Bab 1 : Jasad Ditolak Bumi

7.2K 344 22
                                    


Pertengahan Maret 1999.

Pagi itu di hari senin sekitar pukul 10.00 wita, warga desa Tumbang Lais digegerkan dengan peristiwa ganjil di pemakaman muslim setempat. Waktu itu, jenazah Misnah yang hendak dimakamkan, sepertinya menolak untuk menghadap kiblat. Para penggali kubur dan beberapa orang pria yang berada di liang lahat terheran-heran dengan kejadian aneh itu. 

Sudah lebih dari tiga kali jasad Misnah dihadapkan ke arah kiblat, tapi lagi-lagi jenazah itu kembali ke posisi berbaring dalam keadaan terbujur kaku. Meskipun telah dipaksa, jasad berbungkus kafan putih itu berbalik dengan sendirinya. Istighfar demi istighfar yang diucapkan hadirin, tetap gagal membuat jenazah itu untuk dihadapkan ke arah barat. Berbantal tanah liat, jasad Misnah hanya mau menghadap ke arah langit, seolah sengaja menatap warga yang berkerumun di pinggir liang lahat 

Sontak kejadian itu membuat gaduh para pelayat yang hadir. Seumur hidup mereka bermukim di desa, baru kali ini ada perihal ganjil terkait kematian seseorang. Suara-suara miring mulai beredar, tuduhan demi tuduhan mulai tersebar. 

"Astagfirullahul azim…Malang sekali, jasadnya ditolak bumi," celetuk salah seorang warga. 

"Astagfirullahul azim… Jangan-jangan nanti malam ia bangkit jadi hantu. Hii…"

"Hiii…!"

Selentingan demi selentingan kian menyebar, membuat komplek pemakaman pagi itu mendadak riuh bagai pasar. Tidak peduli dengan pihak keluarga yang berduka, gunjingan warga semakin menjadi-jadi. Terutama ibu-ibu yang memang hobi bergosip. Apalagi Hajah Diana, mertuanya mendiang Misnah, dikenal sebagai wanita angkuh. Janda kaya raya itu memang dikenal judes pada warga, terutama kepada orang miskin. 

Meski telah berhaji, ia tetap menjalankan bisnis sebagai rentenir. Bila tak sanggup membayar, maka bersiaplah rumah, kebun atau ternak akan berpindah ke tangan Hajah Diana. Oleh karena itu, ganjilnya pemakaman sang menantu tentu saja jadi kesempatan warga untuk membalas sakit hati. 

Berbalut bolang merah menyala, hajah Diana tidak menghiraukan gunjingan miring penduduk. Baginya, orang-orang miskin itu hanya iri dengki dengan harta yang ia peroleh. 

Di pinggir liang lahat, di antara kerumunan, Jaya duduk terpaku dengan raut wajah kebingungan. Belum hilang kesedihan akan kematian sang istri, kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa jasad Misnah tidak mau dihadapkan ke arah kiblat. Ia yang sedari tadi berusaha tegar, akhirnya tersungkur dengan air mata berlinang. 

Misnah, gadis jelita yang telah ia dinikahi selama 12 tahun, mendadak sakit selama setahun belakangan. Kesehatannya menurun drastis sewaktu Jaya menikah lagi dengan gadis yang lebih muda. Misnah terpaksa menurut karena tidak mampu memberikan keturunan. Sakitnya Misnah bertambah parah begitu mengetahui madunya hamil muda. 

Mariatul namanya, biasa dipanggil Atul. Anak tertua pambakal ( kades ) Sarip itu berselisih  usia 10 tahun dengan Jaya. Selepas menamatkan pendidikan Aliyah di Kabupaten, remaja itu dengan hati berbunga menerima pinangan Jaya. Memang hal lumrah, orang-orang di kampung ini menikah muda. Bahkan, banyak yang baru lulus smp tapi sudah berumah tangga. 

Di rumah, Atul masih sibuk mengurus bayi yang baru ia lahirkan. Istri muda anak saudagar kampung itu tidak diperbolehkan untuk ikut mengantar jenazah Misnah ke pemakaman. Menurut kepercayaan orang kampung, wanita yang baru melahirkan tidak diperkenankan menginjak kuburan. Konon, akan mendatangkan marabahaya. Apalagi, bayi lelakinya belum genap berusia 40 hari. 

Jaya mulai hilang kesabaran mendengar gunjingan warga yang bukan-bukan. Hampir saja amarahnya meledak, untung saja ibunya dengan sigap menyabarkan. Gantian, justru pambakal Sarip si ayah mertua yang mengamuk. 

"Dasar orang udik! Orang sedang berduka, kalian justru menuduh sembarangan!" bentak pambakal penuh amarah. Matanya melotot seakan mau copot. 

Warga yang tadi bergosip langsung terdiam, terutama ibu-ibu yang bermulut tajam. Entah karena malu atau takut, bentakkan pambakal membuat mereka jadi bungkam. 

Di dalam liang lahat, keheranan para penggali kubur dan warga masih terjadi. Upaya mereka untuk menghadapkan jasad Misnah ke arah kiblat selalu gagal. Kalimat istighfar, tahlil dan tahmid berkumandang dari mulut warga yang berkerumun di pinggir liang lahat. 

"Ustad, bagaimana ini?" tanya salah seorang penggali kubur. Tubuhnya telah basah karena cucuran keringat, sedangkan wajahnya penuh raut kegelisahan. 

Ustad Gani yang tadi meminpin doa juga sama bingungnya dengan warga lain. Mengenakan peci hitam, wajahnya yang bersih menandakan ia banyak menyentuh air wudhu. Namun, meski tahu banyak perihal agama, kejadian janggal ini diluar pengetahuannya. Ustad muda lulusan pondok pesantren di Martapura itu hanya bisa melafalkan doa, berharap Misnah dilapangkan kuburnya. 

"Jaya, langkahi mayat istrimu!" 

Sekonyong-konyong warga menoleh ke sumber suara dari arah belakang. Rupanya suara julak Sarkani, salah satu tetua kampung. Tubuhnya kurus tinggi dan terlihat masih bugar di usia menjelang senja. Ia dipanggil julak, karena menurut tutur di Kalimantan, saudara tertua dari orang tua kita dipanggil julak. Mungkin semacam Pakde dalam tutur Jawa. 

Sedari tadi, hanya julak Sarkani yang tampak tenang. Sesekali jemari tangan kirinya memutar-mutar jari manis tangan kanan yang berhias akik kecubung, pertanda sedang berpikir. Matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik pengantar jenazah, mungkin ada yang mencurigakan. Lelaki berusia awal 50an tahun itu menelusuri tiap warga, tapi tak menemukan ada yang janggal. 

"Jaya, cepat lakukan! Langkahi mayat istrimu tiga kali. Kasihan dia, jangan tunda lagi penguburannya," sentak julak sekali lagi. 

"Jaya, turuti ujar julak," desak hajah Diana. 

Meski masih kebingungan, lelaki awal usia 30an tahun itu tidak membantah. Warga pun semakin banyak bergerombol di pinggir liang lahat, penasaran dengan apa yang akan terjadi. 

"Beri jalan! Beri jalan!" hardik pambakal Sarip dibantu beberapa orang perangkat desa. 

Setelah warga menyingkir, Jaya mulai mengambil ancang-ancang. Dengan mengucap bismillah, Jaya melompati liang lahat istri pertamanya itu. Begitu kakinya berhasil mendarat di tumpukan tanah liat, warga serentak menghela nafas lega. Lompatan pertama berhasil, sisa dua lompatan lagi. 

Jaya kembali melompat, hingga tiga lompatan berhasil ia rampungkan tanpa kendala. Warga yang berkerumun masih penasaran, kira-kira apa yang terjadi selanjutnya. 

"Sekarang, coba hadapkan jasad Misnah ke arah kiblat," lanjut julak Sarkani. 

Ketua penggali kubur mengangguk, lantas mengajak rekannya menuruti perintah julak. Sungguh ajaib, jasad kaku si Misnah berhasil dihadapkan ke arah kiblat dengan mulus. Gema syukur alhamdulillah lantas bergema, diiringi wajah lega pihak keluarga. 

Namun, raut wajah tegang masih tersirat di wajah julak Sarkani. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari sekiranya ada yang mencurigakan. Kakek itu lantas mengambil sebuah ranting yang tergeletak di antara bariaan nisan, lalu melangkah ke arah pinggir pemakaman. 

Warga saling pandang, bertanya-tanya apa kiranya yang hendak dilakukan orang tua itu. Julak Sarkani berhenti beberapa meter di depan pohon cimpedak, menatap lurus ke salah satu cabang pohon. Setelah mengucap bismillah, ia melempar ranting di tangan ke arah rimbun dedaunan. 

Prak…! 

Warga tersentak, seekor burung hantu seketika muncul dari balik dedaunan, terbang melesat ke arah hulu kampung. Namun ada yang aneh, burung hantu itu ukurannya lebih besar dari burung hantu biasa. Sebesar ayam kampung jantan. Demi melihat itu, pambakal Sarip bergegas menghampiri. 

"Ada apa, julak?" tanya pambakal. 

Julak Sarkani menghela napas panjang, menatap burung hantu tadi yang kini menghilang di balik rimbunnya hutan. 

"Entahlah…baru kali ini aku melihat burung hantu berkeliaran di siang hari. Bisa jadi salah satu peliharaan Nini Tuha."

"Nini Tuha?" tanya pambakal lagi. 

Julak Sarkani tidak menjawab, ia justru melangkah ke arah warga yang telah hampir selesai menguburkan Misnah. Setengah berlari pambakal Sarip mengejar julak Sarkani, masih penasaran. 

"Bersiaplah, Sarip. 40 hari kedepan, kampung kita akan dapat teror mengerikan. Beberapa nyawa lagi akan melayang, menyusul Misnah ke alam baka," lanjut julak dengan nada khawatir. 

bersambung… 





Sandah ( Kuntilanak Berwajah Lebar ) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang