"Dulu punya uang sepuluh ribu itu bisa beli beras sekilo sama telur ayam satu. Sekarang, dapet cilok dua kantong. Agak lawak, ya gak sih? Kek makin ke sini, nilai mata uang tuh makin kecil harganya," ucapku seraya menyerahkan sekantong makanan berbahan dasar tepung tapioka berbentuk bulat tersebut.
"Namanya inflasi. Dari dulu permasalahan ini sulit untuk diatasi. Mungkin dari kenaikan harga BBM berpengaruh besar sama kenaikan harga barang pokok lainnya. Secara kan kalo bahan bakar itu cakupannya luas, sebagai alat transportasi," jawabnya dengan cepat.
Aku diam, menunggu makanan dalam mulutku habis. Kemudian menelannya dan kembali buka suara, "Menurutmu ada solusi khusus gak buat ngatasin inflasi di negara kita?"
Dia menatapku sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandang pada ranting kering yang jatuh menyentuh kakinya. Setelah tertiup angin yang agak kencang. "Buka aja UUD pasal 29 ayat 1. Sudahkah pemerintah mengamalkan itu?"
Buru-buru aku membuka layar ponsel untuk mengakses jaringan internet. Setelah mengetik sebuah kata kunci di google, dahiku berkerut. "Undang-undang tentang sila pertama?"
"Eh?" Laki-laki yang mengenakan kemeja planel itu tertawa singkat. "Salah deh. Pasal 33 ayat 3 yang bener."
Aku kembali mencari isi dari Undang-Undang tersebut. Kemudian membacakannya agak keras, agar dia juga ikut mendengarkan. "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
"Menurutmu itu udah sepenuhnya terealisasikan belum?"
"Belum sih. Belum sepenuhnya kerja sama antara rakyat dan pemerintah untuk menciptakan kemakmuran itu terjalin dengan baik."
Natha menoleh dan menautkan kedua alisnya. Dengan senyum miring yang terkesan mengejekku, laki-laki yang umurnya tiga tingkat di atasku itu berujar, "Kalo rakyatnya udah. Pemerintahnya yang mementingkan diri sendiri."
"Tapi aku lihat dari perspektif yang lain. Contohnya dari progress UMKM kemarin. Di tempatku banyak oknum yang asal ngajuin doang. Setelah uangnya cair, dia gak bikin usaha apapun."
"Ya, itu tugasnya pemerintah. Mereka bikin program sudah benar-benar dipikirkan atau belum? Tapi solusi dari inflasi itu sendiri ada hubungannya dengan UUD yang aku sebut paling awal tadi."
"Sangkut pautnya apa? Bisa dijelasin lebih rinci?" Dia mengangguk dan menatapku lebih lekat. Dengan segera, aku mengalihkan tatapanku pada ombak pantai selatan yang bergulung dengan deburan yang keras. Aku tidak kuat ditatap oleh orang lain dengan lama.
Angin berhembus lebih kencang. Pantai selatan memang terkenal dengan ombaknya yang besar karena pantai ini berhadapan langsung dengan samudera Hindia, sehingga menghasilkan energi gelombang yang kuat.
"Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau benar-benar semua orang meyakini Tuhan. Harusnya gak ada orang yang korupsi." Ada jeda beberapa detik.
"Dari PT Freeport, kalo misalkan itu 100% untuk rakyat, setiap jiwa warga negara Indonesia tiap bulannya dapet 20 juta dari negara tanpa kerja apa-apa. Itu cuma satu doang dari berjuta-juta kekayaan yang ada di Indonesia. Bayangin aja gimana kalo semua kekayaan alam Indonesia ini betul-betul di kelola oleh pemerintah dan hasilnya 100% untuk rakyat. Sesuai dengan UUD 1945 pasa 33 ayat 3. Gak bakal ada orang miskin di Indonesia," sambungnya lagi.
Aku mencerna setiap kata yang terlontar dari mulutnya di tengah hari yang terik ini. "Terus itu hasilnya ke manain? Apa ada dari sebagian uang tersebut yang dipakai untuk menutup hutang negara? Atau mungkin bisa juga uang ini masuknya ke dana bansos?"
Kami saling tatap. Dia tersenyum tipis. Kulihat rambut bagian depannya terayun-ayun oleh tiupan angin. "Aku belum tahu tentang itu. Sebenarnya UUD yang itu udah dipakai sih. Cuma baru sampai di kutipan 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara'. Sedangkan lanjutan dari pasal tersebut seperti belum dipakai. Padahal poin pentingnya ada di kalimat selanjutnya."
"Heuheu, aku cape. Kita bahas yang normal-normal aja ya, Tha. Bisa?" sahutku ketika otakku sudah benar-benar terasa suntuk.
Natha dengan wawasan luas dan pola pikirnya yang kritis. Pembicaraan apapun bisa dia imbangi. Tapi ada satu ketakutan yang diam-diam menyusup dalam hatiku. Aku takut dia hilang-- entah itu dari dunia, lingkungan sekitar atau bahkan ... dari kehidupanku.
__𝓐𝓲𝓽𝓼𝓾𝓴𝓲 ; 908'23