Suasana di sebuah ruangan menjadi suram tatkala seorang pria dengan mantel hitamnya itu datang membawa map berisi dokumen yang tidak diketahui apa isi di dalamnya. Peringai pria tersebut begitu datar. Tak seperti biasanya, pria itu selalu melemparkan seringainya kepada lawan bicaranya.Pria itu melemparkan dokumen tersebut secara sembarang ke arah seorang wanita di depannya.
"Apa ini?" Wanita itu sedikit terkejut, namun dirinya berusaha untuk meraih dokumen tersebut.
Pria itu mendengus kasar. "Mulai hari ini kita akan melakukan perceraian. Aku sudah menyiapkan berkas-berkasnya, kau hanya perlu menandatanganinya dan dilanjutkan nanti ketika persidangan," lirih pria itu ketir. Dadanya terasa sesak ketika mengeluarkan kata-kata yang menusuk ulu hatinya tersebut.
Bak dihujani ribuan peluru, dada Naira mendadak sesak. Jantungnya berdegup begitu kencang. Entah apa yang telah dilakukannya, dunia Naira seakan-akan hancur dalam sekejap.
"Ta-tapi ... Sayang, apa maksudmu?? Kenapa ... Kenapa ini sangat mendadak?" Naira masih belum bisa mencerna maksud dari perkataan suaminya ini.
"A-apa salahku, Sayang?? Kita saling mencintai bukan? Untuk apa kita harus bercerai?"
Pria itu mengernyitkan alisnya. "Cinta?? Kenapa kau seberani itu mengatakan 'cinta' setelah mencampakkanku sejauh ini? Aku sudah cukup bersabar untuk saat ini, rasanya sakit sekali menahan semua ini sendirian. Sedangkan kau?? Kau malah asik bercumbu dengan pria lain di belakangku. Apakah itu pantas untuk dikatakan 'cinta' ??" Lirih pria itu bertanya-tanya. Air matanya kini sudah tak terbendung lagi. Selama ini ia menahan rasa sakit di dadanya, menahan segala lara yang ada saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Naira menggeleng. "Tidak, tidak! Sayang, kumohon percaya padaku! Aku mencintaimu. Aku benar-benar ...," ucapannya terpotong saat ia mengingat apa yang telah dirinya lakukan selama ini. Memang benar kenyataannya seperti itu, tapi hal tersebut bukanlah hal yang Naira inginkan. Ia dengan bodohnya tergoda oleh pria lain selain suaminya sendiri.
"Sudahi sandiwaramu, Naira! Aku sungguh muak dengan semua ini." Pria itu melongos pergi. Di balik punggungnya yang tegap, terdapat deraian air mata yang meluncur begitu cepat.
Naura berusaha mengejar suaminya dengan tergopoh-gopoh. "Sayang, tunggu!! Beri aku satu kesempatan lagi! Aku janji akan menjadi lebih baik lagi ...."
"Kumohon ... aku janji akan memperbaiki hubungan ini ...."
Namun, apalah daya Naira tak bisa mengejar suaminya. Kedua kakinya melemas, ia tak sanggup lagi untuk berdiri. Tangannya meremas kruk yang selama ini setia menemaninya saat masa pemulihan. Perlu diketahui, sebelumnya Naira memang mengalami kecelakaan ringan hingga mengharuskan ia untuk menggunakan kruk di sepanjang pemulihan.
"Junaaa ... kumohon ...," rintih Naira menahan isak tangis. Ia berpikir bahwa dirinyalah mahluk paling bodoh se-dunia.
•••
Keesokan harinya, suasana di pagi hari begitu cerah dengan pancaran cahaya fajar dan burung-burung yang riang berkicauan. Namun, suasana itu berbanding terbalik dengan Naira. Perasaannya begitu kalut saat menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhir ia menyandang status "istri".
Naira terdiam mematung. Ia masih mengingat momen saat ia dan suaminya menikmati indahnya awan di pagi hari.
Tak sadar air matanya sudah berderai membasahi pipi tembamnya. Di balik selimut tebalnya itu, terdapat tubuh mungil yang merintih menahan pedihnya kenahasan yang menimpa hidupnya.
"Aku bodoh ... aku benar-benar bodoh! Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Aku sangat mencintai suamiku. Aku tak ingin melepaskannya ...," lirih Naira sembari memandangi langit-langit kamar tidurnya.
•••
" ... Dengan ini menyatakan bahwa Saudara Arjuna Adiputra dan Saudari Naira Avicenna resmi bercerai."
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan palu hakim itu begitu nyaring hingga terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Hal tersebut sontak meluruhkan segenap hati Naira, dunianya benar-benar hancur saat itu juga.
"Baik, persidangan telah berakhir dan para hadirin dipersilahkan untuk keluar dari ruang persidangan," ucap seorang hakim kemudian pergi meninggalkan ruangan persidangan yang diikuti oleh beberapa hadirin hingga hanya menyisakan keluarga dan kedua tokoh utama di persidangan kali ini.
Merasa cukup dengan apa yang telah terjadi, Arjuna hendak beranjak pergi meninggalkan ruangan persidangan. Namun, belum sampai dirinya tiba di pintu masuk ruangan, tangan Naira sudah lebih dulu menahannya.
"Tunggu ... Juna, tolong dengarkan penjelasanku terlebih dahulu," pinta Naira sembari menarik pelan lengan Juna.
Juna menepis tangan Naira. "Penjelasan apa lagi yang aku butuhkan, Naira?!?"
"Tolong percaya padaku ... ini semua fitnah! Apa yang Raizen katakan adalah kebohongan. Dia yang merayuku terlebih dahulu, aku benar-benar tidak mencintainya. Saat itu aku-"
Plakkk !!
Perkataan Naira tiba-tiba terhenti tatkala seorang wanita paruh baya menamparnya begitu keras, saking kerasnya hingga membuat pipinya mengeluarkan semburat merah nan perih.
"Sudah cukup omong kosongmu, dasar pelac*r!! Kau tak tahu bagaimana hancurnya hati anakku!!" bentak Bu Arita yang tak lain merupakan ibunda dari Arjuna.
"A-apa?? Tapi ibu-"
"Jangan sekali lagi panggil aku ibu!! Haaahh ... telingaku benar-benar sakit mendengarnya. Bisa-bisanya aku ... dengan mudahnya tertipu oleh pembohong ulung sepertimu, sangat menjijikan!"
Setelah melontarkan kalimat sumpah serapah itu, Bu Arita menarik tangan anaknya, Arjuna untuk pergi meninggalkan ruangan persidangan tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk perpisahan mereka.
Hati Naira begitu hancur setelah menerima perlakuan ibu mertuanya. Dan kini, mertuanya pun begitu membencinya sepenuh hati.
Tetapi, walaupun perlakuan mereka begitu menusuk ke dalam lubuk hatinya, Naira tak pantang mundur akan usahanya utuk mendapat hati mereka kembali. Ia berlari tergopoh-gopoh dengan salah satu kruk setianya untuk mengejar mereka. Dirinya berpikir bahwa ini bukan saatnya ia melepaskan suaminya begitu saja.
"Tunggu dulu, Arjuna ...." Naira berlari sekuat tenaga demi mengejar mereka hingga ke depan pintu masuk Kantor Pengadilan Agama.
Akhirnya Naira dapat meraih tangan Arjuna. "Kumohon, maafkan aku, Arjuna ...."
Namun, tak selang beberapa detik, tubuh Naira dihempas oleh Bu Arita hingga menyebabkan dirinya terdorong beberapa meter dari titik Arjuna berada. Sontak hal tersebut membuat tubuh Naira terperosok dan menyentuh permukaan teras yang begitu kasar.
"Jangan coba-coba mendekati anakku, dasar pelac*r !!!"
Kesabaran Bu Arita sudah berada di ambang-ambang. Kalau saja Arjuna tidak menahan ibunya sendiri, sudah pasti Naira telah dihujani sepatu heels milik Bu Arita.
Arjuna berusaha menahan ibunya dan menariknya menjauh dari mantan istrinya itu. "Sudah cukup, ini sudah keterlaluan, Ibu. Lebih baik ibu tenangkan dirimu dulu ...," pinta Arjuna meleraikan.
Berbanding terbalik dengan Bu Arita, tubuh Naira sendiri terkapar tak berdaya di lantai teras yang kasar itu. Rasa sakit tak tertahan tatkala kedua lutut dan telapak tangannya tergores oleh permukaan lantai. Surai hitamnya yang cukup panjang itu pun menutupi sebagian wajahnya yang kini telah lembap dibasahi oleh deraian air matanya.
Melihat kondisi mantan istrinya yang terkapar itu membuat hatinya begitu teriris. Bagaimanapun juga, setidaknya ia memiliki sedikit rasa simpati pada wanita itu. Arjuna perlahan mendekati Naira, namun tak selang beberapa detik tangannya telah ditahan oleh ibunya sendiri.
"Kau tak perlu bersimpati pada seorang pendusta, Arjuna," tukas Bu Arita sembari menahan lengan anaknya.
Tak perlu menunggu jawaban dari anaknya, Bu Arita melengos pergi sembari menarik anaknya menjauhi mantan menantunya tersebut.
'Maafkan aku, Nai. Aku tak bisa menjadi sandaranmu lagi ...,' batin Arjuna. Netranya tidak berhentinya memantau keadaan Naira dari kejauhan hingga perlahan pandangannya terhalang bangunan di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Regrets ; Kepercayaan yang Telah Hilang
Ficción GeneralSebuah kata yang tak pernah terpintas dalam pikiran Naira adalah "perceraian". Naira tidak menyangka bahwa kesalahan yang ia perbuat tanpa pikir panjang itu membuatnya terjatuh ke dalam belenggu penyesalan, kepercayaan dari pujaan hatinya pun telah...