1. Dibandingkan

27 2 1
                                    

Alisha berjalan ke luar kamar dengan langkah malas. Raut mukanya terlihat kusut, tak ada sedikit pun riasan di wajahnya. Di ruang tamu sudah berkumpul para kerabat dan sanak saudara. Siang itu adalah hari lamaran kakak Alisha yang bernama Arinda. Acara lamaran tersebut tampak meriah dengan dekorasi di sudut ruang dan juga antaran dari keluarga pihak laki-laki yang terlihat cukup mewah.

Bukannya Alisha tak senang dengan hari bahagia kakaknya. Namun, dia malas berkumpul dengan keluarga besar yang sering membandingkan dirinya dengan sang kakak. Lebih buruk, ayah dan ibunya sendiri pun kerap membandingkan mereka. Arinda dianggap lebih cantik dan pintar berdandan, juga bisa bersikap ramah pada kerabat. Sebagai nilai plus, Arinda juga dikenal banyak disukai oleh para pria.

"Nah, ini Alisha," ucap Marni, ibu Alisha. Marni lalu menyuruh Alisha untuk menyapa para tamu.

Alisha memaksakan seulas senyum sembari menyalami para kerabat yang berada di dekatnya satu per satu. Setelah itu, dia kembali duduk di samping ibunya.

"Kenapa kamu enggak dandan, sih?" tanya Marni berbisik pada Alisha.

"Ngapain dandan, Bu? Yang penting kan aku udah pakai gamis bagus, kerudungku juga udah rapi." Alisha membela diri.

Marni berdecak. "Kamu itu kalau dibilangin ngeyel! Kamu enggak lihat itu di teras banyak tamu laki-laki yang masih muda. Apa enggak malu kamu kucel begitu? Cepat sana dandan dulu. Paling enggak, kamu pakai bedak dan lipstik."

Marni berbicara pelan, tetapi gerutuannya terdengar sehingga dia kembali menebar senyum agar perhatian para tamu tak terpusat pada pembicarannya dengan sang anak. Alisha tahu dia harus menurut karena khawatir ibunya akan marah nanti. Kembali Alisha menyeret langkah memasuki kamarnya. Dia merias diri dengan bedak dan lipstik sedikit, lantas kembali berjalan keluar kamar dan duduk di samping sang ibu.

"Nah, begitu kan cantik, Alisha. Anak gadis harus pintar dandan biar banyak yang suka," komentar salah satu kerabat.

"Iya, memang begitu si Alisha. Dandan cuma pas kerja doang. Kalau enggak, dia malas dandan. Beda banget Alisha dengan kakaknya," sahut Marni tertawa kecil.

Alisha tak tahu harus menanggapi apa, akhirnya dia hanya tersenyum sedikit. Perhatian para kerabat kini beralih pada Arinda yang mengenakan kebaya berpayet. Riasan wajah dan kerudung yang dibentuk indah semakin menambah keanggunannya. Alisha mengakui bahwa sang kakak memang terlihat lebih cantik darinya. Ditambah lagi kulit Arinda yang terlihat lebih cerah karena hasil perawatan di klinik kecantikan.

Di samping Arinda, duduk seorang pria yang merupakan calon suaminya. David, nama pria itu. David berasal dari keluarga terpandang di lingkungan tempat tinggal mereka. Alisha tak terlalu mengenal David. Satu hal yang dia tahu bahwa David adalah anak tiri dari Abi Rifki, kepala sekolahnya semasa SD dahulu, yang kini telah meninggal dunia. Arinda akhirnya menerima lamaran David setelah menolak beberapa lamaran yang datang padanya.

"David dan Arinda ini serasi sekali, tampan dan cantik. Apalagi David ini dari keluarga terpandang. Kamu harus bersyukur, Arinda." Salah seorang kerabat berkomentar.

"Iya, Bude," jawab Arinda tersenyum.

"Saya juga bersyukur mendapatkan Arinda, Bude." David pun menimpali perkataan sang kerabat yang kemudian mengundang decak kagum para tamu.

Semua orang mungkin mengagumi pria muda itu, tetapi tidak dengan Alisha. Dia tidak melihat ketulusan dari ucapan calon kakak iparnya tersebut. Sejenak pandangan Alisha dan David bertemu. Entah kenapa sejak tadi Alisha merasa David memperhatikannya secara diam-diam dan itu membuatnya merasa tak nyaman. Namun, Alisha tak mau berprasangka buruk. Mungkin memang perasaannya saja.

"Semua sudah berkumpul. Kalau begitu, mari kita mulai acaranya." Suara Marni terdengar dan disetujui oleh para tamu yang hadir.

Bapak-bapak dan para pria muda yang tadinya lebih banyak duduk di teras kini mulai memasuki rumah. Termasuk juga Irwan, ayah Alisha. Acara pun dimulai. Setelah acara utama lamaran selesai, dilanjutkan acara selanjutnya yaitu makan siang bersama. Berbagai hidangan telah disajikan oleh para kerabat yang membantu acara siang itu. Semuanya mulai menikmati hidangan diselingi dengan obrolan ringan.

"Kamu kapan menyusul kakakmu, Alisha?" Kembali terdengar celetukan seorang kerabat.

"Belum tahu, Tante." Alisha menjawab singkat.

"Lho, kok belum tahu? Kamu kan sudah lulus kuliah."

"Saya baru 23 tahun, Tante. Saya masih ingin bekerja supaya kehidupan saya lebih baik, juga masih ingin membanggakan ayah dan ibu," jelas Alisha.

"Anak perempuan enggak usah berkarir tinggi-tinggi, nanti susah jodohnya." Kerabat itu berkomentar lagi disertai tawa yang lain.

Alisha menghela napas, berusaha menahan kekesalannya. Apa yang salah jika dia ingin bekerja keras agar mendapatkan hidup yang lebih baik? Alisha tak setuju jika karir dianggap sebagai penghalang jodoh. Dia hanya ingin finansial keluarganya lebih baik sehingga dia tak sedih meninggalkan ayah dan ibunya jika suatu saat nanti dia menikah.

"Saya, masih ingin bekerja, Tante," tegas Alisha lagi.

"Lebih baik kamu menikah saja, Nduk. Kamu juga kerja hanya jadi guru Bimbingan Belajar. Gajimu juga tidak seberapa untuk dirimu sendiri, apalagi untuk ayah dan ibu." Kali ini perkataan itu keluar dari bibir Irwan.

Alisha tak percaya ayahnya bisa berkata seperti itu. Sungguh dia merasa kecewa. Alisha memang masih menjadi guru Bimbingan Belajar (Bimbel) karena mencari pekerjaan tak mudah. Gajinya juga mungkin tak besar. Namun, dia masih bisa membantu sedikit-sedikit untuk kebutuhan rumah mereka karena penghasilan sang ayah juga tak menentu jumlahnya tiap bulan.

Arinda sendiri selama ini tak bekerja. Dia hanya lulusan SMA dan tak mau kuliah. Sesekali dia hanya menerima tawaran model untuk MUA (Makeup Artist) di lingkungan tempat tinggal mereka. Pendapatan Arinda habis hanya untuk kebutuhannya sendiri, tak pernah ada untuk keluarga. Namun, Marni dan Irwan tak pernah berkata buruk terhadap Arinda.

"Dengar perkataan ayahmu itu, Alisha." Para kerabat berkomentar dengan tatapan memojokkan ke arah Alisha.

Alisha hanya diam, sama sekali tak ingin menanggapi ocehan orang-orang terhadapnya. Dadanya terasa sesak. Sungguh dia merasa sakit telah dipermalukan oleh orang tuanya sendiri di depan orang banyak. Sejak dulu kedua orang tuanya memang suka membandingkannya dengan Arinda. Padahal Alisha pun memiliki banyak keunggulan. Alisha tak mengerti kenapa orang tuanya bisa begitu pilih kasih.

Obrolan kembali riuh terdengar di rumah itu. Alisha pun memilih untuk beranjak, meninggalkan mereka semua. Dia berpura-pura ikut membantu mengangkati peralatan makan ke dapur. Setelahnya, dia duduk sendiri di atas sebuah bangku panjang di halaman belakang. Lebih baik dia menyendiri untuk menghindari perkataan tak menyenangkan yang mungkin akan ditujukan lagi padanya nanti.

Perlahan Alisha menghela napas panjang, berusaha meredam kekesalan. Sejenak dia memejamkan mata untuk menenangkan diri. Meskipun kesal, dia tak boleh terlarut dalam kesedihan karena ini adalah hari bahagia kakaknya. Beberapa saat kemudian, Alisha membuka matanya lagi, lantas menoleh ke samping. Dia tersentak ketika mendapati sesosok pria muda sudah duduk di sampingnya.

"Mas David?" tanya Alisha dengan alis bertaut.

***

Ketika Cinta MemanggilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang