***
Aku jalan keluar, melewati ruang tamu besar yang terlihat klasik dan juga elegan. Menuju teras depan dan melihat Candra yang sedang berjongkok, memegang semprotan sedang memandikan salah satu burung di dalam sangkar.
"Udah selesai?" Dia tanya ketika aku ikut berjongkok di dekatnya dan ikut memperhatikan burung di dalam sangkar yang sayapnya memang sedang luka.
"Udah." Bibirku tiba-tiba cemberut tanpa aku mau. "Kenapa nggak ngasih tahu kalau Pak Bima itu ternyata adalah bokap lo?" Nada suaraku beneran terdengar sinis. Pantas aja Candra bisa dengan tenang menawarinya pertemuan dengan Pak Bima, tahu jadwal beliau, dan tahu rumah Pak Bima yang lain. Lha wong dia anaknya.
Cowok itu nggak menjawab apapun. Namun justru malah ketawa kecil seolah kekesalanku ini merupakan sesuatu yang lucu buat dia. "Jadi?" Aku berdiri. Dia ikut berdiri.
Aku bisa lihat alis tebal Candra yang naik sebelah. "Jadi apa?" Dia malah balik tanya dengan nada yang keheranan.
"Gue yakin banget kebaikan lo ini nggak serta merta cuma buat bantuin gue doang." Aku nggak senaif itu berpikir jika kebaikan seseorang murni karena orang itu mau melakukannya. Mungkin memang banyak orang-orang baik di luar sana yang dengan ikhlas mengulurkan tangan tanpa butuh imbalan. Tapi untuk kasus ku dengan Candra ini, aku yakin banget nggak begitu.
Tuh, kan. Setelah kata-kataku barusan cowok itu langsung meringis dan garuk-garuk tengkuk. Membuktikan kalau tebakanku memang tepat sasaran. Dia jelas menginginkan sesuatu dari aku.
"Bentar gue ambil tas dulu." Candra buru-buru masuk ke dalam. Aku menunggu di teras sambil mengamati burung-burung di dalam sangkarnya yang berjejer rapi.
Kata Candra, burung-burung ini bukan burung yang sengaja ditangkap hanya untuk dipelihara semata. Semua burung itu yang ada di dalam sangkar itu memang burung-burung yang terluka dan tidak lagi dapat bisa terbang, maka dari itu Candra merawatnya. Baik banget. Seandainya aja dia beneran baik dengan membantuku tanpa ada mau. Aku pasti bakal memujinya habis-habisan. Ya walau pun dalam hati.
Nggak beberapa lama, dia keluar dengan jaket lengkap dan tas selempang yang ada di depan dadanya. "Ayo," ajaknya bikin aku bertanya-tanya.
"Mau langsung nganterin gue pulang? Bukannya lo butuh imbalan dari gue dulu, ya?" Aku langsung menyipit curiga.
"Ya emang. Makanya ayo." Dia jawabnya santai banget. Sambil makai helm dan memundurkan vespanya sendiri. "Gue butuh elonya bukan di sini."
"Terus di mana?" Aku langsung parno. Teringat lagi beberapa berita pembunuhan yang mayatnya dibuang ke tempat yang jauh oleh kekasih online yang baru aja ditemui sekali. Jelas aja, aku nggak mau bernasib seperti itu.
"Pikirannya jangan ke mana-mana." Dia menyentil keningku. Sakit. Aku mengaduh. Namun hal itu berhasil menyadarkan ku dari ketakutanku sendiri. "Gue nggak bakal macem-macem. Bokap gue dosen lo, ingat?"
Benar juga. Kalau dia berani macam-macam, bakal aku sebarkan kelakuannya di Twitter biar viral. Aku pakai helmku sendiri. Naik dan duduk di belakangnya sebelum vespa yang dikendarai Candra melaju pergi. Melalui gerbang besar yang dijaga oleh seorang satpam yang sepertinya dekat sekali dengan Candra.
"Memang vespa lo ini nggak pernah mogok ya, lo bawa ke mana-mana?" Aku penasaran dari tadi. Vespa punya Candra memang kelihatan seperti motor antik yang mahal. Tapi tetap aja, kan? Gimana pun juga, vespa tetap lah motor tua yang mesinnya udah nggak seprima dulu. Apa lagi, di perjalanan jauh begini, vespa ini jelas bisa mogok kapan aja.
"Sesekali mogok. Tapi jarang, tenang aja." Dia jawab dengan suaranya yang sedikit berteriak akibat beradu dengan angin.
Aku nggak mengajukan pertanyaan lagi meskipun di dalam benak pengin banget memboardirnya dengan banyak pertanyaan. Terutama, ke mana kita hendak pergi? Mau apa? Bantuan apa yang dia inginkan dari aku? Dan banyak lagi. Cuma aku malas teriak-teriak. Lebih milih buat menghemat suaraku dan menikmati perjalanan ini saja.
Nggak lama, kami sampai di tengah kota. Nggak jauh dari rumahku sebelum motor yang Candra kendarai masuk ke dalam salah satu kafe yang sebelumnya sama sekali nggak pernah aku kunjungi.
"Lo mau gue traktir?" Apa itu adalah imbalan yang harus aku bayar? Menilik dari kafe yang kelihatan mewah dan cozy, aku kayaknya masih sanggup-sanggup aja kalau harus traktir dia di sini.
"Enggak." Namun Candra malah menggeleng. Aku turun dari motor dan mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam.
Udara dari semriwing AC yang dingin langsung menyambut kulitku. Dari tadi panas-panasan di atas motor dan menemukan ruangan ber-AC begini rasanya udah kayak nemu surga.
Kafe ini luas. Luas banget untuk sekedar warung kopi. Ada panggung musik di atasnya yang masih kosong. Nuansa nyaman dan tenang benar-benar cocok buat mahasiswa super sibuk yang butuh konsentrasi tinggi kayak aku gini nongkrong.
Candra nggak berhenti. Aku kita awalnya, dia bakal berhenti di salah satu meja dan kami bisa duduk di sana. Namun ternyata salah, karena cowok itu justru berjalan lurus. Menuju ruangan paling belakang yang bikin aku semakin terheran-heran. Apa lagi beberapa barista dan juga waiters di sana juga menyapa Candra dengan ramah dan akrab. Mereka jelas saling kenal.
"Gue udah nemu orangnya." Candra berucap setelah membuka pintu.
Aku mengerjap. Menemukan ada tiga pria lain yang berada di salah satu ruangan nan gelap dan pengap. Beberapa alat musik juga ada di sana. Semacam tiga buah gitar, satu drum, piano, dan alat musik lain.
Tiga orang itu, yang salah satu di antaranya adalah cowok yang kemarin pagi nolongin aku bareng Candra, melirik ke arahku secara bersamaan. Aku meringis salah tingkah. Sebenarnya, apa maksud Candra bawa aku ke sini?
Di tengah kebingunganku. Candra menoleh, menatap aku dengan senyum tipisnya yang manis. "Gue butuh vokalis untuk beberapa minggu ke depan. Karena vokalis kita di kafe ini lagi sakit dan nggak bisa ikut manggung. Seminggu cuma dua kali tiap malem Sabtu sama Minggu aja. Ntar dibayar juga. Lo bisa bantu, kan?"
Aku menelan ludah. Vokalis? Berarti aku harus bernyanyi? Ya iya sih aku tahu kalau suaraku nggak buruk-buruk amat. Tapi aku nggak pernah nyanyi langsung di atas panggung.
***
Aaaa maafkeun aku lama updatenya mantemaaaan. Semoga masih ada yang mau baca ya. Hehe.
Gimana nih, Pet? Terima nggak tawarannya?
Vidia,
28 Juni 2023.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Boyfriend
Romantizm*** Di tengah padatnya dunia kampus yang penuh tekanan-skripsi, dosen killer, dan rapat organisasi tanpa ujung-Petra hanya ingin lulus tepat waktu dan hidup damai sebagai mahasiswi tingkat akhir. Tapi hidup, seperti biasa, punya rencana lain. Masukl...