Bagian 4

3 0 0
                                    

"Udah gak usah marah-marah," suara nan begitu lembut menelusup pendengaran Binar.

"Hah?," Binar tersentak, kaget.

Bak melihat setan menjelang magrib hampir saja sepeda motornya terlepas dari kedua tangannya. Untung Iki sigap menyambutnya, dahi pria itu berkedut, dia nyaris tak habis pikir dengan gadis didepannya saat ini.

"Gak sayang harta apa lu! Sini gua bawaki, tangan lu bantu melambai biar cepat nyebrangnya entar keburu tutup bengkel,"

"Iya, iya cerewet," Binar pun mengikuti instruksi Iki, lalu mereka menyebrangi hingga sampailah di bengkel tersebut.

"Pak, nih motornya mogok pak. Keknya ada masalah deh sama oli nya," Ujar Iki, yang langsung sigap di periksa oleh pria lansia--pemilik bengkel sekaligus montir nya.

"Waduh mas ini kayaknya harus bongkar mesin deh," Ujar si bapak setelah memeriksanya.

Mendengar itu mata Binar membesar, bibir bawahnya dia gigit seperti biasa di saat-saat dia panik, bingung atau....

"Pak gak bisa di baikin sedikit? Ya Paling engga bisa saya bawa sampai rumah, jaraknya tiga puluh menit dari sini," pinta Binar dengan intonasi dan raut wajah memohon.

"Bukannya bapak gak mau bantu neng, cuma masalahnya ini motornya memang harus di bongkar mesin, terus kalau pun bisa motornya dipaksa. Punten! Ini kebetulan bapak yang gak bisa soal bengkel mau ditutup cepat karena mantu bapak mau lahiran,"

"Oalah," Suara Binar melemah.

"Yaudah deh Na, motornya biar disini aja menjelang selesai bongkar mesin, pulang hari ini aku anterin aja." Final Iki, pemilik bengkel pun ikut lega mendengarnya lalu bergegas memasuki sepeda motor Binar dan menutupi bengkelnya.

Berbeda dengan Binar, satu alisnya malah terangkat. Tanpa basa-basi dia langsung melipir ke pinggir jalan raya yang disusul dengan Iki dibelakang nya.

Iki melambaikan tangannya, memberi tanda kepada beberapa mobil yang berlalu lalang agar melambatkan lajunya, karena dia hendak menyebrang bersama Binar.

Tangan kanannya berhasil melambatkan laju beberapa mobil, namun tangan kirinya tak mendapatkan keberadaan lengan Binar, Iki pun menoleh.

Sedangkan gadis dengan mata yang berbinar seperti namanya itu hanya mendelik heran "Apaan?" Tanya Binar dengan heran.

"Ayok nyebrang bareng, Binar!" Kata 'Binar', Iki tekankan.

"Gua nungguin Bus disini, kalau Lo mau nyebrang ya nyebrang aja sana ngapain ngajak-ngajak sih," tambahnya, bahkan lebih ketus dari sebelumnya.

Iki terdiam dia menatap Binar sesaat, tatapannya kali ini tak mudah dipahami.

"Oke." Iki menutup perbincangan diantara mereka, namun pria itu tak beranjak dari tempatnya. Dia masih setia berdiri hingga beberapa menit kemudian sebuah bus berhenti dihadapan mereka. Tak menunggu lama Binar pun masuk ke Bus, meninggalkan Iki yang masih berdiri ditempat tadi.

Sesampainya dalam bus, Binar mencuri pandangan keluar jendela. Dia teringat saat dulu masih di bangku sekolah menengah pertama, seorang Iki yang tengah duduk tenang di kursinya, menatap ke arah pintu kelas. Dia menunggu desakan di pintu masuk sepi, barulah dia pelan-pelan beranjak meninggalkan kursinya, jalannya sedikit berjinjit dengan dada yang sedikit membusung kedepan. Binar yang tadinya tersenyum dari balik jendela mendadak pudar senyumnya karena ini pertama kalinya dia melihat dengan jelas cara jalan anak laki-laki itu.

Tiba-tiba, Bruk !!
Binar berlari kecil menyusul laki-laki itu kedalam kelas. Dan benar saja, laki-laki dengan mata belo itu terjatuh di ambang pintu karena tersandung tong sampah didekat pintu keluar.

Dengan sigap Binar melepaskan tas pria itu terlebih dahulu, barulah dia meluruskan kakinya.

"Kamu gak papa?" Tanya Binar setengah berdiri, tangannya terulur kepada pria itu.

"Ayok!" Ujar Binar sembari menggerakkan telapak tangannya, namun anak laki-laki yang terjatuh itu hanya menatapnya dengan pandangan yang tak mampu di jelaskan.

Binar kembali berjongkok "kaki kamu terkilir ya?" Wajah gadis itu yang tadinya sumringah mendadak panik.

"Dek!" Tiba-tiba seseorang berseru dari luar sana, Binar mendongak dan menggeserkan tubuhnya ketika Seorang gadis lain mendekati anak laki-laki yang dipanggilnya adik tersebut. Gadis bermata kecil itu berlari mendekati mereka, raut wajahnya begitu panik dan ketakutan.

Tanpa basa-basi gadis itu pun langsung memeluk tubuh adiknya, dan membantu hingga adiknya bisa berdiri Sempurna.

Belum sempat Binar menanyakan kembali apakah kaki laki-laki itu terkilir atau tidak, dia sudah dipanggil oleh ibunya yang tampak terburu-buru akan pergi Kelompok Kerja Guru (KKG).

Binar pun bergegas meninggalkan kakak beradik tersebut.

***

"Motor kamu mana?" Tanya wanita berkepala empat itu dengan nada panik dan sedikit ketus.

"Di bengkel, bongkar mesin,"

"Bongkar mesin lagi?" Sambung seorang pria dengan rambut yang mulai dihiasi beberapa helai uban.

"Iya," jawab Binar, sembari membuka sepatu berwarna putih lusuh, miliknya.

"Cobalah kalau naik motor itu jangan dipaksa motornya, kalau kamu ngebut-ngebut dan maksain gitu ya cepat kering oli nya, jadinya bingkar mesin terus," lagi dan lagi pernyataan itu.

Binar menarik napasnya "Aku terus disalahi, padahal motor itu memang udah gak layak pakai dan harus diganti." Batinnya, sembari memasuki kamar dan mengunci pintu kamarnya. Baru saja gadis itu hendak mengganti bajunya.

"Na anterin nasi nih buat kakek kamu,"

Kali ini Binar tidak lagi menarik napas dengan pelan, tarikan napasnya terasa kasar dan arogan.

"Iya," balasnya singkat, lalu kembali mengenakan baju yang tadi dia kenakan.

***


BinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang