***
Aku mengalihkan pandanganku dari bubur ayam yang menggiurkan demi menatap si Yuna. Tatapanku jadi ikut tertarik. "Emang Candra siapa? Anak geng motor? Primadona kampus selain Mas Moreno? Kok gue nggak pernah lihat?"
Biasanya kan, dari novel-novel yang pernah ku baca banyak banget adegan-adegan template begini. Di mana si cowok nyelametin si cewek padahal tuh cewek nggak kenal sama sekali. Dan diam-diam, ternyata cowoknya itu salah satu anggota populer di kampus yang dikejar-kejar banyak cewek.
Tapi demi apapun, aku ogah menyamakan diriku sendiri jadi tokoh dalam novel yang halusinasinya udah di luar batas begitu.
"Nggak juga sih." Tuh kan, benar. Jawaban Yuna bahkan nggak sesuai sama apa yang barusan aku bayangkan. "Cuma sedikit terkenal aja dia di antara anak seni. Lo nonton dies natalis tahun lalu, kan? Nah, dia gitarisnya."
Sebelah alisku terangkat. Aku baru ingat, kalau ternyata Candra memang pernah gabung sebagai anak band di kampus kami dan tampil di acara tahun lalu. Tapi karena vokalisnya adalah Mas Moreno si primadona kampus yang punya suara bariton serak-serak basah, ya semua mata penonton jelas tertuju ke dia doang. Termasuk aku. Salah satu pengagum rahasia Mas Moreno, aku nggak memperhatikan keberadaan Candra sama sekali.
Sebenernya, aku pengin menyudahi obrolan kami mengenai Candra ini dan melanjutkan untuk makan bubur ayamku mumpung masih hangat. Namun, orang yang sedang jadi topik pembicaraan malah jalan mendekat. Yuna yang melihat juga langsung melongo, matanya lagi-lagi melotot seperti orang bego.
"Apa?" Aku mendongak. Keheranan melihat dia yang berhenti tepat di hadapanku dengan tampangnya yang datar tapi nggak tahu kenapa justru kelihatan tengil.
"Dompet gue," katanya sambil menengadahkan tangan.
Seketika, ku peluk erat-erat tas ranselku dan aku pelototi dia. "Motornya belum balik. Perjanjiannya kan, motor gue balik dulu baru dompet lo balik." Aku ngotot. Akan ku pertahankan ransel ini sampai titik darah penghabisan!
"Ngambil berapa lembar doang buat bayar sarapan." Cowok itu mengangkat nampan berisi mangkuk yang entah apa isinya. Mungkin karena masih lihat wajahku yang penuh raut curiga, dia lalu berdecak. "Lo deh, yang ambil. Bawa sini tiga ratus."
Dia menodong udah kayak anak kecil yang malak emaknya karena abang-abang cilok lewat depan rumah. Mau nggak mau, aku ya mengeluarkan dompetnya dari ransel milikku dengan gerakan waspada seolah yang ku bawa ini adalah emas serta permata puluhan kilo gram dan takut dirampok orang.
Untuk pertama kalinya, aku akhirnya membuka dompet kulit berwarna coklat gelap itu. Benar, isinya ada KTP dan beberapa kartu lagi yang nggak sempat aku lihat isinya apa karena aku buru-buru menyambar uang tiga ratus ribu dan memberikannya kepada si empunya.
Duitnya banyak juga. Dalam hati aku bersiul nakal. Seandainya dari kecil aku nggak diajari Mama kalau anak yang suka mencuri itu tangannya akan dipotong oleh Tuhan, udah dipastikan kalau aku bakal ngambil secuil dua cuil duit punya Candra ini. Toh, nggak akan ketahuan.
Dan setelah dia menerima duitnya dengan sempurna, tuh anak nyelonong pergi gitu aja tanpa permisi kayak tadi pagi. Gayanya sengak banget, jalan lurus dengan temannya yang bisik-bisik sambil ketawa. Dijamin banget deh, mereka pasti lagi gibahin aku.
"Ternyata Candra ganteng ya, Pet." Kedongkolan ku sama sekali belum habis sampai gumaman itu muncul dari bibir Yuna.
Aku meliriknya, ujung bibirku naik dengan sinis menemukan wajah sahabatku yang sudah tersipu-sipu sendiri. Bertopang dagu menggunakan telapak tangan dan memandang kepergian Candra dengan pipi yang tersipu malu.
"Lebih tinggi dari Mas Moreno. Kalau dari deket gitu, walaupun penampilannya mirip gembel, tapi ganteng banget." Yuna belum berhenti hiperbola.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Boyfriend
Romansa*** Di tengah padatnya dunia kampus yang penuh tekanan-skripsi, dosen killer, dan rapat organisasi tanpa ujung-Petra hanya ingin lulus tepat waktu dan hidup damai sebagai mahasiswi tingkat akhir. Tapi hidup, seperti biasa, punya rencana lain. Masukl...