Bab 2

197 56 13
                                    

***

Ini pertama kalinya aku diboncengin cowok selain Papa sama adikku setelah terakhir kali beberapa tahun lalu waktu SMA. Jantungku nggak berhenti deg-degan dari tadi. Mataku juga berusaha sekeras mungkin untuk meminimalisir berkedip dan berpaling dari jalan. Aku takut kalau meleng sedikit saja si Candra bisa membawaku ke suatu tempat yang bukan kampus. Dan jelas, aku nggak pengin hal itu terjadi.

Ini beneran kayak mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati. Beberapa menit perjalan menuju kampus yang biasanya sebentar sekarang ini justru terasa lama banget. Dan aku baru bisa menghembuskan napas lega ketika di kejauhan sana gedung kampusku udah mulai kelihatan.

Aku buru-buru turun dari motor bebek berwarna abu-abu kusam yang dikendarai sama Candra setelah motor itu akhirnya berhenti di tempat parkir. "Dompet lo masih harus gue pegang sampe motor gue balik," kataku sambil memeluk tasku sendiri erat-erat.

Lalu, Candra membuka helmnya sendiri dengan gerakan malas. Dan di situ lah, aku melihat wajahnya secara langsung tanpa terhalang oleh kaca helm yang berwarna gelap. Rambut ikal semi panjangnya sedikit berantakan, dan dia merapikannya dengan asal menggunakan ke lima jarinya yang sedang nggak memegang helm.

Mukanya ganteng, sih. Cuma karena mataku udah terbiasa lihat wajah Mas Moreno yang ketampanannya digadang-gadang jadi primadona kampus setiap hari tapi tingkahnya bikin ilfeel luar biasa, aku udah nggak ketipu lagi sama cowok-cowok muka ganteng kayak si Candra gini.

"Pulangnya jam berapa?" Dia malah tanya.

"Nggak tahu juga. Hari ini harus ngejar Pak Bima dulu," jawabku.

"Nanti jam sebelas motor lo udah di sini." Dia menunjuk ke arah ruang kosong di samping motor bebeknya. Waktu dia berdiri, aku melotot dan mendongak, ekspresi ku pasti udah mirip banget sama ekspresi Timun Mas waktu lihat raksasa untuk pertama kalinya.

Ya itu karena tinggi Candra yang menjulang. Tinggiku yang termasuk ideal aja hanya sampe sebatas dadanya. Aku curiga kalau dia ngemilin tiang listrik tiap hari buat bisa tinggi macam itu.

Menyadari ketercenganganku, cowok itu mengangkat alis dan melewatiku gitu aja tanpa ngomong apa-apa lagi. Berjalan lurus sambil menyangking helm dan membenarkan ranselnya yang dia topang di satu bahu.

Tinggi badan Candra itu mencolok sekali. Tapi kenapa aku jarang banget lihat dia, ya?

***

Kenaasan akan hidupku kayaknya belum mau berhenti. Bentar, tanggal berapa sekarang? Aku bakal nandain tanggal dan hari ini untuk memperingatinya sebagai hari sialku. Karena setelah berbagai macam cobaan seperti tadi pagi, aku justru menemukan Pak Bima yang sudah nggak ada di dalam ruangannya.

Kakiku langsung lemas. Napasku yang terengah serta keringatku yang mengucur akibat berlari dari ujung tempat parkir ke gedung berlawanan seolah udah nggak ada harganya lagi.

Aku langsung nggelesor di atas lantai dengan pasrah tidak peduli beberapa dosen yang lewat di depan ruangan menatapku dengan pandangan iba. Mereka pasti juga sudah terbiasa menemukan mahasiswa tingkat akhir seperti aku ini yang seolah selalu dipicu oleh stres tak berkesudahan.

Benar-benar! Aku bertekad untuk langsung mandi kembang tujuh rupa setelah pulang dari sini demi mengusir kesialan!

"Pet." Satu panggilan diiringi dengan sentuhan dingin dari botol yang mungkin berisi es batu membuatku membuka mata. Dia Yuna, sahabatku. Satu-satunya orang yang ku perbolehkan memanggil penggalan namaku dengan sebutan seperti itu.

Walau pun namaku Petra, tapi aku nggak suka kalau ada yang manggil penggalan namaku dengan 'Pet', ya karena kalian pasti mengerti lah kenapa. Itu bener-bener nggak enak didengar. Dan sebagai seseorang yang emang setiap harinya seolah punya tugas bikin aku emosi, si Yuna ini justru dari dulu memanggilku begitu. Aku balik aja jadi lebih sering manggil dia Yuyun.

My Beloved BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang