____
"Rachel, selesai ngampus jam berapa" Jinan berusaha keras menyamai langkah Rachel yang begitu cepat. "Bukan urusan lo!"
"Kok gitu? Gue nanya, Hel. Maksud gue kalo lo kelar jam 12, baliknya sama gue aja."
"Gue bisa pulang sendiri." Langkah Rachel semakin cepat hingga membuat Jinan kewalahan menyamainya.
"Hel, lo kenapa sih? Gue ajak ngomong dari tadi lo jawabmya ketus banget."
Kini Rachel menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik dan menatap tajam sepasang mata Jinan. "Bisa diem gak sih, Jinan!? Mending lo jauh-jauh dari gue deh. Gue gak mau liat lo lagi!" Lantas ia pergi begitu saja.
Jinan tetaplah Jinan. Mau bagaimanapun Rachel, Jinan tetap tak pernah marah sedikitpun terhadap gadis itu. Ini bukan soal Bucin, Tapi ini karna hati seorang Alaska Jinan Immanuel yang terbuat dari salju alias lembut banget coyy!
____
Rachel berdiri di depan kampus sendirian Sambil memainkan ponsel yang ia punya. Sebetulnya Rachel sedang menunggu seseorang. Siapa lagi kalo bukan Alaska Kaivan Immanuel.
Perasaan Rachel memang belum membaik akibat penolakan yang ia dapat kemarin. Dan rasa sakit itu tak mudah untuk di hilangkan. Namun Rachel tak ingin hubungan persahabatanya dengan Kaivan yang sudah mereka jalani selama beberapa tahun rusak begitu saja hanya karna soal perasaan.
Sudah 15 menit Rachel berdiri disini namun batang hidung Kaivan masih belum terlihat juga. Gadis itu mencoba untuk menghubungi Kaivan namun nomer Kaivan tak bisa dihubungi. Alhasil, Rachel memilih untuk menunggu Kaivan sebentar lagi.
"Rachel!! Sendirian aja? Denise mana?" Bukannya menjawab, Rachel justru beralih pada ponselnya. "Pulang bareng gue yuk, Hel." Lagi-lagi Rachel tak menghiraukannya bagaikan angin lalu. Lantas Jinan pun dengan perlahan menyentuh bahu Rachel dan langsung mendapat tepisan hebat dari gadis itu.
"Lo bisa stop ganggu gue gak!? Mending lo pulang sana!"
"Gue mau pulang bareng lo, Hel."
"Tapi gue gak mau pulang bareng lo, Jinan!!"
"Hel, lo kenapa sih?" Jinan memegang pundak Rachel lagi.
"Lepasin tangan lo dari pundak gue dan jangan pernah lo sentuh gue lagi!! Karna, Gue benci sama lo, Jinan!!" Lagi-lagi Rachel meninggalkan lelaki itu sendirian lagi. Samar-samar Rachel mendengar Jidan berbicara. "Kalo lo cinta sama Kaivan, harusnya lo kejar Hel. Bukannya malah nyalahin gue dan benci gue kaya gitu."
Jelas gadis itu mendengar perkataan Jinan barusan. Namun ia enggan untuk berbalik menatap laki-laki itu.
____
Sesampainya dirumah, Jinan melempar asal tas nya di sofa kamar. Ia merebahkan tubuh jangkungnya di atas ranjang dan mulai memejamkan matanya. Saat matanya hampir terpejam sempurna, Jinan mendengar suara Kaivan menggelegar seisi rumah. Lantas lelaki itu bangun dan menghampirinya.Terlihat Kaivan sedang asyik dengan game online yang lelaki itu mainkan. Jinan duduk disebelahnya. Namun sepertinya Kaivan tak merasakan adanya Jinan di sampingnya.
"Bang, gue boleh ngomong sama lo?"
"ANJIR KAGET GUA!! LO NAPA NGAGETIN GITU SIH AS??" Kaivan main game nya fokus banget sampai-sampai tak menyadari akan kehadiran adik bungsunya disana. "Lagian lo mainnya fokus banget sih."
"Kalo ga fokus nanti gua kalah jangkuung."
"Bang."
"Oit"
"Bang, lo terima Rachel ya." Sontak Kaivan menghentikan gamenya setelah mendengar perkataan Aska. Yaa, keluarganya biasa memanggilnya dengan nama Aska dan tak ada alasan khusus untuk nama panggilannya itu. Kaivan tak tahu yang di lontarkan adik bungsunya itu sebuah pernyataan atau pertanyaan.
"Lo nanya apa ngasih pertanyaan sih? Gak ada tanda titik komanye."
"Gue serius bang. Gue mau lo terima Rachel ya?"
"Kok lu yang ngatur sih, Kung?"
"Bang, Rachel benci sama gue gara-gara lo nolak dia."
"Ya terus?"
"Bang--"
"Aska, dengerin gua-" Kini Kaivan memiringkan posisi tubuhnya menghadap adik bungsunya itu. Di peganglah kedua bahu adiknya itu dengan telapak tangan lembutnya. "Lo suka kan sama Rachel? Kalo lo suka, kejar. Jangan gampang nyerah kalo jadi cowok. Sekali tolak, ganti. Sekali tolak, ganti. Trus nanti galaunya tiada henti. Lo harus gentle, kung. Lo harus punya pendirian. Kalo lo suka, ya lo usaha. Jangan cuma karna dia sukanya bukan sama lo, jadi lo berhenti. Ga gitu cara mainnya.. selama dia belum jadi milik orang, yaa gak ada alasan buat lo mundur."
"Tapi dia sukanya sama lo, bang. Bahkan sekarang dia benci sama gue." Jinan menunduk sendu.
"Dia gak benci sama lo. Dia cuma belum bisa nerima kenyataan."
"Nerima kenyataan kalo lo nolak dia?"
"Seratus!"
"Jadi, gue harus apa bang?"
"Yang seperti gue bilang tadi, lo kejar dia. Gak ada yang bisa sampe ke puncak menara monas kalo dia gak naik tangga." Senyum Jinan timbul setelah mendapat wejangan dari abangnya.
Jinan kembali ke kamar dengan pola pikir bahwa, jika ia ingin berhasil, maka ia harus berusaha. Di dunia ini gak ada yang instan. Semuanya perlu proses!
"Van.."
"Gue gak pa-pa, Raff." Kaivan tersenyum simpul.
Bersambung...