Lampung, 27 Juli 2018
Hai, J
Setidaknya Shen bukan satu-satunya anak yang menelan cemooh dari satu kelas, bahkan mungkin semua orang. Shen tidak ingin ambil pusing dengan jeritan cempreng khas ABG SMP—yang seolah tahu Shen melebihi apapun.
Melebihi diri mereka sendiri—yang menolak tahu fakta bahwa eksistensinya tidak lebih sekedar sampah di mata.
Shen juga keberatan harus bergaul dengan sekumpulan anak. Circle or whatever the heck is that. Apalagi setelah Bu Rini—selaku guru BK—bilang kalau berteman harus genap, ada baiknya lebih dari tiga. Biar sisanya masih ada lawan bicara.
Shen acuh tidak acuh.
Shen akan pergi kemana pun tanpa pengekor. Shen akan pergi tanpa jadi ekor.
Pernah memiliki sekelompok teman waktu SD. Satu persatu dari mereka pergi. Pindah rumah, berpisah semenjak kami mulai masuk SMP.
Juga karena terlalu sibuk tatkala kebetulan Shen sapa di pinggir jalan.
Harusnya Shen tidak perlu memiliki sahabat sementara—
—atau Shen akan merasa kehilangan.
Pagi tadi, Shen benci harus merasa iba waktu Aul disebut cengeng. Aul anak perempuan yang duduk sendiri paling belakang itu memang cengeng.
Cengeng karena propertinya dirusak tanpa alasan. Jauh dari sekolah-sekolah elit di Bandung atau Jakarta, kursi kayu lapuk khas SMP negeri di Lampung dipatahkan. Dihancurkan. Padahal pemiliknya masih berada di sana. Tas dilempar. Isi berhamburan.
Shen tahu, tapi memilih menutup telinga seperti manusia yang diaku normal pada umumnya.
Aul melawan berujung ditendang.
Shen jelas naik pitam. Si penendang adalah laki-laki.
Waktu Shen bilang kalau mereka itu sampah, semua meneriaki Shen. Menyinggung soal suka sesama jenis yang dipelopori Ramzi lusa lalu.
ITU SALAH!
Shen langsung bertindak waktu Ulan ikut melempar buku tulis Aul. Kami berebut. Dan Shen tidak sengaja menyentuh kulit tangannya.
"Dih! Modus!"
Bukankah itu yang sering perempuan sebut untuk laki-laki?
Dan apa Ulan bilang?
Shen? Modus?
Satu-satunya hal yang Shen ingin lakukan pada tangan Ulan adalah ...
... memotongnya sampai Ulan berakhir cacat.