Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya.
"Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!"
Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai.
Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya.
"Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?"
Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya.
Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu.
"Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain buat angkat Tuan."
Lantas Tini bergegas keluar kamar. Sejak ia datang, perempuan itu tak mendapati satu pun pekerja laki-laki.
"Mbok De ...!" Tini menghampiri Bibinya yang kini sibuk menyiangi sayuran.
"Ada apa lagi?" jawab perempuan itu sembari menoleh ke arah jam dinding di dapur luas itu.
"Saya nggak kuat ngangkat Tuan Ario ke atas."
"Loh ...!" Sontak kepala Tumini menoleh ke arah keponakannya. "Tadi Mbok De tinggal, Tuan masih di kursi."
"Iya." Suara Tini membisik. "Itu tadi Nyonya yang bikin jatuh Tuan."
"Ohh ...!"
Tumini mengangguk, tak terkejut dengan informasi itu. Lantas ditinggalnya sebakul kacang panjang dan bergegas menuju kamar Tuan Ario.
"Mbok De, kenapa nggak panggil tukang kebun aja biar dibantuin ngangkat?"
"Di sini nggak ada babu laki-laki. Semua perempuan."
Jawaban itu membuat Tini semakin penasaran. "Loh ... kenapa?"
"Ya mungkin Nyonya nggak nyaman kalau ada laki-laki lain. Kalau perempuan semua kan enak, bebas."
"Oh gitu. Eh ... Mbok De, kata Nyonya Arini, tadi Mbok De digigit Tuan? Mana? Berdarah nggak?" tanya Tini sembari memperhatikan tangan bibinya yang berayun.
"Itu sih biasa. Jangan takut. Tadi Mbok De agak gereget aja makanannya disemburin terus. Bahkan kena muka Mbok De juga. Jadi Mbok De jejelin satu sendok penuh. Terus tangan Mbok De digigit."
Tini tercengang mendengar itu. Sikap Bibinya itu sangat kurang ajar. "Tuan Ario kan majikan kita, Mbok De. Kok Mbok De, gitu?"
Tini kemudian memperhatikan bekas gigitan membiru di bawah ibu jari tangan kanan Bibinya.
"Lah, orang Nyonya Arini yang nyuruh. Lagian Tuan Ario itu keterlaluan. Udah lumpuh, diurus baik-baik, kok malah nggak bersyukur, sering bikin Nyonya kesel. Pasti tadi Tuan Ario kurang ajar sampai Nyonya Arini bikin dia jatuh dari kursi. Kamu lihat sendiri. Laki-laki kayak gitu, siapa yang nggak jengkel. Kalau Mbok De, udah tak tinggal laki-laki nggak tahu diri begitu."
"Iya, sih. Kasihan tadi lihat Nyonya. Sampai nangis. Itu Tuan Ario gimana bisa kecelakaan, Mbok De?"
Suara Tini semakin rendah, mencoba mengimbangi jalan Bibinya yang lambat.
"Ceritanya panjang," balas Tumini dengan suara tak kalah pelan. "Jadi, dulu Nyonya Arini tuh lama nggak punya anak. Ada mungkin lima belas tahun. Itu Tuan Ario kan tiga puluh limaan. Nyonya Arini tiga puluh dua. Udah diperiksa ke dokter mana-mana. Dari dokter darah Belanda sampai dokter Jawa, tabib China, katanya Nyonya Rini nggak subur. Berobat dari yang modern sampai alternatif udah semua tapi nggak ada hasil. Jadi mertuanya jodohin Tuan Ario sama perempuan lain. Nyonya Arini ya nerima, mau dimadu. Eh dilalahnya satu hari sebelum ijab kabul, Tuan Ario jatuh dari kuda."
"Kalau lumpuh kok itu Nyonya Arini bisa hamil? Apa Nyonya selingkuh?"
Pertanyaan Tini sontak membuat langkah Tumini terhenti. Dengan gemas perempuan itu mengetuk dahi Tini.
"Kamu itu pikirannya ya ...! Pembantu laki-laki di rumah ini aja nggak ada. Nyonya Arini juga nggak pernah deket-deket sama laki-laki lain. Kan cuma kakinya aja itu yang lumpuh. Jadi masih bisa buat anak. Kamu itu nggak punya suami, makanya nggak tahu. Makanya sana cari suami, nanti kamu tahu."
Tini yang tidak mengerti apa yang dimaksud bibinya justru semakin dilanda penasaran. Namun langkah mereka yang tiba di kamar Tuan Ario mencegahnya bertanya lebih.
"Kamu angkat badannya, Tin. Biar Mbok De angkat kakinya."
Tini kemudian bergegas menyelipkan lengannya di ketiak Tuan Ario, sementara Tumini mengangkat lutut.
"Wes, siap? Mbok De kasih aba-aba, hitungan ketiga langsung naik yo."
Tini yang telah siap mengangguk.
"Siji, loro, telu ...!"
Meski telah dibantu Bibinya, Tini masih kesulitan mengangkat badan Tuan Ario, hingga punggung pria itu membentur tepian ranjang.
"Piye to, Tin ...?!"
Tumini bergegas melepas pegangannya pada kaki Tuan Ario yang telah naik di atas tempat tidur, sementara badan Tuan Ario hampir terjatuh bersama Tini yang oleng.
Tumini pun menahan tubuh Tuan Ario tepat waktu dan menaikkannya ke ranjang.
"Tini, Tini. Masih muda kok nggak ada tenaganya," gerutu Tumini sembari membetulkan bantal di kepala Tuan Ario yang memandangnya penuh kebencian.
Tini yang jatuh berlutut di sisi tempat tidur kemudian mencoba bangkit, ia belum terbiasa dengan bobot berat majikannya.
"Sudah, apalagi?" tanya Tumini dengan napas berat. "Kamu tahu cara pakai kursi roda kan, Tin? Kamu dulu kan pernah kerja ngurus jompo."
Perempuan itu kemudian menuju sudut ruangan dan mendorong kursi roda ke sisi ranjang.
"Su-sudah Mbok De, matur nuwun ...!" balas Tini dengan memijit lututnya yang menghantam lantai.
"Ya, sudah Mbok De mau ke dapur lagi. Besok mau ada tamu, jadi ini repot bikin makanan banyak."
"Eh ... Mbok De ...!" Tini cepat-cepat menyusul Bibinya yang berjalan menuju pintu, lalu memelankan suaranya. "Itu Tuan kalau mau buang air gimana?"
Lalu Tumini menghela napas sembari menoleh ke arah Tuan Ario yang terbaring.
"Sebenernya, Tuan Ario itu cuma lumpuh kaki dari ujung jari sampai ke lututnya sama nggak bisa ngomong. Baru tadi pagi dia nggak bisa gerakin badan atasnya. Kemarin-kemarin malah bisa pindah sendiri ke kursi roda. Tangannya masih kuat ngapa-ngapain. Mau buang air juga bisa itu di toilet duduk."
"Ohhh ...!" Tini menggangguk-anggukkan kepalanya. "Kok nggak dibawa ke rumah sakit, Mbok De?"
"Hihhh ...! Kamu ini kebanyakan tanya dari tadi. Kenapa kamu jadi pembantu, harusnya kamu jadi wartawan sana! Kamu nggak papa tanya-tanya begini sama Mbok De, tapi selain sama Mbok De, jangan kebanyakan tanya. Bisa dipecat kamu. Udah nggak usah dipikirin itu buang airnya gimana, orang nggak mau makan minum ya paling nggak pengen buang air. Yang penting kamu bersihin dulu badannya! Cepetan! Ingat, nanti jam lima semua pembantu harus pulang. Pembantu yang boleh tidur di sini cuma yang ngurus bayi sama Mbok De. Kamu kan belum ngurus bayi, jadi kamu juga pulang."
"Loh ... kenapa, Mbok De?" tanya Tini dengan mata membulat.
"Duhh ... Duhhh ... Duhhh ... Tini ... Tini ...! Kebanyakan tanya! Nanti lagi ngomongnya!"
Tumini yang tak tahan dengan keponakannya yang suka bertanya itu kemudian cepat-cepat melenggang pergi. Sementara Tini berjalan tersandung-sandung menuju lemari pakaian.
Terima kasih sudah membaca, semoga menghibur. Baca lanjutan ceritanya di Karya Karsa, KBM, atau Goodnovel.
Ikuti akun media sosial penulis IG: @hayisaaaroon atau fb: Hayisa Aaroon untuk novel-novel gratis lainnya. Atau kalau kalian punya aplikasi Fizzo, cari napen Hayisa Aaroon
KAMU SEDANG MEMBACA
Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Mystery / ThrillerTini baru menginjak 19 tahun saat ia harus menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi ibu tunggal karena dinodai majikan sebelumnya. Perempuan itu kemudian melamar pekerjaan sebagai pengasuh bayi di keluarga misterius paling kaya di desanya, di m...