Aku masih ingat betul. Ketika menginjak umur 6 tahun, saat itu aku sudah masuk sekolah dasar. Berbeda dengan usia teman lainnya yang kebanyakan berada satu tingkat di atasku. Itu tidak masalah.
Masalahnya berada pada cara mereka memperlakukanku waktu itu. Aku masih ingat jelas, ketika punggung kecil ini diinjak keras oleh teman sebayaku, lengan mungil yang dipukul oleh bambu kecil karena berusaha menolak pemalakan. Serta perkataan olok-olok yang lumrah mereka ucapkan. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis sesenggukan, sendiri.
Aku terlalu takut untuk melakukan perlawanan. Entah karena waktu itu aku melihat badan mereka yang lebih besar, atau karena ancaman mereka yang selalu berputar dalam isi kepalaku.
Aku tidak tahu, apa yang salah waktu itu.
Pernah satu waktu aku memberanikan diri untuk bicara pada orang tua tentang permasalahan yang kualami. Namun ternyata, bukan pelukan yang kudapat. Melainkan kena damprat.
Mereka justru balik menghakimi dan menyalahkanku. Katanya aku terlalu pasrah, sehingga mereka tidak segan untuk melakukan perundungan padaku.
Setelah kejadian itu, aku menjadi sosok yang semakin pendiam. Seperti tidak punya dunia. Bahkan rasanya semakin suram. Apalagi ketika mendengar ayah dan ibu berbicara saling menyalahkan dengan nada tinggi ... entah apa penyebab keributan itu, waktu itu aku tidak mengerti. Aku hanya tahu, bahwa degupan kencang yang kurasakan saat itu adalah perasaan cemas, sedih dan juga takut.
Aku akan menarik selimut sampai sebatas leher, berpura-pura tidur membelakangi pintu kamar dengan lampu yang padam. Diam-diam, buliran bening meleleh dari kedua mataku secara bersamaan ... rasanya sakit sekali. Seperti ada ratusan jarum yang menusuki organ dalam dan seonggok batu yang tinggal di dalam tenggorokan-- sesak.
Setelah pertengkaran hebat itu, biasanya ibu akan masuk ke kamarku. Menangis beberapa saat, lalu tidur dan merangkulku dari belakang. Anehnya, sentuhan ibu terasa menyakitkan. Air mataku semakin deras menjatuhi bantal.
Saat itu, ibu tidak tahu aku menangis dalam diam. Karena jika ibu tahu, dia pasti akan marah lagi. Dia tidak suka jika anaknya tumbuh menjadi manusia berkepribadian melankolis.
Memasuki pertengahan kelas 3 SD. Aku semakin takut menghadapi hari esok. Bukan hanya teman-teman yang sudah biasa menyiksaku, ibu juga ....
Contohnya ketika aku lupa menyimpan handuk basah di atas kasur. Lupa mematikan televisi atau barang elektronik lainnya. Menyimpan seragam sekolah sembarangan. Tidak menyimpan sepatu di atas rak. Tidak menghabiskan makanan yang kuambil. Kesalahan kecil seperti itu saja dihukum oleh pukulan. Apalagi kesalahan besar? Hampir mati aku saat itu, hahah.
Kejadiannya berawal dari kakak kelas yang memalak uangku. Pagi itu, ibu memang memberi uang lebih untuk kubayarkan pada guru sebagai tagihan pembelian buku LKS. Aku menatap tiga laki-laki yang badannya menjulang tinggi mengepungku. Mereka terus memaksa meminta uang dua puluh ribu yang berada digenggamanku. Bukan hanya umpatan kasar dan caci maki yang mereka lontarkan, tapi lagi-lagi tamparan dan pukulan.
Melawan tiga orang yang tenaganya lebih besar daripada aku, ya jelas aku kalah telak.
Kemudian, sepulang sekolah aku masuk ke dalam kamar ibu dengan mengendap-ngendap. Dan kesalahannya ada di sini ....
Langkahku berhenti di depan laci kecil. Dengan mata yang bergerak liar, tanganku cekatan mengobrak-abrik isi laci tersebut sampai mendapat loket kecil milik ibu. Ideku sudah buntu untuk berpikir panjang. Jadi, setelah mengambil selembar uang berwarna hijau, aku bergegas keluar dari ruangan itu.
Lantas pada malam harinya ... aku ketahuan. Ibu murka, dia membanting tubuh kecilku dan mengatakan umpatan-umpatan yang membuat tubuhku bergetar hebat. Anak tidak tahu diri lah, tidak berguna, pembawa sial, semua terekam jelas dalam memoriku. Bahkan ketika gagang sapu ijuk menghantam punggungku sangat kuat dengan tempo berkali-kali. Ketakutan dan perasaan cemas yang mendominasi hati kecilku itu tidak bisa disembunyikan lagi. Seluruh tubuhku bergetar, dengan air mata mengalir deras. Ibu tidak peduli ketika aku memeluk kakinya dengan kata ampun yang kuserukan disela raungan dan jeritan pedih kesakitan yang mendera sekujur tubuhku. Justru, semakin kencang aku meraung, semakin tinggi ancang-ancang gagang sapu itu menghantam punggungku.
Itu kenangan terburukku.
Esok harinya, badanku panas tinggi. Seluruh tulangku terasa remuk. Sentuhan kecil pada arteri kulitku saja rasanya perih sekali. Aku bahkan tidak sadar, ketika badanku tertidur lemas di ranjang tua milik nenek. Kata nenek, semalam aku pingsan sampai dibawa ke klinik. Karena nenek khawatir, akhirnya dia membawaku ke rumahnya. Itu yang dijelaskan nenek ketika aku terbangun.
Tiga hari diam di rumah nenek. Kondisiku lumayan membaik. Nenek selalu mengolesi salep pada punggungku yang terdapat banyak bekas memar. Sesekali kulihat dia menangis sambil mengobati luka di sekujur tubuhku. Katanya lagi, nenek ikut sakit melihat keadaanku seperti ini.
Selama dirawat oleh nenek, aku merasakan damai meski ibu tidak pernah menampakan diri di hadapanku. Aku sering diantar mengaji, mempunyai teman baik, dan luka di badanku juga cepat memulih. Nenek juga pernah memujiku, katanya aku cantik jika dirawat dengan baik.
Tapi aku tidak percaya. Ibu selalu bilang, cantik itu harus berkulit putih, sehat, dan wangi. Bukan seperti aku yang hitam, kurus, dekil. Sehingga, aku tidak percaya diri tampil bersama teman sebayaku. Karena memang aku jelek.
Menginjak minggu kedua, ibu datang ke rumah nenek. Aku diam ketika ibu mengajakku pulang ke rumah. Aku tidak marah waktu itu, hanya banyak berpikir ... rasanya meski hanya berbeda desa, tapi aku lebih betah tinggal di rumah nenek.
Aku menyembunyikan diri di belakang nenek. Menggeleng cepat ketika nenek meminta persetujuanku agar aku pulang ke rumah untuk melanjutkan sekolah.
Kemudian pada saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat ibu berjongkok di depanku dan menangis. Meminta maaf atas perlakuannya. Aku mencelos, ikut menangis dan menghambur ke pelukannya. Pada akhirnya aku tetap pulang.
Siapa sangka, kepulanganku ternyata memberi warna yang berbeda. Ketika kembali masuk ke dalam kelas, teman-teman mendatangiku untuk meminta maaf dan berteman baik. Kakak kelas yang pernah memalak uang dua puluh ribu waktu itu juga datang dan mengembalikan uangnya. Diberi keringanan hidup seperti itu, aku sangat bersyukur dan merasa ingin hidup lebih lama. Meski kepercayaan diri itu belum benar-benar bersarang dalam diri. Tapi aku cukup bahagia.
SELESAI
Noted : Hanya fiksi
