Helena menghela napas panjang saat matahari terbenam dan jam kerjanya telah berakhir. Dengan segera, ia melepas apron lalu mengaitkannya di belakang pintu, berpamitan pada Jasmine yang sedang menata buket bunga untuk pesanan esok.
"Aku pulang duluan, Jasmine."
"Ya, hati-hati."
Kakinya yang dibalut converse abu-abu melangkah ringan, menyusuri trotoar yang sedikit ramai. Ada banyak sekali pejalan kaki yang berdesakan di halte, membuat dia terpaksa harus memutar melewati gang kecil untuk tiba di apartemen yang jadi tempat tinggalnya.
Hoodie kebesaran yang membalut tubuh sukses menyembunyikan wajahnya, dia tidak terlalu suka jadi pusat perhatian. Helena hanya ingin segera pulang dan mandi di bawah tirai air hangat.
"Permisi, Tuan?"
Sebuah tepukan dan nada ragu yang terselip di sana membuat Helena berjengit, langkahnya mundur beberapa senti, menatap pria dewasa yang berdiri di sampingnya.
"Ya?"
"Apa kau kenal Tuan Galen?"
"Galen?"
"Ya."
"Tidak. Saya tidak mengenalnya."
Helena mempercepat langkah, tudung hoodienya semakin ditarik menutupi kening. Penampilannya sukses menipu orang yang baru pertama mengenalnya.
Sorot lega baru muncul saat dia mengunci pintu apartemen, buru-buru melepas hoodie dan melemparnya ke keranjang laundry. Dia masuk ke kamar mandi, menatap pantulan tubuhnya dalam kaca bulat yang sedikit buram.
Potongan rambut pendek dan wajah tanpa riasan membuat orang-orang mengenalinya sebagai pria, tapi justru itu yang dia inginkan.
Sebagai perempuan, dia tidak memiliki daya tarik yang mampu membuatnya bersaing dalam lingkungan sosial.
Kecantikan adalah hak istimewa.
Semua orang mengakui itu.
Dan, Jasmine membuktikannya.
Perempuan itu begitu cantik, memesona, juga memiliki kepribadian menarik.
Sementara Helena adalah kontradiksi dari sahabatnya itu.
Enggan berlama-lama dengan pikiran jelek, Helena segera membuka keran air hangat, membiarkan kulit lembutnya dibasahi oleh titik halus yang menimbulkan efek tenang.
***
Ada satu hal yang paling dia benci dari sifatnya.
Ceroboh.
Helena dan ceroboh adalah hal yang tidak bisa dipisahkan.
Gadis itu diam di depan lemari pendingin, menatap satu butir telur yang tersisa malam ini.
Napasnya dihembuskan kasar, menutup pintu kulkas kembali dan menyambar jaket kelabunya.
Dia benci keluar malam. Dunia setelah pukul delapan tidak bersahabat baginya yang memiliki secondary gender terlemah dalam hierarki.
Namun perutnya meronta ingin segera diisi. Lagipula, minimarket terdekat hanya berjarak seratus meter dari apartemennya, Helena tidak akan terluka.
Dengan keyakinan itu, dia segera menyarungkan sandal, menyusuri koridor apartemen yang lengang, menuruni lift yang hanya berisi dirinya sendiri.
Ada dua penjaga yang berdiri di pintu utama, Helena tersenyum simpul, akan mudah berteriak jika terjadi sesuatu.
Kakinya melangkah sedikit ragu, terlebih saat melihat beberapa pria yang mungkin adalah penguasa tertinggi sedang berdiri bergerombol di pinggir jalan.
Tidak ada yang menyadari kehadirannya. Tidak sampai angin menerbangkan tudung jaket dan memperlihatkan rambutnya yang sudah mulai memanjang hingga melewati telinga.
Lalu tiba-tiba siulan terdengar.
Helena membatu, rasanya ingin kembali segera mungkin namun kakinya tidak bisa bergerak.
"Omega."
Harusnya dia mematuhi kata Jasmine.
Bahaya bagi omega yang belum memiliki mate berkeliaran di situasi seperti ini.
Saat di mana alpha-alpha kurang kerjaan turun ke jalan, shifting seenaknya, menculik omega dan menyetubuhi tanpa rasa kasihan.
"Manis sekali. Bagaimana jika kita habiskan waktu sebentar untuk berbincang, nona?"
Tidak.
Helena ingin berteriak, namun lidahnya kelu.
Dua di antara mereka berdiri di sisinya, menguarkan pheromone yang membuatnya ingin muntah.
"Ikut kami."
Tubuhnya meronta, dia berusaha berteriak namun tidak ada yang peduli.
Jalanan sangat sepi, lampu-lampu bersinar temaran, dedaunan yang bergerak pelan seolah jadi saksi dirinya melemah dalam kungkungan lima pria yang tertawa-tawa melihatnya menangis.
"Kau tau, air mata omega adalah kebahagiaan kami."
Entah mendapat kekuatan dari mana, Helena mengangkat kakinya, menendang tulang kering pria di depannya kemudian berlari semampu yang dia bisa.
"KEJAR!"
Kakinya dibawa menjauh, mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa. Jantungnya berdentum keras saat tiba di minimarket dan melihat segerombolan alpha lain sedang menikmati malam di kursi yang tersedia.
"I got you!"
Helena berjongkok, menutup telinganya dengan kedua tangan, berpasrah pada apapun yang Dewa takdirkan untuknya.
"Hei?"
Seseorang menepuk pundaknya, membuat mata bulat kecoklatan itu terbuka pelan.
"Mereka sudah pergi."
Pandangannya teredar ke seluruh penjuru, mencari lima alpha brengsek yang mengejarnya tadi.
"Kami sudah mengusir mereka."
Helena terisak pelan, ini kali pertama dia ketakutan sampai menangis seperti ini.
"Hey, its okay. Mereka sudah pergi. Kau bisa kembali ke rumahmu dengan tenang atau ingin kami antar?"
"T-tidak perlu. Terima kasih!"
Melupakan niatnya untuk membeli bahan masakan, Helena segera berbalik namun satu cekalan di lengan kanannya membuat tubuhnya kembali berjengit kaget.
"Y-ya?"
Seorang pria menariknya, cukup dekat untuk bisa menghirup wangi cedarwood yang cukup tajam.
"Namamu?"
"H-hah?"
"Namamu?"
"Helena ..."
Pria itu menatap lengannya yang tertutupi jaket, menatap mata Helena berkali-kali sebelum melepasnya.
"Lain kali, hati-hati ... Helena."
Dia mengangguk kecil, segera beranjak dari sana, meninggalkan tiga orang pria yang masih mengawasi punggungnya.
***