Aku adalah Penjahat

1 0 0
                                    

BAB 8
Aku adalah Penjahat

Duya menyebabkan kaki nenek lumpuh. Itu benar. Begitulah yang ia pikirkan. Selama proses operasi gadis mungil itu diam bak patung. Tubuhnya sedingin es, ia membeku di tempatnya. Bunda tidak sempat menenangkannya karena banyak mengurus keperluan nenek.

"Maaf buk, untuk sekarang kami belum bisa memastikan." Ujar seorang Dokter yang sedang mengobrol dengan Bunda." Nanti, kalau sudah ada perubahan akan kami kabari ya. Yang sabar ibu dan keluarga."

Duya kecil tidak menangis sejak kejadian itu. Bukan tidak merasa bersalah, ia sungguh merasa bersalah yang teramat dalam. Ia adalah tersangkanya. Ia adalah orang yang menyebabkan Nenek terluka dan sampai di rawat di rumah sakit. Ia tak mampu mengeluarkan air matanya. Bunda sudah terlalu sibuk dan panik akan kondisi nenek. Mana berani ia memberontak lebih atau menangisi hal ini. Ia terlalu takut.

Ketika Dokter mengabari kondisi nenek, dan bagaimana ketika kenyataan bahwa nenek tidak bisa berjalan seperti biasa lagi. Duya bisa apa...? Ia bahkan tak mampu mengucap sepatah katapun. Ia memang sepenakut itu.

Ketika semua itu terjadi ia berharap semua itu adalah mimpi buruk dan ia ingin menjadi anak baik dan tidak menyebabkan masalah. Dia sepenuhnya merasa bersalah. Ia bukan Duya yang sama lagi, dan mungkin ia tidak dikenali

Nenek kembali ke rumah dengan kondisi berbeda dari biasanya. Biasanya beliau akan sangat heboh melakukan apapun berbicara apapun, tapi tidak sekarang. Nenek murung dan lemah. Beliau senang menyendiri di kamarnya dari waktu ke waktu.

Pernah suatu kali, saat sore menjelang Duya dimintai tolong oleh bunda untuk membawa obat nenek ke kamarnya, saat itu hujan turun cukup deras nenek tertidur pulas di kursi rodanya. Bulir air terlihat menggenang di sudut matanya. Nenek habis menangis. Gadis itu menjadi lebih sedih lagi. Ia merasa jahat.

Di sekolahpun, tidak ada yang ingin menjadi temannya. Semua orang menjauhinya karena tau Duya anak yang angkuh dan kasar. Ia bahkan menyakiti neneknya sendiri karena keegoisannya. Siapa yang tahan menghadapinya dan sanggup bersamanya.

Sepulang sekolah, ia menunggu di halte bis dengan pandangan murung. Bunda menghubungi bu Senja bahwa akan terlambat hari ini.

"Mau pulang sama aku...?" Suara anak laki-laki yang dikenalnya membuat lamunan Duya seakan retak.

Ia menoleh mendapati Kenzie berdiri di luar pintu mobil sedan hitam. Ia menatap sekilas wajah pengemudinya, pria paruh baya menatapnya dengan tatapan hangat.

"Ayo sayang, Papa antar sekalian." Ucap pria itu lembut.

Gadis itu hanya tertunduk lesu. Kemudian menggeleng. Kenzie dan papanya saling tatap. "Gak apa-apa. Tadi Papa udah bilang sama bunda. Ayo! "

Mobil Kenzie melaju dengan pelan melewati halte. Duya akhirnya bersedia ikut pulang bersama walaupun masih dengan tatapan murung. Sesekali ia merespon pertanyaan papa Kenzie. Kenzie juga tak kalah aktif mengajak gadis kecil itu mengobrol walaupun hanya ditimpali anggukan atau gelengan saja.

Ketika hampir mencapai rumahnya, Kenzie berucap "Kamu gak salah, Baby tiger. Nenek udah sehat jangan sedih lagi dong. Kasian nenek" Ucapan singkat yang membuatnya terkejut.

Berbekal ucapan tetangganya, Duya sedikit bangkit dari keterpurukan. Ia lebih santai. Bunda tidak marah atau membencinya atas apa yang terjadi. Ia tau betul namun, tetap saja tak semudah itu. Ia masih merasa jahat dan takut akan selamanya begitu.

Ketika sampai di rumah, ia mendapati nenek duduk di kursi roda. Dengan senyum ceria yang khas. Perempuan 50 tahun itu membuka tangannya agar Duya memeluknya. Ia hanya terdiam di tempat.

"Ayo sini! Peluk nenek. Nenek kangen yaya sayang!".

Sambil berlari bermandikan air mata gadis mungil itu menghambur ke pelukan nenek. Meresapi dalam-dalam kasih sayang perempuan yang selalu menyayanginya. Ia tidak ingin lagi menyakiti nenek. Ia akan merawat nenek sampai kapanpun.

"Jangan tinggalin Yaya ya nek." Sambil terisak ia mengeratkan pelukannya.

"Iya sayang. Nenek janji, tapi..." Melepas pelukannya seraya mengusap air mata dan ingus gadis kecilnya"Duya jangan sedih lagi, ya sayang" Ia hanya mengangguk kembali memeluk nenek lebih erat lagi.

Bunda terharu melihat pemandangan itu. Ia tak pernah merasa sangat bahagia selama ini setelah momen di mana ia melahir putri kecilnya yang sangat ia sayangi.

Meski gadis kecil itu selalu mengatakan kalau dia jahat tetapi ada banyak orang yang memberinya kasih sayang, ada bunda nenek dan Kenzie yang sejak kecil adalah pelindung yang baik hati tetapi menyebalkan.

Bukan Supernova (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang