POV1: Lian
Suara tonggeret yang memekakan telinga mulai bersahut-sahutan saat matahari mendekati sembilan puluh derajat di atas kepala.
Desa tempat nenek dan aku dahulu menetap ini, tak jauh dari daerah pantai. Jadi saat jarum jam sudah mendekati angka sebelas menjelang siang, kau akan bisa menikmati semilir angin yang berembus lebih kencang karena laut pasang. Tanpa perlu mempedulikan seberapa terik matahari.
Itu adalah agenda wajibku setiap kali aku mampir ke rumah ini. Namun gara-gara orang tak dikenal yang hari ini memberantakkan rumahku. Akhirnya aku harus merelakan waktu eksklusif yang hanya bisa kudapatkan sekali dalam seminggu, untuk membereskan perabotan-perabotan yang berantakan itu.
Apa boleh buat? aku pun hanya bisa menghela nafas sembari membereskan buku-buku yang berserakan di lantai lantas menyusunnya kembali pada tempatnya.
Di rak itu nyaris dipenuhi buku-buku favorit milik nenek, sebagian adalah naskah cerita yang sering beliau tulis di waktu senggang. Nenek menyenangi segala sesuatu bertemakan fantasi dan dongeng. Kerap kali ia menuangkan imajinasi luar biasa yang terpikirkan olehnya pada lembaran kertas dengan tangannya.
Menyentuh bekas tulisan nenek lagi setelah sekian lama, membuat memori masa lalu teringat kembali di pikiranku. Aku jadi ingat bagaimana dahulu nenek membuatku terpana dengan berbagai dongeng fantasi yang ia buat.
Karena nenek, saat kecil aku sempat bermimpi tinggal di negeri dongeng seperti pada kartun Disney. Bahkan di rak ini tak sedikit buku dongeng koleksi ku yang sudah berdebu terselip di antara buku-buku lain.
Karena nenek pula, aku sempat percaya akan keberadaan sihir atau makhluk fantasi dalam dongeng. seperti sihir ibu peri Cinderella, apel beracun, Tinkerbell, hingga negeri ajaib Alice.
Hanya saja semua itu raib tak bersisa tanpa kehadiran nenek.
Rekaan masa lalu di otakku buyar ketika tiba-tiba sebuah kaleng dingin menyentuh pipiku. Sontak aku terkesiap, lalu mendapati pria yang hari ini mengklaim diri sebagai budakku menyodorkan sekaleng soda dingin.
"pesananmu datang." ucapnya.
Aku merenggut kaleng itu dari tangannya, "terima kasih." sahutku singkat, lantas segera membuka tutup kaleng itu karena aku haus sekali.
Beberapa saat yang lalu aku sempat memintanya pergi ke minimarket untuk membelikanku minuman dingin. Tapi tak kusangka ia bergerak cukup cepat. Aku bahkan sama sekali tak mendengar bunyi debam langkah kakinya pada lantai kayu karena sibuk tenggelam dalam lamunan siang bolong ku.
"sedang memutarbalikkan waktu?" tanyanya, menatap sebuah album foto yang tergenggam di tanganku.
Aku tertegun sesaat, pria itu menebak perasaanku dengan benar. Cepat-cepat aku menutup kembali album foto tersebut.
"tidak, sedang membereskan kekacauan." dengan cepat aku berkilah, sebab tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pria itu. Lantas, aku kembali menyibukkan diri menyusun buku-buku serta perabotan yang berantakan kembali ke tempatnya masing-masing.
Pria itu menyeringai miring, "ingin kubantu memutarbalikkan waktu?"
"tidak, aku sibuk." tolakku secepat kilat, sembari berusaha menghindari pria itu yang terus mencoba menatap mataku.
Tapi percuma saja aku menolak. Tiba-tiba saja pria itu menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang. Aku hendak protes, karena ia bersikap sembarangan sesuka hatinya. Namun suara tonggeret yang sedari tadi bersahut-sahutan seketika lenyap dalam sekejap.
Aku pun terdiam.
Bunyi deburan ombak dan burung camar terdengar di telingaku, menggantikan suara tonggeret yang lenyap. Seluruh panca inderaku merasakan perbedaan yang begitu signifikan. Aroma laut yang menggelitik, bahkan tekstur kasar pasir pantai pada betisku, semuanya terasa begitu jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grin Like A Cheshire [Hiatus]
FantasyMeski aku sering mendengar nenek menceritakan dongeng tentang peri dan sihir, sebetulnya aku tidak sepenuhnya percaya. Sebab hal itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan secara logis, dan sama sekali tak masuk akal. Hanya saja, setelah kepergian nenek...