Bab. 4

2.9K 40 3
                                    

Langkah kaki Tumini yang hampir melewati kamar mandi sontak terhenti mendengar nada suara Tini yang menuntut jawaban.

Rasanya perempuan paruh baya itu ingin berlalu begitu saja, namun hati kecilnya tak bisa mengabaikan Tini yang merupakan keponakannya.

Lalu dengan mengusap ke belakang anak-anak rambut di dahinya yang bandel mencuat, Tumini kembali mendekat.

"Sudah to Nduk ...! Jangan banyak tanya. Apa yang jadi tugas kamu di sini kerjakan. Di luar itu, sudah jangan penasaran. Mbok De tuh paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak Jumiati gitu. Kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De nggak akan mau bawa kamu. Di rumah ini memang sesekali kelihatan ular, tapi udah biarin aja. Mereka nggak akan gigit. Kamu belum pernah denger to ada orang kerja di sini mati digigit ular? Di sini kan jauh dari pemukiman, masih deket hutan, jadi wajar ada ular sesekali nyasar ke sini."

Mendengar itu, Tini pun semakin mengerutkan dahi. "Tapi kan bahaya, Mbok De. Memangnya Nyonya Arini nggak nyuruh orang buat nangkepin ular-ular itu? Saya tuh paling takut ular, Mbok De."

Tumini yang berharap keponakannya akan berhenti penasaran justru mendapat pertanyaan baru lagi, membuatnya menghela napas panjang.

"Gini lho. Nduk. Kata orang tua jaman dulu nggak baik bunuh ular apalagi yang punya rumah lagi hamil. Jadi Nyonya nggak berani bunuh ular-ular itu. Tapi jarang banget kok. Orang Mbok De aja malah belum pernah lihat. Dulu si Jumiati yang sering lihat. Kalau pembantu lain pernah lihat sesekali pas lagi bersihin taman. Tapi ularnya diem aja. Setelah ini kamu jaga sikap, jaga omongan yo, Nduk. Pokoknya, kalau kamu jadi pembantu yang nggak kebanyakan tingkah, pasti Nyonya sayang, nanti kamu makmur kerja di sini. Lihat nih gimana Mbok De."

Tumini pun menggerak-gerakkan tangannya dan 7 gelang emas putih tipis bergemincing. Masih ditambah lagi beberapa cincin yang berkilau diterpa cahaya.

"Lihat! Kamu saja yang belum kerja sama sekali udah dapat enak begini. Nyonya Rini perlakuin kamu baik, supaya kamu juga sepenuh hati nanti urus bayinya. Udah jangan pikir yang macem-macem. Satu lagi, apa yang kamu lihat sama denger di sini jangan dicerita-ceritain di luar sana kayak Jumiati. Itu orang kurang ajar, nggak tahu terima kasih. Cerita yang aneh-aneh tentang Nyonya Arini di luar sana. Udah cepetan mandinya, Nyonya Arini nggak suka sama orang bau."

Kalimat itu kemudian diakhiri dengan senyuman ceria dan Tini hanya bisa mengangguk pelan menanggapi nasihat bibinya itu.

Entah mengapa ia merasa semua orang di rumah majikannya itu terasa aneh, tak terkecuali bibinya sendiri yang keluar dari kamar mandi dengan terus mengembangkan senyum, seakan-akan ia baru saja mendapatkan kesenangan luar biasa.

Tini pun menggeser lagi slot kayu pada pintu kamar mandi. Hening yang menyelimuti rumah itu membuat suara gesekan kayu terdengar begitu nyaring.

Hujan di luar sana pun telah reda, namun apapun yang dikatakan oleh Bibinya tak cukup meredakan was-was di hatinya.

Perempuan itu masih ngeri memandang ke sekeliling, berharap ular itu tak muncul lagi. Lalu tatapannya yang sekilas melihat ke arah tempayan tanah liat mendapati kelopak-kelopak bunga merah di permukaannya bergerak-gerak seperti permukaan air mendidih.

Tini yang penasaran mendekat dan disibaknya permukaan air penuh bunga menggunakan gayung batok kelapa. Setelah bunga-bunga itu dikumpulkannya dalam gayung, ia tak mendapati apapun di sana. Airnya begitu jernih disorot lampu minyak.

Namun samar-samar dilihatnya pantulan bayangan dirinya tak sendiri. Tini pun semakin memusatkan perhatiannya pada permukaan air yang masih bersisa beberapa kelopak bunga.

Kini dilihatnya wajah Tuan Ario tersenyum tepat di belakangnya. Tini sontak menoleh ke belakang, tapi tak ada siapapun.

Lalu dengan cepat pandangannya berganti ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin jika majikan laki-lakinya sedang menggoda karena mata kepalanya menyaksikan bagaimana pria itu lumpuh di kursi dan tidak ada pintu lain di kamar mandi itu.

Tini yang mulai dirasuki lagi hawa mencekam kemudian cepat-cepat mengguyur air ke kepalanya sembari menggosok setiap jengkal kulitnya yang licin karena lulur.

Namun di antara bunyi deburan air yang menghantam lantai, ia seperti bisa mendengar suara pria tertawa, tapi Tini tak mempedulikannya.

"Duhh ... ini rumah angker atau gimana to?" gumam Tini yang bergegas menyudahi mandinya.

Perempuan itu lantas menyelimutkan kain jarik bersih ke tubuhnya dan menggerak-gerakkan badan agar kain jarik basah yang menempel di badannya melorot.

Lalu langkahnya tergesa keluar dari bilik kayu itu sembari memeras kain basahan dan menghampiri lemari kayu di mana pakaian telah disediakan di antara guci-guci kecil berisi bahan-bahan rempah yang digunakan untuk wewangian mandi.

Tini kemudian menyelimutkan kain jarik ke bahunya dan membawa satu setel kebaya beserta pernak-perniknya menuju dapur.

"Mbok De Tumini ...!" seru Tini pada tiga perempuan yang sedang mengupas bawang di lantai tegel dapur.

Perempuan-perempuan yang hampir seumuran itu menoleh serentak dan bisik-bisik mereka sontak mereda.

"Ono opo, Tin?" tanya Tumini bergegas bangkit dari duduknya di lantai.

"Mbok De, tolong bantu saya pakai kebaya biar rapi. Nanti kalau nggak rapi Nyonya marah."

"Ya udah sini, ayo!" Tumini pun memimpin jalan, perempuan itu menuju kamar di mana Tini sempat diperiksa tubuhnya oleh sang majikan.

"Kalau kerja di sini memangnya harus pakai kebaya bagus ya, Mbok De? Kita kan cuma babu Mbok De. Kok pakai kebaya bagus begini?" tanya Tini seraya mengelus kebaya hitam cantik di tangannya.

"Iya, Nyonya Arini itu orangnya baik sama pembantu. Beliau juga masih pegang tradisi kuno. Jadi nanti kamu jangan kaget atau penasaran kalau Nyonya taruh sesaji di tempat-tempat tertentu. Kamu juga jangan dekatin sesaji-sesaji itu kecuali Nyonya yang nyuruh kamu beresin atau ganti yang baru," balas Tumini sembari melilitkan kain jarik ke pinggang keponakannya.

"Sesaji itu buat apa sih, Mbok De?" tanya Tini sembari membetulkan kutang yang kebesaran.

"Mbok De nggak tahu. Mbok De juga takut tanya-tanya. Lagian itu bukan urusan Mbok De. Tahu atau enggak, nggak ada untungnya buat Mbok De. Kamu tuh orangnya gampang penasaran. Itu bisa bikin kamu celaka karena selalu ingin tahu urusan orang lain. Terkadang, apa yang seharusnya nggak perlu tahu memang sebaiknya nggak usah tahu. Ingat itu Tini."

"Tapi namanya kerja di tempat baru pasti banyak pertanyaan, Mbok De. Kalau kita lebih kenal dan paham lingkungan kerja, kita bisa lebih bawa diri. Kalau di tempat Pak Haji dulu malah Tini dikasih tahu ini itu, biar nggak salah. Omong-omong, Tuan Ario itu ... sakit atau gimana, Mbok De? Kok makan disuapin?"

"Iya, sakit. Jatuh dari kuda. Jadi nggak bisa jalan lagi. Badannya ke atas nggak lumpuh tapi kadang lemah gerakannya."

"Ohh ... kasihan. Apa Tuan Ario punya kembaran, Mbok De?"

Sontak Tumini yang sedang melilitkan stagen ke perut Tini terhenti tangannya. Perempuan itu menegakkan punggung dengan wajah serius. 

Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang