Semua Orang Punya Hak

71 3 0
                                    

Lampung, 28 Juli 2018

Hai, J

Hari ini bukan pertama kali properti Aul dihancurkan. Kemarin empat kaki kursi hilang termutilasi. Maka hari ini meja Aul juga menjadi korban.

Mereka bergidik pura-pura tidak tahu apapun saat disodorkan pertanyaan. Shen geram melihat watak pengecut satu kelas. Bahkan Sarah bungkam, tidak mau ambil resiko dihujat menyandang gelar "cepu" setelah menolong Aul.

Wajar saja. Sarah memiliki sesuatu yang disebut 'reputasi'.

Sesuatu yang Shen tidak pernah punya.

Yah, kalau memang begitu. Shen berharap mereka tidak pernah mengetahui kenapa mereka bisa celaka sore nanti.

Atau kapan-kapan saat Shen ada kesempatan untuk bertindak.

Aul menangis lagi. Semua anak berteriak.

"CENGENG!"

Padahal pagi tadi tepat mata pelajaran jam pertama adalah Matematika. Biasanya Bu Mar akan datang lebih awal dari guru mapel lainnya.

Stereotypes bilang: karena dia guru Matematika.

Shen tidak pernah peduli akan dihukum seperti apa karena berani bolos saat pelajaran Bu Mar. Yang Shen peduli waktu itu hanya keadaan Aul yang memperihatinkan.

Kalau bukan Shen siapa lagi yang peduli?

Bu Mar?

Hell fucking no!

Ide pertama yang terlintas di kepala Shen pagi tadi adalah menemui Bu Rini. Sebagai guru BK harusnya beliau tidak mengajar di kelas-kelas. Setidaknya setelah kami melihat Bu Rini keluar kelas sembari membawa jajanan rujak buah. Lalu masuk ke kelas sebelah.

Shen bercerita dibumbui keluh kesal Aul, bahwa di sekolah kami ada parasit: para perundung yang sudah bersarang di satu kelas.

"Kok bisa? Siapa? Mangkanya kalian nggak usah main bully-bully an!"

Awalnya khawatir, namun beliau menyarankan untuk tidak bermain—

Bermain?!

Shen itu bodoh!

Shen bodoh karena membawa Aul ke guru konsul.

Bu Rini sibuk jualan rujak buah, harusnya kami datang untuk membeli. Bukan mengganggunya dengan segudang pernyataan tentang perundungan.

Shen takut Aul kecewa.

Jika Shen ada di posisi Aul, Shen akan merasa jauh lebih sesak.

Ditambah tidak ada satu pun kelas yang kelebihan meja dan kursi.

"Dasar bajingan!"

Persetan jika ada guru-guru lain yang mendengar. Toh, mereka tidak berguna dalam keadaan seperti itu, bukan?

Shen pikir harusnya dari awal kami datang ke bapak-bapak tukang renovasi yang biasanya sering memperbaiki properti.

Di detik itu. Di saat itu, Shen sedikit terhibur. Mendengar bagaimana curhatan sang bapak bercerita mengenai nakalnya anak-anak yang suka memecah jendela kaca, mengelupas cat tembok murahan, dan mematahkan meja kursi—seiring meja untuk Aul dibetulkan.

Shen menghargai itu.

Lebih menghargai daripada sejagat rumus yang sedang dijelaskan Bu Mar—yang Shen malas melirik semenjak memasuki ruang kelas.

Kami menggotong meja masuk ke dalam, bahkan sengaja tidak mengucap salam.

Shen tenang karena Aul sudah kembali mendapat haknya.

Sebut Shen tidak sopan waktu Bu Mar menggertak, "Habis darimana kalian?!"





Dan Shen punya hak sementara untuk berhenti menganggapnya ada.

SHEN? ADA YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang