Kegiatan kampus Elisa begitu memadai di hari pertama setelah libur panjang. Setiap dia pindah kelas, ada saja tugas yang melibatkan kelompok maupun essay individu.
Jujur saja, tugas kelompok tak masalah buatnya. Tapi essay? Ah, sulit karena Elisa merupakan perfeksionis akut. Ia bisa membuang banyak kertas hanya karena tak terkesan dengan tulisan sendiri.
Keanehannya tak sampai disitu.
Meski Elisa tergolong pintar di jurusannya, dia masih iri dengan teman-teman yang bisa kuliah santai dan effortless. Sedang dirinya memusatkan seluruh tekad dan keseriusannya demi mendapat nilai A secara overall.
Memangnya apa lagi yang bisa ia banggakan selain nilai? Elisa muak dulu di SMA selalu jadi yang terbodoh gara-gara salah jurusan. Perkuliahan semester 2 di tahun pertama ini membuat Elisa seperti bertempur habis-habisan.
"Santai aja, nggak usah gila." Jake melirik Elisa dengan was-was.
Kiranya gadis itu sudah menyingkirkan kertas folio belasan kali karena tulisannya berantakan. Bagus di awal, hancur di akhir.
"I'm okay." Elisa menggeleng pelan tanpa menatap Jake. Dia tak mau memampang kondisi psikologis di kertas. Baginya, tulisan tangan mesti stabil sampai akhir.
Gadis bodoh, terlalu banyak membaca trik psikologi murahan yang menjadi bumerang baginya. Jake jadi tak punya pilihan selain beranjak dari sisi sofa seberang.
Lelaki itu mendudukkan bokongnya secara kasar sampai sofa berguncang dan membuat ujung pulpen Elisa meleset.
"Sialan!" Umpat gadis itu.
Enggan meminta maaf, Jake malah merebut benda di tangan gadis itu.
"Sumpah, kamu jadi beda banget semester ini. Gara-gara apa, sih?" seru Jake tanpa berusaha membuat keadaan jadi gaduh.
"Balikin pulpenku!" Elisa memberontak, merasa perlu menyelesaikan tugasnya sekarang agar bisa bermalas-malasan di rumah.
Tiba-tiba, ada sekumpulan grup masuk dari pintu utama. Jongsung Park, Sunghoon Park, Nicholas dan Byun Euijoo. Jake merupakan satu dari sekumpulan itu dan dialah yang diam-diam mengundang mereka ke kafe.
"Aku mau nyamperin temen-temenku. Kamu mau gabung?" tawarnya, jelas langsung Elisa tolak dikarenakan ada manusia yang tak ingin Elisa temui di sana.
"Pergi aja."
Jake memutar bola mata dan membereskan seluruh barang ke ransel, tanda Jake akan berpisah dengan Elisa hari ini. Kalau sudah berkumpul dengan gengnya, maka dipastikan Jake bakal pulang mendekati tengah malam.
"El, kalo kamu kayak gini terus aku kuatir kamu kehilangan satu-satunya temanmu." Ujar Jake kesal, yang dikatakannya hampir seratus persen benar.
Siapa lagi yang mau menemani Elisa kalau bukan Jake?
"Aku bisa survive sendirian, Jake. Aku gak seegois itu berteman supaya bisa ambil benefit. That's stupid, everyone's so stupid!" sahut Elisa, seakan membawa seluruh dendam masa lalunya dan di tumpahkan pada Jake yang tak tahu apa-apa.
Beberapa orang di sekitar terganggu dengan penuturan idealis si gadis yang berasumsi bahwa pertemanan hanya perihal taking benefits dan tak ada ketulusan di dalamnya. Padahal, dua hal tersebut bisa dipadukan menjadi harmoni.
Jake menahan emosi. Kalau saja Elisa laki-laki, mungkin Jake sudah menghajarnya demi menyadarkan betapa bodoh dan tak masuk akalnya dia.
Sayangnya di mata Jake, Elisa cuma anak kecil yang terlalu lama mengisolasi diri. Ia menganggap dunia luar terlalu keras, egois dan tak sama dengannya yang innocent. Dicetak miring karena Jake cuma sarkas.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐜𝐚𝐫𝐲 𝐒𝐰𝐞𝐞𝐭 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐮𝐲𝐞𝐨𝐧
Fiksi PenggemarMemiliki Lee Juyeon sebagai kakak tiri adalah biggest flex bagi Elisa. Tak cuma Juyeon, kesepuluh kawannya terutama Hyunjae turut memperlakukan gadis itu bagai tuan putri. Sayangnya dunia lisa runtuh saat Juyeon mulai menjarak dengan alasan yang tak...