02. Kanaya dan Biru

22 4 0
                                    

Bukit Sakti, adalah bukti nyata tentang persahabatan Mawar dan juga Kanaya. Bukit cantik dengan bunga warna-warni menghiasi indah setiap lahan yang ada. Wanginya harum, udaranya sejuk, dan jauh dari kata kebisingan, tempat dua introvert itu menghabiskan separuh hidupnya untuk bercanda dan tawa.

Namun semenjak menginjak bangku SMA, mereka berdua jarang ke sini. Keduanya saling sibuk dengan urusan masing-masing, hingga lupa dengan kenangan yang tersimpan di sini. Tempat Mawar duduk sekarang, adalah tempat di mana dulu ia mengadakan piknik kecil bersama Kanaya. Menyantap roti sandwich bersama, tertawa menceritakan tentang kejadian hari itu.

"Oke .., mari kita lihat." Kanaya menatap sekelilingnya.

"Ada burung .., bunga .., rumput .., hm ...." gadis berambut lurus sebahu itu nampak sedang berpikir keras.

Burung berkicau menghantui pikiranku

Bunga-bunga bertebaran mengelilingi perutku

Rumput hijau bukanlah ladang biasa

Dan kamu, adalah sejarah terindah dibalik semua ini

"Eh, liat bait pertamanya deh War, menurut lo bagus nggak?" Gadis itu menjulurkan buku tulisnya kearah Mawar. Namun sayangnya, gadis yang dituju tidak merespon apapun.

"War?" Panggil Kanaya. Ia menatap Mawar dengan intens. "Lo ngelamun?" dan kemudian, gadis tersebut melambai-lambaikan tangannya di depan muka Mawar, yang membuatnya tersadar dari lamunan.

"Hah? Oh, iya Nay? Kenapa?" Gadis itu kelalapan. Kemudian ia balas menatap kontak mata Kanaya.

"Lo kenapa ngelamun deh?" Tanya Kanaya mengintimidasi. Seperkian detik kemudian, gadis itu tersentak kaget baru menyadari sesuatu. "Eh, pipi lo merah. Lo abis ditampar lagi sama papa lo??"

Banyak pertanyaan yang melintas begitu cepat di otak Kanaya. Terlalu banyak, hingga Mawar tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.

Kanaya refleks memalingkan wajahnya. Kemudian ia mengangguk paham akan kondisi sahabatnya yang satu itu. Mungkin pilihannya tepat. Untuk mengajak Mawar pergi rehat sejenak menatap pemandangan bukit.

"Mawar ...," panggil gadis itu lirih.

"Iya?" yang dipanggil masih tidak memalingkan mata.

"Kalo ada apa-apa sama lo, bilang sama gue oke ...? Gue selalu ada di sini buat lo." Suara itu lembut, terdengar sangat hangat bagi Mawar. Gadis yang dibicarakan pun tersenyum tipis.

Kanaya selalu saja begitu. Seolah-olah bak superhero yang sebisa mungkin selalu ada untuknya dikala sedih. Seolah-olah mengerti apa yang Mawar rasakan, dan masalah apa yang sedang ia hadapi. Kanaya selalu mencari tahu, dan tidak akan membiarkan luka sekecil apapun membekas pada sahabatnya tersebut.

Namun seberapa besar apapun Kanaya berusaha, ada kala dimana ia tidak bisa membantu sahabatnya itu. Ada kala dimana Mawar hanya bisa meminta tolong pada dirinya sendiri. Ada kala dimana Mawar tidak bisa cerita tentang masalah yang sedang ia hadapi kepada Kanaya.

🧡❤️🧡❤️

Mawar menatap jam dinding yang selalu berdetak dengan irama yang konstan. Jam itu berjalan maju, terus berputar, menjadi bukti nyata bahwa waktu adalah hal yang paling berharga di atas segala-galanya.

"Eh, hai Mawar!"

Sumber suara dari bilik pintu membuatnya refleks menengok.

Biru Langit, teman kedua yang ia punya.

"Lo lagi apa deh?" lelaki tersebut datang menghampiri. Kemudian menatap jam tangannya, menunjukkan pukul 05:49. "Masih pagi gini, tumben banget" Biru terkekeh. Merasa ada sebuah perubahan kecil dari gadis di depannya itu.

Mawar ikut terkekeh "cih elah ..., gue lagi rajin gini malah lo ketawain."

Biru mengalihkan pandangannya dari jam tangan kepada tumpukan buku yang berada tepat di meja sang gadis. Sebuah latihan soal kimia beserta kertas otret-otretan berada di sana.

Mawar menunjuk bukunya, "Kimia ada PR. Lo udah ngerjain belum hayo?!" dan bertanya seakan mengintimidasi.

"Udah lah, tadi malem sih gue ngerjainnya. Bukan dadakan subuh-subuh gini." Kekehan kecil bergema dalam senyumnya. Kemudian lelaki itu menarik kursi, dan duduk persis di sebelah sang gadis.

"Ih, sombong banget lo." Mawar memutar bola matanya malas.

"Terus sekarang lo mau ngapain ke sini??" tanya gadis itu, menatap Biru sambil menyengir. Sedang menebak-nebak apa reaksi dari si lawan bicara.

"Mau gue bantu nggak?"

Singkat, padat, jelas, dan sukses membuat jantung Mawar ingin mencelos keluar dari tempatnya.

"Gak butuh, gue bisa ngerjain sendiri." Bantah gadis itu pura-pura tidak salah tingkah. Ia menundukkan kepalanya, membuat rambut panjangnya bergerak menenggelamkan rona pipi yang kian memerah.

Biru mengangguk paham. "Kalo ada yang susah tanya aja, nggak usah ragu-ragu. Gue nggak yakin lo bisa ngerjain sendiri. Nilai lo aja remedial terus." Lelaki itu mengangkat alis kirinya, dan tersenyum miring mencoba menyindir.

Cowok sialan.

Satu kata untuk Biru Langit.

"Mawar Alesta." Mengetahui tidak ada respon apapun dari si gadis, lelaki itu balas mengintimidasi. "Lo tau masalah apa yang paling besar dan nggak bisa diselesaikan oleh manusia?" Lelaki itu menundukkan badannya, menjajarkan diri dengan kepala Mawar yang lebih pendek darinya.

Mawar menatap Biru. Penasaran dengan jawaban dari pertanyaan yang lelaki itu berikan.

"Keegoisan. Kalo lo nolak terus kebaikan dari orang lain, dan lo nggak pernah ngizinin orang itu buat bantu masalah yang lagi lo alami, ya lo bakal tetep gitu-gitu aja." Kali ini tatapan lelaki itu terlihat tulus. Sukses membuat Mawar tenggelam dengan kalimat bijaksananya.

"Terkadang ada waktu dimana lo nggak bisa nyelesain masalah lo sendiri, dan lo butuh tangan orang lain. Lo bukan malaikat War, lo nggak bisa selalu baik dan selalu hebat buat diri lo sendiri."

Lelaki itu kini mengelus pelan kepala gadis di depannya. "Egois dan gengsi sama diri sendiri itu, nggak selamanya bisa nyelesain masalah."

Mungkin salah satu alasan Mawar sedikit menyukai hidupnya, adalah dengan adanya keberadaan Kanaya dan juga Biru. Memiliki teman-teman yang suportif, membuatnya sedikit lebih bahagia.

"Oh iya," Biru sukses membuat mata sang gadis berbinar. Siap mendengarkan perkataan sang lelaki selanjutnya.

"Minggu depan ujian kimia. Lo, udah nyiapin apa aja? Gue nggak mau liat lo dipukulin lagi sama papa lo." Ucapannya datar, tanpa penekanan dan tanpa ekspresi. Namun sukses membuat Mawar nyaman.

Namanya Biru. Biru Langit. Lelaki itu jarang berekspresi, namun kata-katanya begitu lembut. Terkadang Mawar benci dengan Biru yang perhitungan. Namun di sisi lain, Biru adalah sosok lelaki yang peka tanpa ia ceritakan sekalipun.

Tidak ada yang tahu tentang luka lebam pada pipi dan juga punggungnya. Hanya Kanaya, dan juga Biru. Tidak ada yang lain. Dua orang itu adalah dua orang yang Mawar sayang, dan selalu senantiasa ingin membantu dirinya walau ia tidak membutuhkan itu. Kanaya dan Biru adalah dua orang yang mengetahui sisi lain dari kakak si anak famous. Kanaya dan Biru, adalah dua orang yang percaya jika sesempurna apapun manusia, bukan berarti tidak memiliki kisah pilu pada keluarganya.

🧡❤️🧡❤️

SKPC ✅ (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang