Bab. 1

6.4K 56 8
                                    


Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya putih.


Tini yang tertegun sampai tergagap ketika perempuan itu memerintah masuk. Pandangannya tak sanggup lepas, terkagum pada sang calon majikan yang melangkah anggun menuju ruang tamu sembari menyelimutkan selendang batik ke perutnya yang seperti hamil kembar.

Sampai-sampai Tini tak memperhatikan langkahnya, terjagal undakan pintu. Namun beruntung, perempuan itu urung terjerembab ketika sebuah tangan dengan cepat menahan lengannya.

Sontak Tini menoleh dan napasnya tertahan saat tak mendapati seorang pun di belakangnya, sedangkan yang bisa dirasakannya, hanya angin dingin yang menyapa, membelai perempuan 19 tahun dalam balutan midi dress biru usang–pakaian terbaiknya yang diharapkan memberi kesan rapi.


Sedetik kemudian Tini menoleh cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah dihias bunga-bunga cantik itu begitu sepi. Pintu pagar pun masih tertutup rapat dan tubuhnya meremang dengan perasaan aneh.

Tini ingin menepis peristiwa ganjil itu, namun sensasi hangat pada lengannya bahkan masih jelas terasa dan gambaran sekilas tangan kokoh pria yang menahannya terasa sungguh nyata.

Perempuan itu tak ingin mengait-ngaitkannya dengan hal gaib, dan pandangannya masih mencari-cari sosok pria di antara gerimis yang mulai membasahi pelataran rumah gaya tradisional modern yang dibangun tepat menghadap ke arah Gunung Ungaran.

"Sampai kapan kamu mau berdiri di situ ...?!"

Suara dari calon majikannya membuat Tini tersentak, ia terlalu larut dalam perasaan mencekam yang menabuh debaran di dadanya.

"Ngampunten, Nyonya ... tadi seperti ada orang di belakang saya."

Tini cepat-cepat membungkuk, memohon maaf. Lantas bergegas memasuki ruang tamu dan terkagum dengan furniture apik yang didominasi bahan kayu jati kualitas terbaik.




Keindahan ukiran rumit bunga-bunga cantik yang menghias hampir keseluruhan bufet serta meja dan kursi berpelitur cokelat tua cukup mengalihkan rasa was-was yang menderanya.

"Mbok Tijah sudah kasih tahu kan, akan kerja apa kamu di sini? Jadi, saya mau periksa badan kamu. Tidak boleh ada koreng atau penyakit kulit sedikitpun. Ayo masuk kamar dan lepas baju!"

Tini pun terhenyak mendengar perintah majikan barunya itu. Meski sama-sama perempuan, namun ia agak risih jika harus menanggalkan pakaian dan hatinya seakan membisik untuk tidak mengambil pekerjaan itu, sementara desas-desus tentang keluarga Nyonya Rini yang penuh keganjilan sepertinya bukan sekedar kabar burung.

Tini pun tampak semakin bimbang, dua tangannya saling meremas di depan perut, sementara pandangannya tertunduk ke bawah.

"Kenapa lagi kamu, Tini? Bener-bener kamu leletnya bukan main!" geram sang majikan seraya memandang sengit perempuan kurus yang hanya berdiri, tak membuntutinya.

"Apa boleh saya kerja di bagian yang lain, Nyonya?"

Permintaan bernada sangat halus itu kemudian ditanggapi oleh majikannya dengan mendengkus sinis.

"Duh ... duh ...! Tini ... Tini ...! Kamu itu sudah dikasih hati malah ngelunjak. Sudah bodo, tambah leletnya bukan main. Mau jadi apa rumah saya kalau kamu kerja di bagian bersih-bersih atau dapur? Semua bagian sudah ada yang kerja. Pilihannya cuma satu, jadi ibu susu anak saya. Gimana? Mau lanjut atau tidak. Mumpung belum saya periksa badan kamu. Kalau sudah saya periksa, nanti kamu tidak boleh mundur. Jadi tidak buang-buang waktu saya!"

Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang