Prolog

196 70 18
                                    

"Kenapa dia belum datang? Saya ada pertemuan dengan Pak Menteri jam delapan." Seorang pria tua berjas rapi tampak gusar saat melihat arlojinya berkali-kali sembari sesekali menatap sopir di depannya.

Menyembunyikan cemas, sopir itu menenangkan tuannya dengan berkata, "Mungkin sebentar lagi, Pak. Nah, itu sepertinya mobilnya, Pak."

Menghela nafas lega, pria yang sudah dapat dipastikan orang penting ini menatap keluar jendela sembari membuka pintu kaca. Membiarkan angin dingin berhembus menerpa kulit wajahnya yang sudah mulai senja. "Kamu urus itu cepat, pertemuan dengan Pak Menteri tidak boleh terlambat!"

Sang sopir mengeluarkan telepon genggam, memencet tombol dan memulai panggilan.

Sementara di seberang, mobil hitam yang baru saja berhenti itu menerima panggilan telepon di handphone-nya. Mobil mereka saling berhadapan. Tanpa seorangpun di sana mampu mengawasi mereka kecuali sekumpulan kunang-kunang yang diam-diam melihat tingkah manusia di perbatasan hutan mereka.

Tak langsung menjawab telepon, pemuda itu lebih takut dari kelihatannya. Menyembunyikan gemetar kecil di tangan, ia menarik nafas dan segera mengambil keputusan.

"Hallo?"

"Tunggu apa lagi? Langsung saja karena Bapak ada acara setelah ini."

Saling memandang melalui kaca mobil, pria di seberang berkata, "Maaf, pembayaran lebih dulu, dan harus tuanmu yang mengantarkannya padaku."

Dua pria di mobil dinas abu-abu itu saling menatap, si tuan yang dimaksud akhirnya merebut telepon genggam dari tangan sang sopir. "Apa-apaan ini?"

"Maaf, Pak, saya hanya menjalankan perintah bos."

"Ya sudah, ya sudah, saya tidak punya banyak waktu." Pria dengan beberapa helai uban di kepalanya itu keluar mobil dan membawa koper berisi milyaran uang menuju mobil di hadapannya.

Setelah transaksi terjadi, pria itu tak segera memberikan barang seperti yang dijanjikan. Membuat si orang penting hilang kesabaran. "Mana serumnya?"

Pria yang diajak bicara menatap kosong ke arah koper di kursi sebelahnya, lalu memberikannya kepada sang pria tua.

"Permisi, Pak. Saya pamit. Terima kasih uangnya, akan saya gunakan sebagaimana mestinya."

Pria berkemeja putih longgar itu langsung melaju kencang meninggalkan sang pria tua yang masih keheranan karena isi koper hanya berisi secarik kertas tak seperti yang ia harapkan.

"Percakapan terakhir kita telah saya rekam menampilkan suara dan wajah Bapak. Jangan gegabah dalam bertindak atau saya terpaksa harus mengekspos rahasia ini ke publik."

"Brengsek!" Pria tua itu membanting koper dan meremas erat kertas itu. Berjalan dengan murka menuju arah mobilnya, sang sopir tahu bahwa sesuatu berjalan tidak sesuai rencana.

"Suryo, Batalkan pertemuan dengan Pak Menteri, kita ke laboratorium sekarang juga!"

"T-tapi, Pak ...."

"Jalan sekarang kalau kamu masih pengen hidup."

Sopir dengan nama Suryo itu langsung menuruti tuannya tanpa ba-bi-bu. Mengebut seperti yang diperintahkan agar segera sampai tujuan. Sementara sang Tuan hanya duduk dengan gusar, melonggarkan dasi dan terus mengumpat serta memaki.

BRAAKK.

Mendobrak pintu, pria tua itu langsung masuk tanpa permisi dan menemui sang pemilik lab.

"Loh, Bapak kenapa tidak bilang kalau mau berkunjung? Silakan duduk, Pak, biar saya suruh Clara membuatkan minum." Pria hidung cekung dengan wajah tegas itu menyambut tamunya tanpa mengetahui hal yang telah terjadi di belakangnya.

"Tak perlu, kedatangan saya ke sini cuma mau memutuskan kerjasama kita. Mulai sekarang, kita sudah tidak terikat apa-apa."

"Ada apa ini, Pak? Kenapa tiba-tiba--" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pria tua yang terlanjur murka itu melemparkan kertas yang sedari tadi ia remas hingga tak karuan bentuknya.

"Pasti ada salah paham, kita bisa selesaikan."

"Saya memilih menyelesaikan ini di sini, mulai sekarang saya tidak peduli dengan lab dan penemuan sampahmu itu lagi. Ayo, Suryo, kita pergi."

Pria tua itu berjalan keluar lab, diikuti Suryo mengekor di belakangnya. Meninggalkan tuan rumah yang otaknya mulai mendidih karena pengkhianatan dan kerugian yang ia dapat dalam semalam.

"Jika Bapak melewati pintu itu, saya pastikan Bapak akan mati."

Terdiam sejenak, pria tua itu hanya menoleh sekilas kemudian keluar melewati pintu itu. Tanpa pernah kembali.

•••

Pria berkemeja putih longgar itu terus mengacak rambutnya dan menyetir mobilnya seperti orang gila.

Lari atau mati. Lari atau mati. Lari atau mati. Lari atau mati. Lari atau mati. Lari atau mati.

Hanya kalimat itu yang terus berputar di kepalanya. Sesekali menerabas lampu merah dan menyalip semua kendaraan di hadapannya. Terkadang ia berpikir lebih baik jika ia mati saat ini karena menabrak atau tertabrak sesuatu dibandingkan harus kembali ke lab itu lagi dan mati di tangan orang-orang itu.

Tidak. Ia tidak akan mati semudah itu karena ia sudah sejauh ini. Ia pasti bisa hidup. Jika ia terus berlari.

Sementara keadaan di dalam lab rahasia itu menjadi kacau. Setiap orang di dalam sana menahan nafas setiap kali bos mereka menatap mereka satu persatu dengan murka.

"Clara?"

Wanita seksi berambut pendek yang dimaksud segera bersimpuh di hadapan bosnya. Memohon agar ia diberi kesempatan hidup sekali ini saja.

"Ini semua karena kamu nggak bisa mengawasi dia. Jadi, Clara, malam ini adalah malam terakhirmu melihat dunia."

•••

Pria itu terus melaju. Entah sejauh apa ia berlari, ia tidak akan berhenti. Menggumamkan kalimat penyesalan dan umpatan kemarahan, ia terus meruntuki dirinya sendiri.

Sesekali menoleh spion, ia memastikan tidak ada yang mengejarnya. Memastikan tak ada yang mengikutinya. Memastikan hanya trauma dan rasa takut yang terus mengintainya. Memastikan bayangan-bayangan kematian yang menunggu di belakangnya tidaklah nyata. Memastikan dirinya sendiri bahwa ia masih bernafas dan akan terus hidup di dunia. Memastikan bahwa ia memiliki mimpi dan tujuan tanpa teror di masa depan.

Mencoba menenangkan dan berdamai dengan diri, pikirannya masuk dan berkelana terlalu jauh melewati cinta, mimpi, tangisan, dan senyuman yang ia alami. Hingga tanpa sadar ia membawa mobilnya ke dalam daerah yang tidak pernah ia lewati. Melalui jalan sempit berbatu dengan pohon tinggi tersebar di penjuru kanan dan kiri.

Tersentak realita, ia mencoba mencari tahu di mana saat ini ia berada. Mencari sorot cahaya yang akan menuntunnya mencari jalan keluar dari situasinya. Adakah jalan keluar? Apakah ia sudah di jalur yang benar? Kenapa jalan yang ia lalui semakin sulit dan rumit?

Terus terseok dan beberapa kali terperosok, mobilnya menyisir daerah itu tanpa henti. Tanpa cahaya, tanpa peta, sang pengemudi seolah buta dan tak menyadari jurang penyesalan menanti di hadapannya.

Sementara itu, di sisi lain, sosok Clara sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Terus mengemis dan memohon agar mendapat pengampunan dan dihentikan dari siksaan menyedihkan yang terlalu menyakitkan.

Belum berhenti, Bos yang berdiri dengan darah Clara yang terus menetes dari tangannya tiba-tiba mendapat laporan dari salah satu anak buahnya yang tampan dan berkemeja hitam.

"Bos, ada kecelakaan besar di jurang. Mobilnya jatuh dan meledak dengan nomor plat sama persis seperti mobil pengkhianat itu. Sepertinya dia terbakar bersama seluruh barang bukti yang ia bawa."

•••

Tiga tahun kemudian ....

"Saya terima nikah dan kawinnya, Evelyn Aluna Prayoga dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

••Bersambung••

Abience Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang