Lampung, 9 Agustus 2018
Hai, J
Penyesalan itu selalu datang di akhir.
Begitu kira-kira kutipan yang sering dicuri banyak orang. Shen bisa saja membenarkan, tapi juga bisa menyangkal dengan mudah—semudah disangkutkan bersama poin-poin tolol khas anak baru gede.
Contohnya waktu itu (Shen lupa hari), pelajaran olahraga dan Shen telat karena sibuk nongkrong di kantin sembari menikmati jajanan 1000-an. Klepon mbah Tari.
Bukan promosi, tapi makanan ringan yang dibuat sendiri, bertumpuk dalam toples dan disusun di ranjang anyam warna-warni—diantar sepeda setua pemiliknya—jadi cemilan yang Shen tunggu plus rela telat jam pelajaran demi kebagian.
Shen tentu saja tidak sendiri. Ada Aul dan satu orang lagi, Rara. Semenjak Aul bergaul dengan Shen, si para bocah tengil sudah jarang mengolok-oloknya. Mereka mencari korban baru—Rara.
Tapi, Shen tidak terlalu mengkhawatirkan Rara karena dirasa anak itu bisa jaga diri. Setiap kali mendengar "IKAN BUNTAL!"—karena fisiknya yang gemuk dan pendek, Rara akan membalas ejekan mereka—
"NGACA! MUKA KAMU KAYA BABI, BANGSAT!"
—sekaligus umpatan yang perlu dibungkam saat guru tidak sengaja lalu lalang.
Setidaknya ejekan untuk Shen dan Aul menghilang. Justru digantikan oleh sesuatu seperti air kuah bakso yang sengaja ditumpahkan ke tas, meja dan buku-buku kami.
Brengseknya, Shen tidak pernah tahu siapa pelakunya.
Shen hanya memiliki alibi tanpa bukti.
Aul khawatir waktu mendapati kelas sepi bak kuburan, sementara Shen lega karena bisa sendirian. Mungkin karena kami juga tidak langsung ke lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga.
Tidak seperti sekolah pada umumnya, lapangan khusus olahraga terletak di luar pagar sekolah di samping bangunan kecil terbengkalai. Di tanah milik orang. Konyol! Belum satu tahun Shen di sini, tempat ini sudah jadi puncak komedi.
Karena perihal meremehkan dalam hati, Shen harus dapat tatapan dingin Pak Kirno dan hinaan satu kelas lantaran kami bertiga ...
"Maaf, pak. Kami telat," cicit Aul.
Pak Kirno tidak marah.
Juga tidak menganggap kami ada tentunya. Dia lanjut menyebut nama Nisa untuk naik turun tangga bekas bangunan tua ini.
"PERGI SANA KAMU ORANG! UDAH TELAT NGGAK TAHU MALU!"
Para sialan itu berteriak lagi. Pak Kirno tak acuh. Pantas saja anti-bullying di sini terkesan bacot, aduan Shen pada Bu Rini tidak lebih dari sebuah sapaan, ternyata kami pantas dirundung kalau kami memang bersalah—begitu kemungkinan maksudnya.
Shen pergi tanpa izin.
Tanpa manners.
Mau adu ketidakpedulian?! Ayo saja!
Shen juga bisa tidak menganggap satu manusia pun ada. Apalagi hanya si orang itu—Pak Kirno. Terlalu mudah!
Sampai masuk ke gerbang sekolah. Shen menyesal.
Menyesal!
Menyesal!
Menyesal!
Penyesalan selalu datang di akhir?
Harusnya dari awal Shen tidak pergi ke sana. Harusnya dari awal Shen tidak menghabiskan waktu demi orang-orang yang menganggap kami sampah.
Simpelnya—
Pelaku akan menyebut balas dendam, korban akan menyebut keadilan.
Harusnya dari awal Shen tetap dikelas, agar memiliki banyak waktu untuk bisa meludahi tas mereka, menginjak, merobek buku, membuang sebagian seragam salin ke tong sampah.
Kalau memang ingin ...
... alasan mengapa korban pantas mendapat perundungan.