POV1: Lian
Di langit pedesaan malam hari yang bebas dari polusi udara, kerlip bintang nampak semakin jelas dan indah. Terasa nyaman saat menghirup nafas dalam-dalam tanpa khawatir udara kotor yang masuk ke dalam paru-paru, meski kadang tercium sedikit aroma hewan ternak.
Bulan mulai bergerak semakin naik saat aku menyusuri jalanan beraspal desa yang jarang dilalui. Sementara pria itu terus mengekor di belakangku sejak aku beranjak dari makam nenek beberapa saat lalu.
Semua perempuan pasti akan merasa takut ketika ada pria asing yang mengikuti di belakangnya. Aku pun merasa agak was-was. Apalagi kini—meski masih sedikit meragukan—aku tahu kalau sepertinya dia benar-benar bukan manusia. Namun sejak tadi ia hanya dia mengikuti dengan tas ransel ku yang terselempang di pundak kirinya.
Saat ia muncul tadi, aku menghentikan isakan tangisku dan buru-buru mengabaikannya. Aku benci jika ada orang lain yang melihatku menangis penuh derita. Namun pria itu muncul begitu saja, dan lagi-lagi berkata bahwa aku memanggilnya. Lagi-lagi ia memintaku untuk menerima bantuannya. Aku sungguh tak mengerti maksud pria itu. Dan kini ia mengikutiku seolah sedang menuntut.
"Apa kau merasa menang karena aku telah menunjukkan keputusasaanku?" Tanyaku pada pria itu, tanpa menoleh ke belakang sambil terus berjalan. Memecah keheningan di tengah udara malam yang hangat, juga menyela percakapan seru para jangkrik yang saling bersahut-sahutan.
Sesaat tak ada jawaban darinya. Namun sebelum aku sempat berpikir mungkin saja tiba-tiba ia menghilang lagi, pria itu menyahut, "Bukan, tapi aku hanya senang," jawabnya, terdengar jujur.
"karena kau akan menerima bantuanku." ia menambahkan.
Langkahku terhenti, "mengapa kau begitu yakin? atas dasar apa?" dengan kening berkerut, aku menoleh dan menatapnya heran.
"karena akhirnya kini kau mengerti bahwa dirimu benar-benar putus asa." jawabnya lagi dengan tenang.
Aku mengangkat sebelah alis, tak habis pikir kenapa tiba-tiba dia seyakin itu hanya karena hal tersebut.
"Mengakui keputusasaanku bukan berarti menerimamu." aku meluruskan.
Namun dengan tenang ia kembali berkilah, "aku tahu. Dan aku yakin suatu saat kau pasti akan menerimaku," sanggah pria itu, "karena saat ini kau hanya ragu."
Selagi aku agak takjub dengan betapa pandai ia berkilah agar tak menerima kata 'tidak'. Pria itu menyambung perkataannya, "tak apa, akan kutunggu sampai kau tak ragu lagi," tambahnya sembari mengedikkan bahu.
Kini aku tahu dengan jelas bahwa caranya berpikir sungguh tidaklah biasa, dan bertentangan dengan pola pikir ku. Dalam norma dan aturan yang berlaku di dunia manusia. Ketika seseorang datang untuk menawarkan bantuan, manusia berhak memilih untuk menerima atau menolak bantuan itu. Namun, pria itu benar-benar tak memberiku pilihan. Ia terus memaksaku dan bersikeras agar aku menerimanya.
Aku mendengus sinis, "Jika memang kau tahu bahwa suatu saat aku pasti akan menerimamu, mengapa tanpa henti kau terus memaksaku? Kau takut akhirnya aku akan tetap mengabaikanmu?" timpalku, menampik perkataannya dengan logika ku.
"Bukankah..." aku menyipitkan mata, "artinya 'suatu saat' itu bisa saja tak akan terjadi?" simpulku kemudian.
Namun dengan cepat pria itu mengelak lagi, "tidak, 'suatu saat' itu pasti akan terjadi selama kau belum mati," ia mengangkat dagu, "Aku bisa menunggu penerimaanmu hingga ujung usiamu," bualnya.
Namun lantas ia menghela nafas panjang, "tapi bagaimana ya..." alisnya terangkat sebelah saat menatapku, lalu melanjutkan,
"menunggu seumur hidup hingga kau mati itu membosankan. Seumur hidup bukan waktu yang sebentar, dan aku benci mengulur waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grin Like A Cheshire [Hiatus]
FantasyMeski aku sering mendengar nenek menceritakan dongeng tentang peri dan sihir, sebetulnya aku tidak sepenuhnya percaya. Sebab hal itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan secara logis, dan sama sekali tak masuk akal. Hanya saja, setelah kepergian nenek...