. Wajahnya meskipun masih kecil, aku jelas mengenalnya dengan Candra. Senyum miring yang menunjukkan satu lesung pipi itu masih sama dengan sosok Candra yang sekarang. Kalau memang Candra dan Pak Bima adalah sosok anak dan ayah, kenapa cowok itu justru nggak ngasih tahu aku dari kemarin-kemarin?

***

Gaessss, maaf baru muncul lagi😭😭😭 Aku sakit dari tanggal 1 kemarin dan baru agak mendingan dua hari ini. Doain semoga cepet sembuh, yaaaa.

Buat yang kemarin nebak kalau Pak Bima dan Candra adalah anak dan Papa, selamat! Kalian betul 100%! 😂😂😂

My Beloved BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang