Bab. 2

3.7K 49 7
                                    

Sementara sang majikan sibuk menyalakan lilin di depan meja rias yang senada warna peliturnya dengan furniture di kamar luas itu.

Lalu sebuah wadah pembakaran dupa dari tanah liat juga dinyalakan, sedangkan di sisinya ada satu mangkuk tanah liat yang dipenuhi kuncup melati segar, di mana sang majikan sesekali memasukkan beberapa kuncup ke mulutnya seperti sedang memakan camilan.

"Angkat tangan kamu, Tini! Rentangkan ke samping! Kaki kamu juga buka lebar-lebar!" perintah sang majikan sembari membawa wadah pembakaran dupa yang telah mengepulkan asap wangi.

Kulit kuning langsat Tini yang sedari tadi telah meremang semakin mencekam dibuatnya saat sang majikan mengitarinya dengan mengarahkan kepulan asap harum itu ke arah Tini, membuatnya sesekali terbatuk.

Ruangan remang-remang itu pun semakin berkabut, Tini tak dapat memandang jelas ke sekeliling.

Asap itu terasa aneh, mengelus setiap inci kulitnya dengan hawa hangat dan setiap sentuhannya seperti jari-jari pria yang begitu mendamba.

Tini sampai-sampai gemetaran saat usapan lembut itu kini menjelajah di sepanjang tulang punggungnya dengan sangat perlahan.

Sementara sang majikan kini ada di hadapannya, berhenti sembari menaburkan dupa pada bara api yang terus membumbungkan asap tebal.

Tini yang penasaran kemudian mencoba menoleh ke belakang saat bumbungan asap tebal cukup menghalangi pandangan sang majikan.

Namun napas Tini seketika tertahan saat mendapati siluet seorang pria tinggi tampan tepat di belakangnya.

"Jangan tengak-tengok kalau tidak saya suruh nengok, Tini! Kamu lihat apa? Saya asapi badan kamu pakai dupa biar kamu wangi, baru saya periksa. Saya jijik sama badan yang bau. Jadi, kalau kerja sama saya kamu harus wangi!"

Mendengar majikannya berapi-api, Tini pun menundukkan pandangannya lagi, namun sensasi itu datang lagi dan lagi.

Hingga tak ada yang bisa dilakukan Tini selain menelan ludah dan mencoba menepis pikiran horornya.

Sayangnya, setiap detik yang dilaluinya di ruangan itu terasa panjang. Kedua tangannya yang sedari tadi direntangkan mulai pegal karena sang majikan tak kunjung rampung mengelilinginya dengan tungku kecil pembakaran dupa di tangannya.

Sampai akhirnya bara api yang masih mengepulkan asap itu diletakkan di antara dua kakinya, mengasapi tubuh perempuan muda itu dari bawah sana.

Tini pun dibuat heran bagaimana perempuan berperut besar yang bertumpu pada lututnya itu dapat berdiri dengan mudah tanpa bantuan dan langsung berjalan cepat menuju meja rias untuk mengambil lilin.

Lalu, apa yang dilakukan Nyonya Rini selanjutnya terasa semakin aneh saat nyala api lilin pada tatakan dari mangkuk kecil tanah liat itu didekatkan ke tubuh Tini, membuat perempuan itu semakin dibanjiri peluh karena hawa panas menguar dari bara di antara kakinya dan juga Lilin yang hanya berjarak 2 jengkal dari kulitnya.

Sedangkan nyala api meliuk itu terus mengedar dari kulit di sekitar dada, perut dan ganti memutar ke punggung. Lalu kuku-kuku panjang terawat milik sang majikan menyibak rambut Tini yang lengket karena peluh di punggung, dan setiap sentuhan kuku itu terasa seperti silet yang menyayat, Tini pun hanya mengatupkan gigi kuat-kuat menahan perih.

Seiring setiap peluh yang meluncur bebas ke lantai, sang majikan masih belum lelah meneliti bahkan sampai ke kaki, tak luput setiap buku jari pun diterangi dengan lilin, seakan-akan perempuan itu tengah memilih hewan kurban terbaik.

Desis suara tetesan peluhnya kemudian mengisi keheningan. Anehnya, kini wangi dupa harum semerbak itu menjadi manis lembut saat bercampur dengan keringatnya.

Kepalanya yang menunduk kini ditarik ke belakang dengan lembut, mengikuti jari-jari lentik yang menyisir lembut surai lurus sepinggang milik Tini.

Setiap jengkal kulit kepalanya tak luput dari penilaian, mencari-cari jejak koreng atau apapun yang biasa menjangkiti.

"Bagus, semuanya bersih. Dada kamu kecil sekali, masih keluar susunya?" tanya sang majikan sembari meraba rangkain melati yang tersemat di gelungan rambutnya.

"Masih Nyonya, tapi tidak banyak." Tini pun agak sedikit membungkuk, malu ditatap seperti itu.

"Kamu kurang makan. Selagi nunggu anak dalam perut saya lahir, kamu tiap hari tidur di sini. Nanti makan yang banyak, biar pas anak saya lahir, susunya banyak. Saya izinin kamu pulang dua kali sehari buat susuin anak kamu, pagi sama sore."

"Njih ... matur sembah nuwun, Nyonya."

"Sekarang kamu mandi pakai kembang biar wangi!" perintah sang majikan sembari menyodorkan sebuah kain jarik dengan motif Sido Asih. "Ingat, saya tidak suka pembantu yang baunya tengik di sekitar saya. Tadi bau kamu waktu datang seperti kambing. Sekarang, buka mulut kamu!"

Dengan segera Tini mengikuti perintah sang majikan, mengira mulutnya juga akan diperiksa.

Namun tak disangka-sangka jika perempuan cantik itu justru mengambil satu kuncup melati dari sanggulnya dan memasukkan bunga itu ke mulutnya.

"Kunyah biar mulut kamu wangi! Sekarang, ayo ikut saya!"

Ragu-ragu, Tini mengunyah kuncup itu sembari membalutkan kain jarik ke tubuhnya dan bergegas meraup pakaiannya yang teronggok di lantai.

Pintu kamar itu kemudian dibuka berbarengan dengan pintu ruangan di seberang, di mana seorang pembantumengenakan kebaya sederhana namun apik membungkuk hormat.

"Sudah kamu suapi, Tuan Ario?"

"Sudah Nyonya, tapi Tuan tidak mau membuka mulut. Padahal kemarin masih mau makan. Dari pagi Tuan kelihatan murung," beber seorang pekerja paruh baya bertubuh gemuk.

"Goblok, kamu Tum!" geram sang majikan dengan memandang sengit mangkuk berisi bubur ayam yang masih penuh. "Tuan bisa sakit kalau tidak makan. Sini saya ajarin."

Tini yang penasaran kemudian mengamati majikannya memasuki kamar luas dengan perabot hampir sama dengan kamar yang baru saja ditinggalkannya.

Hanya saja, di ruangan itu lampu menyala terang, menampilkan seorang pria kisaran 30-an yang duduk di kursi, sementara pandangannya menatap pilu ke arah jendela yang terbuka.

Seketika dada Tini berdebar tak karuan mendapati pria itu begitu mirip dengan sosok pria yang dilihat berdiri di belakangnya tadi.

Tapi, ada yang aneh dengan pria yang tampaknya tinggi itu. Kepalanya lunglai bersandar ke punggung kursi penuh ukiran.

Sementara kedua tangannya lemas di sisi kanan dan kiri lengan kursi, begitu juga kakinya. Pria itu seperti lumpuh. Padahal jelas-jelas tadi Tini melihatnya berdiri.

"Kenapa Kang Mas tidak mau makan?" tanya Nyonya Arini dengan mengelus stagen hitam yang membalut perut besarnya. "Kang Mas harus makan, anak kita sebentar lagi akan lahir. Ayo buka mulut!"

Beberapa detik berlalu, Tuan Ario mengabaikan Nyonya Arini membuat wajah perempuan yang sedari tadi kesal karena Tini semakin suram.

Lalu diletakkannya mangkuk porselen putih berhias bunga merah itu ke meja, tepat di sebelah kursi bersandaran tinggi dengan bantalan empuk itu.

Suara sendok dan mangkuk pun beradu, berbarengan dengan mata sang majikan yang melirik tajam ke arah pembantu gemuk di sebelahnya.

Tini hampir-hampir tak mempercayai matanya sendiri saat tangan Nyonya Arini membelai kasar rambut sepanjang dagu suaminya dan mengakhirinya dengan sebuah jambakan. Sikapnya benar-benar jauh dari citra seorang perempuan Jawa ningrat.

Kemudian yang lebih mengejutkan lagi, perempuan itu menekan kuat pipi Tuan Ario seraya menyuapkan bubur meski pria itu mencoba memberontak kepalanya hingga terbatuk-batuk. 

Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang