Memiliki Lee Juyeon sebagai kakak tiri adalah biggest flex bagi Elisa.
Tak cuma Juyeon, kesepuluh kawannya terutama Hyunjae turut memperlakukan gadis itu bagai tuan putri. Sayangnya dunia lisa runtuh saat Juyeon mulai menjarak dengan alasan yang tak...
Melenggang masuk ke ruang pribadi adalah kesalahan pertama kakak tiri Elisa pagi ini.
Gadis itu heran, baru resmi jadi anggota keluarga saja sang kakak sudah berlaku seenaknya. Berapa kali Elisa harus mengingatkan supaya dia tidak melakukan sesuatu sebelum diberi ijin?
"Adek mau berangkat ke kampus bareng Kak Juyeon?" tawarnya, berdiri di samping gadis itu.
Kak Juyeon? Ugh, lagi-lagi dia perkenalan.
Elisa sudah hafal nama lelaki ini, bahkan menganalisa MBTI-nya. Juyeon dan dirinya punya kesamaan di tiga huruf terbelakang. Meski soal ekstrover atau introvernya Juyeon si Elisa belum tahu pasti.
Dari gerak-gerik dan keseriusannya, Juyeon jelas seorang Capricorn. Itu adalah salah satu dari sederet zodiak green flag penuh ambisi dan pekerja keras, minus kurang romantis saja.
Apakah mereka berdua kompatibel? Mungkin. Bisakah mereka cepat akrab? Bisa jadi. Yang pasti, Elisa tak semudah itu berbaur karena dirinya adalah perempuan yang kesulitan berekspresi. Mau apapun yang terjadi, wajahnya seperti dicetak datar secara permanen. Entah sedih atau bahagia, tidak akan ada banyak perubahan.
Berkebalikan dengannya, Lee Juyeon punya banyak koleksi ekspresi yang membuat Elisa iri. Mau bagaimanapun cara dia mengolah wajah, Juyeon tak pernah terlihat jelek. Apapun yang dilakukan dan dikatakan laki-laki itu dipuji semua orang yang melihat.
Juyeon juga sopan, pintar dan tahu cara memulai percakapan, meskipun terlihat gampang dibodohi dan rada plonga-plongo.
Gara-gara Lee Juyeon pindah ke rumahnya, Elisa sering dikomplain tetangga kalau dia sombong sebab tak pernah mengenalkan sang kakak.
Memang kenapa kalau dia punya saudara tampan? Apa Elisa harus lebay dan petakilan akan hal itu? Tidak juga.
"Aku udah dijemput Jake di depan." Elisa, masih dengan wajah datar, menggaet tote-bag yang tadinya tergeletak di kasur.
Juyeon murung melihat sang adik melewatinya begitu saja. Jelas-jelas dia super rapih hari ini. Set atas bawah denim biru tua yang membuat kulit putihnya kontras dan terlihat segar.
Mau seribu kali mengecek ke cermin pun, Juyeon tahu ia termasuk paling tampan se-antero kampus. Bahkan orang bilang ketampanannya bisa diadu secara internasional.
Adik manisnya benar-benar tega meninggalkan dia sendirian, tanpa salam dan pamit. Kini Juyeon termenung di dalam kamar yang bukan miliknya.
"Masa sih, dia nggak bangga jalan bareng aku? Apa sejak awal dia nggak suka dengan kedatanganku dan Bunda?" Juyeon bertanya pada diri sendiri.
Dahulu lelaki itu senang sekali ketika tahu, Elisa, adik tingkat kampusnya akan sah secara hukum jadi keluarga barunya.
Ia diam-diam belajar jadi seorang kakak yang ideal. Terkadang meminta saran teman-temannya yang beberapa merupakan putra sulung.
Gara-gara sering bercerita, teman-temannya antusias untuk segera bertemu Elisa. Mereka ingin tahu seperti apa sosok yang membuat Juyeon begitu berisik memuja dan memuji segala tentangnya setiap hari.
Punya adik perempuan berumur 3-4 tahun di bawahnya adalah bagian dari imajinasi Juyeon selama ini. Sejak kepergian sang Ayah, dia diam-diam berdoa agar anggota keluarganya bertambah. Bisa jadi hal itu menambah warna di kehidupannya dan sang Bunda.
Sang adik, Elisa, punya senyum dan mata yang cantik. Rambutnya juga hitam pekat. Secara visual, semua itu jauh lebih sempurna dari yang pernah dibayangkan Lee Juyeon.
***
"Masih lama, kah?" tanya Elisa, mulai curiga melihat Jake sok sibuk di kursi pengemudi.
"Wait, bentar lagi jalan." Balas lelaki itu.
Jake melihat ponsel, kadang membenarkan posisi duduk, kadang melihat ke sekitar. Terus saja begitu sampai Elisa gumoh memperhatikan.
Dari sisi kaca Jake yang sangat gelap dari luar, Elisa melihat kakaknya tengah mengubah jagrak motor sport yang sejak 15 menit lalu dipanaskan. Sang kakak bicara sebentar dengan sang Ayah yang kebetulan menyiram rumput dan paving depan rumah.
Ketika Elisa mengubah pandangannya sedikit ke kanan, Jake sudah menggigit bibir dan menyengir aneh. Ah, jangan bilang dia sedang menatap apa yang tadi Elisa lihat.
"Gila, abangmu cakep banget. Gak sia-sia aku kesini seminggu tiga kali." Jake berujar tanpa malu pada gadis di sampingnya.
Seluruh dunia sepertinya berbondong-bondong menjadi gay demi Lee Juyeon. Elisa lelah dengan favoritisme ini. Keberadaannya yang sebelum ini cuma bayang-bayang kini ditutup habis oleh figur sang kakak. Ia makin tak kelihatan saja oleh orang lain.
Entah punya kakak adalah hal yang perlu disyukuri atau bukan, tapi Elisa harap orang-orang tak begitu gaduh memuja Juyeon di depannya. Jujur itu menyakitkan.
Netra cantik si gadis kembali memperhatikan bahu sang kakak yang berada jauh di depan sana. Dari bahunya saja luar biasa tampan, apalagi kalau berbalik.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepertinya Juyeon merasa ditatap dari arah sana, pasalnya tiba-tiba pandangannya dan Elisa menyambung lurus meski salah satu tak bisa melihat apa-apa sebab terhalang kaca hitam.
Temu tatap dengan si tampan membuat si gadis diserang gugup yang luar biasa dan Elisa mencoba menyingkirkan perasaan itu.
"Jake, ayo berangkat. Aku nggak enak kalau dapat bangku kuliah paling belakang." Ajak Elisa, diangguki kawannya dengan pelan.
Tin tin!
Juyeon mengangguk sopan saat mobil yang ditumpangi sang adik dan teman lelakinya membunyikan klakson untuknya dan sang Ayah.
Ia tergiur dengan mini s-cooper elektrik itu. Sebagai mahasiswa teknik, dia punya ketertarikan sendiri dengan berbagai macam kendaraan berkelas.
Pajak mobil listrik memang relatif rendah tapi jangan tanyakan harga belinya. Juyeon yakin mobil Jake bisa dua kali lipat harga tanah dan rumah lamanya.
Jadi itulah tipe Elisa, batin Juyeon.
Sang adik nampaknya suka bergaul dengan lelaki tajir, yang saking tajirnya punya banyak waktu luang untuk menjemputnya ke sana-sini. Orang seperti Jake juga pasti dengan mudah memanjakan Elisa serta mendapatkannya akses untuk belajar dan hiburan.
Juyeon tertegun. Masih jauh jalannya menuju ke sana.
Dia tak punya privilese kekayaan dan jabatan, tapi ia tak mengeluh dan terus berusaha menjadi kakak idaman demi merebut atensi gadis itu.