Golden Hour

2 0 0
                                        

"Hey, mau ke mana? Udah sore nanti dimarahin Mama!"

Aku menulikan telinga dari teriakan gadis Chindo menyebalkan itu. Fakta yang lebih menyebalkan lagi, perempuan itu adalah saudara tiri yang umurnya hanya bertaut 1 tahun lebih tua dariku.

Wajahnya cantik, tapi mulut dia berisik -- mengalahkan kebisingan para tetangga ketika sedang menggosipkan bantuan pemerintah di pagi hari. Tiga puluh menit satu ruangan dengannya saja kepalaku pening sekali. Persetan dengan perintah mama yang menyuruhku untuk menemaninya di rumah.

Sudah cukup, aku tidak kuat.

Berbekal ponsel dan uang lima ribu rupiah, aku berjalan tidak tentu arah. Menapaki aspal terjal dengan sendal jepit yang semakin tipis ditelan waktu. Padahal sudah beberapa kali mama hendak membuang sandal legend yang kubeli tujuh bulan yang lalu. Namun prinsipku menjerit melihat barang yang masih bisa dipakai itu hendak ditinggalkan. Selagi barang itu masih bisa diperbaiki dan dipakai, pantang bagiku untuk membuangnya.

Aku menendang kerikil ke pinggir jalan. Lantas menghela napas berat, padahal tidak ada pemikiran berat yang membebaniku saat itu. Aku hanya tiba-tiba kesal, muak dan cape.

Sekarang aku butuh pengalihan dari emosi negatif yang seringkali menurunkan mood yang berantakan. Aku mulai mengamati potensi alam sejauh mata memandang. Jalanan ini kurang perawatan. Tiap sisi-sisinya mulai ditumbuhi rumput-rumput liar yang semakin tinggi. Beberapa sampah plastik pun tampak terselip di balik tanaman ilalang yang tumbuh subur.

Masyarakat memang sering begitu, awalnya koar-koar mengajukan lembaran proposal untuk perencanaan pembangunan ini itu. Namun ujungnya tutup mata dan telinga atas perawatan kebersihannya. Entah sampai kapan kebiasaan buruk itu terus berotasi.

Aku berdiri di sudut jalan pertigaan. Bingung harus mengambil jalan yang mana. Sedangkan semburat jingga kemerah-merahan terlihat mulai membakar kaki langit di ufuk barat. Seketika aku mendapatkan jawabannya.

Melihat senja di pelabuhan bukan ide yang buruk, 'kan?

Aku berlari sekencang yang kubisa. Jarak yang kutempuh sekitar 150 meter lagi. Aktivitas ini sangat menguras energiku yang jarang berolahraga. Bayang-bayang pohon terlihat bergerak buram dari sudut mata.

Akhirnya, aku sampai dengan napas yang terengah-engah. Lelah itu terbayar dengan pemandangan gurat lukisan Tuhan yang mewarnai langit dan terefleksikan pada air laut. Kapal-kapal tanker berlabuh rapi dengan belasan jenis kapal lainnya, beberapa crew kapal menurunkan logistik hasil tambang.

Ada juga orang-orang yang berlalu lalang untuk menyelesaikan kegiatan transportasinya. Sedangkan kedatanganku ke sini hanya untuk menjemput senja, memastikannya tenggelam di tempat arah mata angin yang sama. Karena jika matahari itu tenggelam di arah yang berbeda, kehidupan di semesta raya pun jelas akan berbeda.

Ketika berada di jam-jam emas seperti ini, kepalaku biasanya akan aktif menimbulkan banyak pertanyaan. Tentang kenapa senja hanya singgah sebentar? Kenapa senja bisa seindah dan memberikan perasaan sedamai ini? Apa yang senja janjikan pada manusia? Dan tentang ... apakah keindahan memang hanya diciptakan sebentar-sebentar? Bagaimana jika jangka waktu senja ditetapkan dalam durasi yang panjang? Apakah pengagumnya lama-lama akan bosan dan turut meninggalkan senja?


Suara Dari KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang