___
Berjalan sendirian tanpa arah di sekitaran jalan jendral sudirman adalah kebiasan Rachel sejak dirinya menginjak umur 15 tahun.
Tepat satu hari setelah hari kelulusannya, ayah dari putri tunggal Hermawan itu pergi untuk selama-lamanya. Gadis yang masih berusia 15 tahun itu masih tak percaya atas apa yang terjadi kepada keluarganya. Ayahnya meninggal disaat Rachel baru saja lulus SMP. Rachel baru saja beranjak remaja saat itu, ia masih sangat kebingungan mengapa tiba-tiba ayahnya pergi padahal kemarin baru saja beliau merayakan kelulusan SMP-nya bersama bunda.
Gadis remaja baru itu jelas meminta pernyataan yang jelas atas apa yang terjadi dan tak ada satu pun yang memberitahukan kepadanya. Mereka hanya bilang bahwa ayah terkena serangan jantung, padahal Rachel tau jelas jika ayahnya sama sekali tak mempunyai penyakit seperti itu. Ayahnya sehat, selalu berolahraga bersamanya dan selalu makan-makanan yang bergizi. Mana mungkin tiba-tiba ayahnya terkena serangan jantung?
Keadaan saat itu sangatlah kacau. Rachel tak tau bagaimana ia harus bersikap, dan merasakan apa. Akhirnya ia memilih untuk berjalan sendirian di tengah ramainya jalanan jendral sudirman saat itu. Berjalan tanpa arah dan tujuan meninggalkan suasana duka yang tengah berada di rumahnya. Ia berjalan kemanapun kakinya membawanya pergi. Dirinya tak merasakan capek sedikitpun. Rachel masih kebingungan dengan semuanya, gadis remaja itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Dan pikirannya masih tersesat dan belum mendapatkan jalan keluar.
"TIIINNN !!! WOY MAU CARI MATI YA LO"
Gadis itu terjengak hingga ia tak sadar jika dirinya sudah berada di tengah jalan raya.
"TIINN !!! WOI MINGGIR"
"MINGGIR DEEK NGAPAIN DI TENGAH JALAN NANTI KETABRAK!!" kepalanya tiba-tiba pusing. Rachel tak dapat mengendalikan keseimbangan sehingga ia terus bergerak semakin ke tengah jalan. Gadis itu menutup matanya, menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya dan terus berjalan ke tengah. Pusing, berisik. Hingga detik dimana dia merasakan ada yang menariknya ketepi.
"Kamu gak pa-pa?" Suara lembut yang pertama kali Rachel dengar setelah ia berada di tepi. Bahkan suara klakson para mobil sudah tak terdengar lagi.
"Haloo, kamu gak pa-pa?" Suara dan lambaian tangan dari laki-laki di depannya membuyarkan pikirannya. "I-iya a-aku gak pa-pa." Jawab gadis itu linglung. Rachel menatap laki-laki di hadapannya yang terlihat mengenakan leather jacket dengan keadaan rambut yang sedikit berantakan.
"Kamu ngapain tadi di tengah jalan?"
"Gak tau." Dia berkata jujur. Rachel serius tak mengetahui kenapa ia sudah berada di tengah jalan, padahal seingatnya ia masih berjalan di trotoar tadi.
"Kepalaku pusing." Gadis remaja itu meringis lagi.
"Pusing? Heum, yaudah kamu aku anterin pulang ya? Rumahnya dimana?"
Lelaki itu mengantarkan Rachel remaja ke rumah dengan menggunakan scoopy abu-abu yang ia parkirkan di sebelah trotoar tempat dia melihat Rachel berada di tengan jalan.
"Kaivan." Katanya sambil menjulurkan tangannya setelah mereka sampai di depan rumah putih tingkat satu dengan pagar besi yang menjulang.
"Rachel."
Disitulah pertemuan Rachel dan Kaivan. Rachel pikir itu hanya pertemuan sesaat, sampai ia masuk SMA dan menyadari kalau lelaki yang pernah menolongnya berada di satu sekolah yang sama dan menyapanya saat hari awal masa orientasi siswa.
Rachel mengingat bagaimana pertemuannya dengan Kaivan kala itu bukan hanya pertemuan singkat melainkan pertemuan kalau ternyata Kaivan adalah sosok yang tuhan kirimkan padanya sebagai ketua OSIS yang selalu berada di sampingnya sampai saat ini. Jadi wajar jika ia jatuh cinta pada sosok lelaki yang menyelamatkannya kala itu, dan berharap supaya Kaivan bisa menjadi miliknya.
Langit semakin gelap dan angin berhembus semakin kencang. Dingin, Rachel kelupaam membawa jaketnya dan alhasil ia hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri karna merasa kedinginan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1.40 dini hari dan kota jakarta masih ramai. Pepatah yang mengatakan bahwa kota jakarta tidak pernah tidur adalah benar adanya. Bahkan disaat dini hari begini masih banyak mobil yang berlalu lalang disini, dan masih ada beberapa ruangan didalam gedung yang lampunya masih menyala yang dapat Rachel lihat dari jalanan bawah sini.
Rachel selalu berkata pada Kaivan mengapa mobil yang ada di jakarta masih berlalu lalang diwaktu yang seharusnya mereka pakai untuk beristirahat. Dan jawaban Kaivan kala itu adalah, "kenapa lo gak tanya sama diri lo sendiri?" Benar, Rachel selalu bertanya kepada para mobil dan lupa kenapa ia tak bertanya kepada dirinya sendiri.
Gadis itu terduduk di bangku yang berada disana saat sudah merasakan lelahnya berjalan. Ia termenung memikirkan ucapan Jinan kemarin, 'kalo lo suka Kaivan, harusnya lo kejar dia, bukannya malah nyalain dan benci sama gue.' Sial, sekarang Rachel berfikir keras. Benar juga, kenapa ia harus membenci Jinan disaat tidak ada yang perlu di benci dari lelaki jangkung itu.
Detik berikutnya, gadis itu menggeleng cepat, "ya gue harus benci dia lah. Kan gara-gara dia Kaivan jadi nolak gue."
Kemudian air matanya turun tanpa aba-aba. Ia menangis setelah mengingat apa yang Kaivan ucapkan dipantai kemarin. 'Kita temen Hel, gak mungkin kita pacaran." Sekarang gadis itu semakin kejer dalam tangisnya dan berkali-kali ia menyeka air matanya agar tak turun semakin banyak.
"K-kenapa k-kita g-gak b-oleh pacaran kaivan.. hiks e-mang nya k-kalo temen g-gak b-boleh? K-kenapa k-ita g-gak hassemaran." Perkataannya tak jelas, hanya Rachel yang dapat memahaminya.
"Hel, Rachel !! Oi bangun!"
"Kaivan?"
"Woi bangun ngapain tidur disini?" Kata lelaki itu masih dengan menepuk-nepuk pundak Rachel. Gadis itu akhirnya terbangun dengan mata sembab dan menemukan Kaivan di hadapannya.
"Ngapaaiin maneh tidur disini? Kaya dirumah ga ada tempat tidur aja. Untung gak ada orang jahat. Dah hayuk pulang."
"Jam setengah 3 kaya gini tuh rawan begal, Hel. Jangan sering-sering ah jalan sendiri sampe pagi kaya gini. Bahaya." Kaivan masih mengoceh dihadapannya. Meskipun ia terkejut kalau ternyata sekarang sudah pukul setengah tiga dini hari, gadis itu tetap bahagia.
Hari ini Kaivan menemukannya lagi. Mengandengnya dengan lembut dan membawanya pulang.