3. Get Better Day by Day

4 2 0
                                    

***
Duya menatap aneh ke arah pemuda tampan nan menawan yang duduk berseberangan dengannya di meja makan. Pemuda itu konsisten tersenyum dan sesekali cekekikan bersama neneknya. Tampa memperdulikan bahwa ada manusia gembul nan tembem di antara mereka. Yaitu dirinya. Dia terabaikan. Obrolan ringan sampai berat dilakoni keduanya sambil melibas habis makan siang buatannya. Tak disangka pemuda tampan ini cukup ahli membuat piring dan mangkok di meja makan raib isinya.

"Kamu kenapa?" Celetukan Kenzi memporak-porandakan khayalan gadis itu.

"Uhm? Siapa?" Duya menatap bingung bergantian antara Kenzi dan Neneknya

"Iiissh. Ya kamulah? Emang aku ngomong sama siapa? Masa ngomong sama nenek. Pake kata kamu" Seraya menatap jenaka ke arah nenek pemuda itu berujar " Iya kan, nek?" Seolah mencari pendukung.

Nenek hanya tersenyum lembut. Ia bergantian memandang kedua anak muda yang bertahun menemaninya.

"Ya gak apa-apa. Orang makan emangnya mau kayak mana lagi?"

"Kamu lagi mikirin sesuatu. Atau lagi terpikirkan sesuatu?"

"Emang apa bedanya masbro?"

" Ya bedalah. Lagi mikir sama terpikir. Gitu aja gak tau. Kamu sekolah ngambil rapor gak sih? Kok meragukan banget akademis kamu"

Duya terpelanting jauh menuju samudra Antartika mendengar ucapan tak masuk akal bin nyenengin si tetangga usilnya itu.

"Aku malas komentar, ntar juga abang yang menang. Kamu tu ya Bang, gak bakalan rela kalau argumen kamu di patahin orang. Daripada ribut, aku iya-in aja apapun omonganmu."

"Cih... Sok tau banget kamu sama aku. Udah kayak istriku aja."

Mendengar ucapan Kenzi, sontak saja Duya seolah baru saja dilelehkan di atas wajan penggorengan bekas minyak jelantah yang sudah tak dicuci sebulan.

Apa? Istrinya katanya?

Duya mengulum senyum. Ia bukan senang, hanya saja aneh mendengar ucapan itu. Tak pernah sekalipun terpikirkan bahwa ucapan seseorang bisa membuat efek serundukan banteng di ulu hatinya. Apa ini?

***
"Kamu yakin gak mau ikut kemping sama aku?" Danti, si gadis cantik, langsing dan mempesona. Teman dan tetangganya.

"Gak ah. Aku capek, Dant. Nanti harus naik turun gunung. Aku gak berbakat di bidang itu. Kalau ada ekstrakurikuler yang bergerak di bidang selonjoran aja. Aku seratus persen ikut. Atau ekstrakurikuler tentang ngemil seharian di depan tv, aku orang pertama yang daftar. Tapi, kalau masalah olahraga dan kawan-kawannya aku angkat tangan. Gak sanggup." Duya memutar-mutar cankir plastik di tangannya sambil menatap gelas kosong yang dipegang Danti.

"Apa salahnya sih? Kita gak naik turun gunung juga kali Ya. Nanti kan, kita bakalan di lapangan gitu. Bukan di gunung. Anti banget kamu sama gunung. Katanya mau diet. Gitu aja udah lemes."

Mendengar ucapan Danti, cangkir plastik mungil yang dipegang mendarat mulus di bokong aduhai milik teman cantiknya itu.

"Aduh. Sialan kamu. Sakit nih" Danti mengusap-usap bokongnya kesakitan.

"Makanya ati-ati kalau ngomong. Sejak kapan aku mau diet. Diet adalah daftar terakhir dalam prioritas hidupku. Aku udah bersyukur banget di kasih badan kayak gini. Biar gembul asal seksi boyy" Sekarang, gantian cangkir mungil itu mendarat di bokong seksi Duya.

"Ngimpi" Duya hanya cengengesan menanggapi ucapan temannya itu.

Hari sudah sore ketika bus yang mengantar rombongan kemping di Lapangan pinggir hutan kota. Duya masih bergelayut di bahu Danti karena tertidur di tengah perjalanan. Ia akhirnya ikut kemping, meski ogah-ogahan. Berkat rayuan maut Danti, serta iming-iming tumpangan gratis selama sebulan membelokkan pendirian Duya untuk tidak akan pernah ikut kemping dengan teman sekolahnya, berakhir dengan menyetujui untuk kemping bersama.

Bukan Supernova (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang