Lampung, 24 Juli 2018
Hai, J
Siang tadi Shen pulang lebih telat dari biasanya. Keluar angkutan umum dan berhenti di depan gapura. Beralas sepatu menapaki jalanan dipenuhi batu, minta dibuat aspal seperti di jalan-jalan raya. Tapi Shen tinggal di perkampungan. Jadi bakal dapat giliran kapan-kapan kalau masalah jalan aspal.
Kampung.
Yang biasanya sering ada ibu-ibu malak tukang sayur keliling, atau tukang sayurnya yang malak ibu-ibu—sembari ghibah tentang selingkuhan tetangga yang nolak pindah kontrakan.
Atau Shen yang pemalas, manja, plus sombong.
Ibu lebih tersinggung mendengar itu dari mulut tetangga. Lebih tersinggung daripada Shen yang bahkan tidak peduli.
"Sen! Kamu itu cewek, harusnya bisa lebih rajin. Contohnya kaya Sarah itu! Dia rajin banget, setiap pagi ..."
Ibu bilang begitu. Shen menolak mendengar lagi. Bukan karena dipanggil 'Sen' berhubung Shen asli keturunan Jawa. Tapi, setiap kali Ibu beri petuah, selalu ada nama Sarah. Jangan tanya siapa dia. Sarah itu anak tetangga yang rajin, baik, ramah, pintar, cantik, kaya—pokoknya dia terlihat punya segalanya.
Simpelnya, Sarah itu anak ekspektasi semua orang tua di muka bumi ini. Dia kelihatan sempurna di mata mereka.
Shen tidak akan pernah jadi teman Sarah meski rumah sebatas di seberang jalan. Selalu satu sekolah, bahkan lebih sering satu kelas. Orang tahu apa? Shen tahu di mana tempat untuk dirinya.
Shen?
Mas bilang Shen itu beban; Di pelajaran apa aja kelihatan tolol, atau mungkin lebih tolol dari kelihatannya.
Kata Bapak: Shen itu jelek karena dia sombong. Shen rasa tanpa sombong pun dia memang jelek.
Kata Ibu; Shen itu jorok, pemalas yang tidak pernah mau membersihkan pelataran kontrakan atau bahkan kamar sendiri.
Padahal selain itu, Shen lebih kenal diri sendiri.
Shen itu naif tapi kadang bisa licik.
Shen itu pecundang tapi berbakat.
Shen itu pemberontak yang penakut.
Shen itu berbakat tapi jangan pernah dihargai.
Shen itu aneh.
Shen mungkin pantas dibenci.
Karena Shen itu ...
... aku.
~ Lashendy