Yesmin sudah menyiapkan beberapa barang untuk ia bawa saat akan pulang ke rumah. Hari ini hari Sabtu, kemarin ia sudah berjanji bersama Jendra untuk pergi dan kembali bersama mengingat hanya Jendralah satu-satunya yang pulang ke rumah selain dirinya.
Barang yang ia bawa tidaklah banyak, hanya beberapa skincare—yang tentu saja sangat sakral keberadaannya bagi kaum hawa—dompet, ponsel dan tentu saja pakaian kotor. Yesmin ingin mencucinya di rumah agar ketika ia balik ke posko semuanya sudah bersih.
Di depan sana sudah ada Sella yang mengamati kegiatannya. Sella seperti ingin ikut pulang juga karena sesungguhnya ia sama rindunya dengan rumah, apalagi kamarnya. “Gue kapan ya dapet giliran pulang?”
Yesmin yang mendengar monolog itu menoleh, “Tinggal bilang sama Renan kalau mau pulang. Minggu depan tuh kayaknya masih belum ada yang mau pulang deh. Lo bilang aja dulu, biar nggak ada yang duluin.”
“Emang langsung dibolehin?”
“Ya bolehlah, gila aja kalau sampai nggak boleh. Lagian kita di sini tuh sebulan. Nggak mungkin sebulan bakal betah lama-lama di posko.”
Yang dibilang oleh Yesmin nggak ada salahnya. Setiap anggota memang dikasih kesempatan untuk pulang. Tetapi tidak boleh terlalu sering. Takutnya KKN ini tidak berjalan maksimal jika banyak yang ijin pulang. Sella juga bingung, kalau ia mendapatkan ijin pulang, lalu dengan siapa ia pulang.
“Lo pulang jam berapa?”
“Dua jam lagi. Gue juga belum mandi ini.”
“Jangan lupa pamit sama yang lain kalau mau pulang. Biar barokah selama di rumah.”
Yesmin justru tertawa mendengar celetukan itu. “Entar warga sekampung bakal gue pamitin. Oh iya, hari ini kalian mau ke balai desa, kan, buat adain progker perpustakaan desa?”
Sella mengangguk mengiyakan, di tangannya sekarang sudah ada sebungkus camilan yang entah milik siapa. Sella hanya asal mengambil dan memakannya. Toh, nanti kalau ada yang marah-marah, Sella pasti tahu bahwa orang itulah pemiliknya.
“Iya. Masih bersih-bersih dulu sih kayaknya. Kan, kita nunggu bukunya dateng lengkap. Ada, sih, memang beberapa yang udah dibawa dulu ke sini. Tapi, kan, masih kurang banyak.”
Tak lama berselang, Shasha datang dengan semangkuk mie soto yang ada di tangannya. Wangi khas mie instan yang sudah sering mereka hirup seketika menggelitik indera penciuman keduanya.
“Bagi dongg,” pinta Sella.
“Enak aja. Bikin sendiri!”
“Idihh pelit. Lagian bukannya sebentar lagi lo mau ke balai desa sama yang lain. Keburu ditinggal lo kalau makan mie.”
“Lah, emangnya lo enggak ikut?” tanya Shasha sembari menyeruput kuah mienya.
“Ikutlah.”
“Yaudah, ntar kita berangkat akhiran.”
“Ya tapi minta dulu mienya.”
“Mumpung gue lagi baik, cepetan sana ambil sendok!” perintah Shasha kemudian beralih menatap Yesmin yang masih diam sembari melihat tingkah teman-temannya itu. “Lo nggak mau nyoba sekalian?”
“Nggak usah, deh. Buat Lo aja.”
Sementara di teras depan, Yusuf serta Seno sudah menyiapkan beberapa buku yang siap dibawa. Tak banyak, namun jika dibawa berdua cukup membuat tangan mereka pegal. Tak jauh dari mereka juga ada beberapa kayu, paku, palu dan cat. Kali ini anggota KKN Desa Weringin memutuskan untuk ikut terjun semua ke lapangan—tentu saja kecuali Jendra dan Yesmin, karena kedua orang itu pulang ke rumah. Kemudian untuk posko sementara dikunci dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, KKN
General FictionKisah tentang kegiatan kampus yang mengharuskan dua belas anak manusia hidup dan berbagi tempat tinggal selama 30 hari. Tawa, suka, duka dan ketakutan akan menghampiri mereka setiap harinya. Mereka dituntut untuk bisa menyatukan banyak kepala menjad...